skrip film tentang lelaki yg deja vu



  Ibaratkan yang akan kuceritakan ini dalam bentuk film:

Segalanya hitam.
Beberapa detik saja, tidak terlalu lama.
Kemudian silih berganti logo rumah produksi, Dolby, dan lain-lain:
'Rahim', 'Natal', 'Adzan Di Telinga Kanan', 'Iqomah di Telinga Kiri' [,,,]
Nama-nama muncul di layar.
Produser merangkap sutradara, dan bintang utama serta (lagi-lagi) rumah produksi dan segala perangkatnya.
Tuan Rumah Arsy dan nama seorang manusia.
Terpampang:
"(Judul film semau dirimu menyebutnya)"

SCENE 1 [Prolog]
"Aku tak butuh belas kasihan. Yang kuperlukan perlindungan."
Langit. Gelap dengan bekas semburat jingga. 
Terlampau larut bila disebut senja, terlalu dini bila dipanggil malam.
Terlalu jauh dari Maghrib, belum bisa dibilang dekat Isya.
Misa sore belum sampai fase terakhirnya, cukup lama guna menanti misa terakhir Minggu ini.
Frame berganti menjadi seorang lelaki merapalkan doa dalam bahasa sehari-harinya kepada Tuhan
Bukan Arab sama sekali, tidak layak dikategorikan kalimat kitab suci, bukan juga Bahasa Indonesia sebab tak peduli EYD lagi:
bahasa hati.
Matanya terpejam.
Seakan-akan dengan terpejam ia mampu melihat rupa Tuhan.
Padahal yang ia lihat hanya gelap.
Segelap benderangnya brightness laptop yang teramat terang menampakkan cahaya.
Cahaya-cahaya yang ia sebut dalam doa.
Cahaya-cahaya yang tak ingin lagi dilihat matanya.
Meski ia suka.
Cahaya-cahaya yang kini membikin ngeri.
Frame kini mengelebatkan fragmen-fragmen wajah wanita dari seluruh dunia.
Yang pernah ia perkosa dari dunia maya.
Satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas, dua puluh satu [berlipat ganda Fibbonaci]
Semua itu korban-korbannya.
Ia semakin gila.
Doanya tak lagi tenang.
Tubuhnya gemetaran.
Tuhan akan marah.
Sebab dalam gelap matanya terpejam, yang tercitrakan adalah:
dosa.

SCENE 2 [R(e)apers]
Ia berjalan pulang dalam langkah yang tidak tenang.
Tidak ingin pulang, namun enggan tinggal.
Kamar memanggil-manggil dirinya.
Angle dari tanah, kemudian sandal jepit lelaki itu menapak tepat di depan kamera: dramatis.
Perspektif berganti-ganti memuaskan hasrat penikmat sinematografi kehidupan.
Namun ia tetap berjalan.
Tiba di depan teras.
Melepas sandal.
"Assalamu'alaikum"
Ia sendiri.
Tak ada yang menjawab salamnya.
Bahkan dua malaikat tak kasat mata di sisi kanan dan kirinya.
Sebab keduanya telah dibisikin setan tentang kelebat-kelebat bayangan para wanita.
Korban-korban lelaki itu.
Korban impian.
Satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas, dua puluh satu [berlipat ganda Fibbonaci]
Ia rindu.
Kaset pitanya--juru selamat--sedang ruwet.
Datanglah ia kembali kepada korban-korbannya yang tersebar ruah di jejaring laba-laba.
Sebab rupa Tuhan tak kunjung tampak tadi, yang datang malah pelatuk peluru birahi.
Ia tak punya kuasa.
Namun pegang kendali.
Desah.
Ah.
Malaikat di sisinya berhenti menyebut nama Tuhan, dan sejenak menggelengkan kepala.
"There he goes. A raper that forgot his reaper"
Malaikatnya asli Amerika.
Ah.
Ah.
Ah.

SCENE 3 [Jalang Melankolis]
Lagi-lagi Amerika.
Susah-susah jadi laki-laki, masa kawinnya juga sama laki-laki?
Buat apa selama ini membanggakan batang, kalau dapatnya juga batang.
Menjadi rusuk siapa para Kaum Hawa, bila kawinin tulang yang sama?
Buat apa selama ini menggali lubang, kalau tidak ada yang datang bersarang.
Tapi Jalang Melankolis tidak peduli.
Meski hati nuraninya mencaci maki.
Yang penting kali ini rasa penasarannya mendapat jawaban.
Munafik.
Close up wajah sang korban yang tak menampakkan ketakutan, justru sebaliknya: menantang.
Lelaki itu mendaki Mahameru dari kakinya, melintasi Ranu Kumbolo, lalu Bukit Cinta, dan medan pengasah adrenalin lainnya, baru tiba di puncaknya. 
Mahameru berubah Sinabung.
Meletus-letus.
Sinabung berubah Merapi.
Lahar dingin.
Bau tepung.
Perspektif lain dari posisi lelaki itu kini, yang tiba-tiba berubah frustasi.
Mendatangi tanda silang yang justru membuat harta karun hilang.
Ia bukan di Mahameru, Sinabung, atau Merapi.
Ia di dapur.
Segalanya belum matang.
Ragi anggur saja berasa nikmat begitu ditinggal selama jangka waktu lama.
Apalagi benih kehidupan.
Lelaki itu berubah melankolis: menyesal.
Yang namanya penyesalan memang selalu diakhir.
Kalau di awal namanya pendaftaran.
Kelebat-kelebat itu hilang.
Imajinasinya tak lagi gamang.
Terkekang.
Fade to black. Kemudian bayang-bayang itu muncul kembali setelah hitam beberapa detik tadi.
Wanita lagi.
Bukan korban-korbannya.
Namun sang ibunda.

SCENE 4 [Wajib Militer]
Next frame. Suara rerintikan air masuk secara fade-in. Kemudian barulah frame rintik-rintik tersebut yang muncul dengan teknik yang sama dengan suaranya. 
Hujan deras.
Tanpa petir dan tanpa angin, sih. Namun deras.
Tak ada yang boleh memakai payung atau bahkan mantel hujan di tempat ini.
Termasuk sang lelaki.
Sebab disini engkau harus jujur sejujurnya kodratmu sebagai salah satu dari spesies mamalia.
Kau harus telanjang.
Kepala bagian kanan, baru yang kiri.
Tubuh bagian kanan, baru yang kiri.
Lelaki itu kerap bertanya dalam hati,
"Kenapa justru yang terakhir adalah yang kiri?
Padahal dosa-dosa berlumuran di tangan kini"
Aneh.
Itulah dogma.
Sama seperti latar kali ini.
Bila mandi kali ini adalah militer.
Maka lelaki itu kini seorang penduduk Korea Selatan umur 20 tahun.

SCENE 5 [Epilog]
"Aku tak butuh belas kasihan. Yang kuperlukan perlindungan."
Close up jam dinding dengan jarumnya yang berputar secara time lapse.
Kehidupan adalah kesamaan yang terulang-ulang.
Deja vu adalah bahasa Prancisnya 'jatuh ke lubang yang sama'
Bukankah begitulah deja vu: merasa pernah di situasi ini, namun tak punya kendali.
Satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas, dua puluh satu [berlipat ganda Fibbonaci]
Berkali-kali lelaki itu melecehkan banyak wanita dari berbagai belahan dunia jejaring laba-laba.
Berkali-kali lelaki itu berubah menjadi jalang melankolis sedunia.
Berkali-kali pula ia jatuh ke dalam de javu yang sama.
Beruntunglah Republik Ingsun Diri tempat jiwanya tinggal tak punya Komnas HAM apalagi Komnas Perlindungan Anak dan Wanita.
Kalau ada, bisa-bisa ia diciduk atas dasar sikap tak bermoralnya.
Ia tak butuh itu semua.
Yang ia butuhkan adalah perlindungan.
Ialah yang justru harus dilindungi.
Harus dibentuk Komnas Perlindungan Pemerkosa.
Seorang wanita pernah jadi salah satu aktivisnya
Bukan atas persetujuannya langsung, tentu saja.
Namun bukannya melindungi Sang Pemerkosa, wanita ini malah minta dicegah dari kematiannya yang berkali-kali.
Yang bisa dilakukan lelaki itu kini hanyalah merilekskan diri, memutar kaset pitanya.
Kidung menangkannya, untuk saat ini.
Satu nomor dari The Beatles. While My Guitar Gently Weeps:

I look at the world and I notice it's turning
While my guitar gently weeps

Kidung menenangkannya.
Ia memeluk gitarnya.
Rindu.

Lelaki itu tersadar (untuk sesaat, barangkali).
Gitar itu harus ia peluk terus.
Segala yang lahir dari enam itu adalah pencumbu setia telinganya.

Libido adalah mimpi besar Si Pemerkosa.
Namun apa yang bisa didapat dari itu semua?
Terlalu banyak [Fibbonaci], tak bisa dimiliki

Telinga yang didoktrin dengan dongeng tentang Tuhan
Adalah telinga gembala yang akan pulang ke ribaan jannah.
Mine is mine, yours is yours.
Though you're my poison and also my saviour.

Lalu berkelebat wajah seorang wanita.
Pemilik rahim tempat lelaki itu pernah tinggal.
Ah.

Black out.
Credits.
End of this movie.


2015.


Comments

Popular Posts