Bintang Neutron

KEBAKARAN  

  Gerimis baru saja menepi.

  Aku baru saja memadamkan api. Sebab ia membara di tempat yang tak seharusnya. Karena ia membakar detik yang bukan waktunya. Oh, Tuhan, kenapa mesti kau munculkan bila saatnya bukan sekarang?

  Perhatikan, perhatikan!

  Ada lalat yang berterbangan di balik kepalamu

  Bernama nafsu

  Perhatikan, perhatikan. . .

  Dengarkan..

  Asapnya membumbung tinggi, meskipun ini malam hari. Pada saat-saat seperti ini, alam memang sudah seharusnya bersekongkol dengan sastra untuk melenggangkan tidak ada asap bila tak ada api. Padamkan. Padamkan.

REAKSI FISI NUKLIR

  Hujan kembali merintik sunyi. Membunyikan atap menjadi semacam simfoni tengah malam. Suaranya menelisik celah-celah, menunggangi laju udara. Menggema di dalam kamar tidur kami.

  Elizabeth menyingkap selimut yang menutupi tubuh telanjang kami. Kaki jenjangnya menapak lantai kemudian ia berdiri. Semampai. Apa yang hendak ia lakukan?

  "Aku selalu ingin hujan-hujanan lagi" ujar Elizabeth sembari menguncir rambut hitamnya dengan ikat rambut yang entah ia dapat darimana. Ketiaknya yang bersih menyapa bersama wajahnya yang bercahaya.

  "Ya nggak sekarang juga 'kan" timpalku sekenanya. Pemandangan di depanku terlampau indah untuk ditukar dengan pikiran. Barusan kutapaki puncak imajinasi, kini aku menuruni bukit dengan panorama surgawi. Sudah sejak umur 15 tahun aku mendamba makhluk itu.

  "Hujan selalu mengingatkan aku," Elizabeth memalingkan kepalanya ke arah jendela. "Waktu aku dibuang lalu diketemukan oleh Bunda Renia. Dibesarkan dengan seksama."

  Aku menerawang matanya. Tak tampak lagi rona dari bayi yang dibuang oleh sepasang muda-mudi kelebihan birahi, di dalam kardus, di malam hujan bulan Februari. Yang ada hanyalah tatapannya yang menaklukkan, mesti sedang tak memandang.

  "Buat apa hujan-hujanan, kalau ada dekapku yang menghangatkan?" rayuku seraya merentangkan kedua tangan, membuka dada untuk Elizabeth.

  Elizabeth mendengus sambil tersenyum tipis. "Masih kuat memangnya kamu?"

  Aku terkekeh. "Elizabeth .."

  "Ya?" Wanita itu memiringkan kepalanya beberapa derajat ke kiri.

  Lalu kurentangkan tangan kananku meraih jemarinya. "Kamu tahu reaksi fisi inti atom?"

  Kini giliran Elizabeth yang terkekeh,

  "Please, deh. Kamu tahu sendiri aku cumlaude Teknik Fisika ITB kemarin Agustus 'kan? Pertanyaan macam apa itu!"

  Aku selalu suka Elizabeth yang memancarkan nuansa digdaya. Dialah Benua Amerika pada bola dunia bernama romansaku--suatu dunia baru. Manusia yang sejak lama kunanti hadirnya, bahkan (kuyakin) ketika ia belum turun ke dunia sekalipun.

  "Intinya, kamu tahu, bukan?"

  "For heaven sake! Ya aku tahu!" Elizabeth benci diragukan. Kunci itulah yang kugunakan untuk menyesap sari bunganya hingga titik terdalam, sampai sekarang.

  "Seperti itulah diriku."Aku tersenyum. Sambil mengubah posisi menjadi duduk bersandar. 

  "Okay. Keren banget, duhai sastrawan gagal"

  "I'm not finish yet"

  "Yeah, you're never"

  "I promise I'm gonna drown you deep into my lips after this"

  "You better do it now"

  "Akulah inti atom yang membelah, Elizabeth"

  Wanita itu bungkam.

  "You're my trigger. Kamulah pistol neutron yang membelah diriku jadi dua, melepaskan neutron dari diriku sendiri, yang nantinya akan membelahku hingga jadi emisi bahkan tak bersisa."

  Elizabeth meraih bahuku.

  "Kamu radiosotop paling tidak stabil yang kukenal" ujar Elizabeth, duduk di pangkuanku.

  "Dan kamu reaktorku, Elizabeth..." kataku seraya menjatuhkan kepalanya ke dadaku, seperti malam itu, ketika ia masih seorang manusia dari dalam kardus.

  "Tidak" Elizabeth mendongak kepadaku. "Kamulah reaktorku, Bunda. Entah apa jadinya radioisotop dalam diriku ini bila tak kau lindungi seperti ini."

  Aku menatap lurus mata Elizabeth.

  Kini aku percaya setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan. Bahkan kami, unsur-unsur yang kelebihan neutron ketimbang proton. 

  Ada tapi tanpa muatan.

  Dua tapi nol.

SARA

  Aku keturunan keluarga Yahudi yang selamat dari pembantaian keji Nazi. Migrasi dari tanah yang dijanjikan menuju ke tanah yang menjanjikan bernama Indonesia. Kakek dan nenekku beranak lelaki bernama Yaakov Mussry. Ia tumbuh menjadi pria pemberontak yang jatuh cinta pada gadis Tionghoa bernama Kwee Oey alias Kumala Wijaya. Kemudian jadilah aku, anak laki-laki blasteran Cina-Yahudi yang besar di tanah Parahyangan.

  August Wiemann bilang, sifat induk tidak diturunkan ke generasi berikutnya. Aku pastikan salah. Buktinya, aku ternyata membawa kebiasaan lama Yaakov muda: jatuh cinta pada gadis yang berbeda suku bangsa.

  Namanya Etsa Nirmala, gadis setengah Sunda. Kudengar dia dari Bogor, kakeknya keturunan Arab. Etsa salah seorang aktivis di Unpad. Aku pertama kali melihatnya tengah berdemo perihal pembebasan negara dengan tiga warna bendera dari tingkah laku keji para saudara satu sukunya ayahku.

  Belum bilang cinta, nyaliku sudah ciut.

  Namun tiap pulang dari kampus, aku selalu membayangkan anakku dan Etsa kelak bila kami berkeluarga. Sejarah rinci tentang darahnya bakal jadi menarik, sebab membawa warisan gen Yahudi, Tionghoa, Arab, dan Sunda.

  Siapa saja yang bicara tentang anak kami, berarti dia bicara SARA.

LAIN DISANA, LAIN DISINI

  Malam sudah jauh dari tepi. Kini ia berada di tengah-tengah bagiannya.

  Aku masih terjaga. Mengibas-kibaskan asap dari kebakaran tempo waktu. Berubah menjadi prosa, lalu paragraf, dan menjadi waktu-waktu yang tak bisa lagi ditarik kembali. Hal seperti ini biasa, maka aku heran ketika terasa luar biasa.

  "Hei," Sebuah tangan menelisik tulang selangkaku.

  "Etsa.." ujarku mengalihkan pandangan dari laptop menuju wajah blasteran Sunda-Arab itu. Sungguh cantik jelita. Hidung dan matanya Timur Tengah, tapi yang lainnya Jawa Barat.

  "Kamu ngapain?" tanya Etsa heran. Wajar saja. Mana ada orang yang langsung buka Microsoft Word setelah bercinta.

  "Nulis" jawabku polos.

  Di bawah lampu jalan

  kulihat rembulan tergeletak

  Aku pungut dan simpan

  ia tumbuh menjadi dirimu dalam mimpiku

  Aku tenggelam

  Dan hilang

  "Itu kamu yang nulis?" tanya Etsa setelah membaca tulisanku.

  Aku mengangguk.

  "Kalau orang Yahudi pandai merangkai sastra, kenapa harus ciptakan senjata segala?" Jiwa aktivis Etsa keluar.

  "Aku juga punya darah Tionghoa, Etsa.."

  "Kenapa nggak jago kungfu?"

  Aku hentikan aktivitasku. Mengalihkan pandanganku kepada Etsa. Aku mulai punya firasat, ia bersedia aku ajak kemari hanya untuk menanti saat ini, menghabisi si keturunan Yahudi.

  Aku mau bicara sesuatu, tapi membisu.

  Etsa punya sesuatu lain.

  Tiba-tiba ia mengacungkan telunjuknya di depan mulutku yang hendak berucap.

  "Kamu nggak perlu jago kungfu" ujarnya.

  Aku bersilat lewat lidah

  "Aku tahu kamu jago disitu" Etsa menunjuk ranjang sambil mengerling.

  Di kehidupan sebelumnya, gadis ini pasti tinggal di Las Vegas sana. Kini aku kerasukan darah Buddha, entah darimana. 

  Yang pasti, tanpa aku dan Etsa sadari, malam ini berenkarnasi menjadi embrio, lalu jadi bayi yang akhirnya mesti kami hanyutkan selayak Musa. Biarlah hujan malam Valentine itu yang menjadi Sungai Nil. Kasih sayang kami sebanyak darah suku bangsa yang mengendap di nadimu, Nak. Selamat tinggal. Maaf. 

NEUTRON STAR

  Bintang neutron terbentuk dari ledakan supernova yang dipicu oleh keruntuhan massa bintang besar yang telah kehabisan bahan bakar. Bagian inti bintang terkompresi oleh tekanan gravitasi sehingga menghasilkan bintang neutron yang sangat padat.

  Elizabeth menstabilo kalimat yang ia temukan di buku yang ia beli dari Gramedia barusan. Sambil tetap berjalan ia asyik menenggelamkan diri dalam tulisan. Tak pedulikan sekitar. Ia tidak mengenal siapa-siapa lagi selain Bunda Reina, meski ia merasakan denyut nadinya dipenuhi berbagai macam spektrum.

  Ia telah meledak dengan sempurna.