Jojo Rabbit dan Taiknya Hidup Berkubu-kubu
Jojo Bletzer cuma bocah laki-laki berumur 10 tahun. Bapaknya pergi ke medan perang dan nggak pernah kedengaran kabarnya lagi. Kakak perempuannya meninggal karena influenza. Jojo sebenarnya anak yang cerdas. Ia lihai memalsukan surat dari seseorang yang deskripsi profilnya ia identifikasi sendiri dari omongan Yahudi yang disembunyikan ibunya di tembok rumah, Elsa. Kendati begitu, kemampuan motoriknya nggak terlalu mendukung impiannya untuk bisa jadi pengawal pribadi der Fuhrer. Alih-alih punya keberanian untuk membunuh seekor kelinci, ia justru meledakkan herrhandgrenade di hadapannya sendiri, yang berakhir bikin kakinya pincang dan wajahnya mirip Frankenstein.
Begitulah premis awal yang jadi set up film Jojo Rabbit besutan sutradara Thor: Ragnarok, Taika Waititi. Berlatarkan bangsa Jerman di bawah fasisme partai Nazi menjelang akhir Perang Dunia II, Jojo Rabbit mengkisahkan bocah belia yang pandangannya terpasung kacamata kuda fanatisme Nazi.
Huh, berat banget, ya?
Tapi tenang. Once you watched it, you'll enjoy it. Plot dan penceritaan Jojo Rabbit nggak seperti film-film perang dan sejarah kebanyakan. Kalau biasanya aksi heroik dan omong kosong patriotisme jadi bumbu film-film semacam itu, di Jojo Rabbit hal-hal begitu justru disatirkan. Seperti tagline-nya, film ini adalah suatu pesan anti-hate.
Kalau 1917 berhasil meninggalkan pesan soal betapa mengerikannya perang dan menyiksanya menjadi prajurit di medan perang--thanks to its one shot cinematography--maka yang membekas dari Jojo Rabbit adalah kesadaran bahwa sungguh taik hidup yang terjebak dalam kubu-kubu.
Saya nggak secara spesifik memandang kaum Yahudi adalah semurni-murninya korban. Mengingat Proposal Perdamaian Trump yang baru-baru ini diajukan atas perseteruan wilayah Palestina-Israel. Maupun Ras Arya, adalah bajingan fasis yang antagonis total, yang selalu jadi tokoh jahat di panggung Perang Dunia II. Which is normal, mengingat seluruh negara (yang menang) bersepakat mengganjar Jerman sebagai negara tidak cinta damai, tokohnya sebagai penjahat perang, dan itu jadi kesepakatan internasional. Lagian fasisme itu emang konyol, dan pemimpin serta tokoh bangsa Eropa tahun 19-sekian-sekian ke belakang emang doyannya berantem demi kekuasaan. Taik.
- Jojo: I have certain conditions for allowing you to stay.
- Elsa: Conditions?
- Jojo: Yes. Tell me everything about the Jewish race.
- Elsa: Okay. We’re like you, but human.
- Jojo: Please take this seriously. Think of this as an exposé. I want to know all your secrets.
Saya nggak merasa disuguhi pandangan hitam-putih macam itu dari Jojo Rabbit. Meski tokoh Rosie, ibunda Jojo, diperankan Scarlett Johanson yang keturunan Yahudi, seolah mengisyaratkan demikian. Namun Rosie jelas merupakan visioner di masanya. Seseorang yang memiliki pandangan jauh di depan orang-orang semasanya, yang akibat perspektifnya tersebut, justru mengancam ia dan orang sekitarnya untuk hidup damai di hari ini. Orang-orang visioner seperti Rosie, sadly, lebih cocok hidup di hari esok.
Penokohan Rosie emang sedari awal nyetrik. Ia bukan sosok ibu yang lemah lembut dengan ucapan yang semanis permen kapas. Instead, ucapannya satir dan nyelekit, tapi nyenengin. Rosie mencintai betul anak laki-lakinya yang fanatik buta terhadap Nazi.
- Rosie: You’re growing up too fast. Ten year-olds shouldn’t be celebrating wars, talking politics. You should be climbing trees, and then falling out of those trees.
- Jojo: But the F**hrer says, when we win, it is us, young boys who will rule the world.
- [Rosie blows a raspberry dismissing his comment]
- Rosie: The R**ch is dying. You’re going to lose the war, and then what are you going to do? Hm? Life is a gift. We must celebrate it. We have to dance, to show God we are grateful to be alive.
- [she does a little dance as Jojo watches]
- Jojo: Well, I won’t dance. Dancing is for people who don’t have a job.
- Rosie: Dancing is for people who are free. It’s an escape from all this.
- Jojo: Well, you’re free to dance your way home.
- [he grabs his bike and starts to ride off]
- Rosie: Alright. Oh, no, you don’t. No one can stop me.
- [she follows him on her bike]
Ya, sebagai orang yang 'beda', Rosie adalah yang probematik di sini. Dia sayang Jojo, anaknya yang 'mabuk Nazisme'. Dia sayang Elsa, kawan mendiang anak perempuannya yang mana kehidupannya adalah bukti represifitas Nazi nggak menang. Dia sayang Jerman, yang harus terjebak perang (karena emang sejak pra-Perang Dunia I udah serakah mau caplok sana-sini). Dia bahkan sayang sama prajurit-prajurit pulang perang yang penuh luka berbalut perban, yang ia dan Jojo temui saat sepedaan lepas dari danau. Dia cuma benci perang harus terjadi.
Rosie yang atraktif sudah nrimo ing pandum segalanya itu. Sekaligus ingin mewujudkan kedamaian yang diimpikannya. Seperti di tiap masa--di bawah fasisme Nazi, di bawah 'stabilitas' Orde Baru, di bawah kolonialisme bangsa Eropa terhadap tanah jajahannya, di bawah lalimnya Fir'aun, di bawah kekuasaan Kaisar Herodes, bahkan di bawah hiruk pikuk reformasi dan masa-masa setelahnya--Rosie, sebagaimana mereka yang "dituduh subversif dan menganggu keamanan", akhirnya dikirim ke tiang gantungan karena ketahuan.
Rosie adalah wujud 'perbedaan' yang ditekan supaya kekuasaan bisa tetap melenggang.
Dan adegan Jojo menemukan jasad ibunya digantung adalah yang jadi titik balik saya memandang film Jojo Rabbit, dari anekdot satir masa fanatisme Nazi menjadi kesadaran betapa sempitnya fanatisme tersebut dan alangkah berdosanya kita terhadap jiwa-jiwa yang terpasung karenanya.
[Sedikit spoiler, setelah sebelumnya menemukan bahwa ibunya merupakan salah satu dari aktivis pro-perdamaian yang menyebarkan pesan 'free Germany', hal selanjutnya yang Jojo lakukan setelah menemukan ibunya digantung adalah mengikat tali sepatu ibunya--hal yang selalu ibunya lakukan ke Jojo karena Jojo adalah anak dengan kemampuan motorik yang payah, mengikat tali sepatu aja nggak bisa. It's heartbreaking, tho]
Berkaca pada adegan tersebut, saya kebayang-bayang berapa banyak lagi Jojo di luar sana?
Berapa banyak lagi "putra putri Sang Hidup", kalau kata Kahlil Gibran, yang harus jadi martir dari kubu-kubu yang diciptakan manusia-manusia yang nggak bisa menerima bahwa "kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal"?
Karena pada akhirnya, ketika kita yang dipisah-pisahkan kubu bersimbah darah karena sibuk berseteru, mereka yang di atas sana bebas melompat pagar dan kalau perlu, berkawan dengan lawan yang awalnya mereka haramkan, demi kekuasaan agar bisa tetap melenggang. Lantas, buat apa sejak awal kita capek-capek saling hantam, kan?
Saya masih ingat rekan yang hubungan familinya mesti tercederai gara-gara seteru kubu Pilpres tempo waktu. Bagaimana perasaan mereka kini melihat junjungan-junjungannya 'bahu membahu' di istana, ya? Heuheuheu..
Saya kira Jojo Rabbit perlu ditonton barang sekali, setidaknya untuk mengisi waktu luang, oleh para pemuda, kaum rebahan, sahabat prestatif, teman-teman aktivis, kader ekstra kampus, kader tarbiyah, aktivis gereja, kaum bucin, tukang latah di Tik Tok, anak indie, sobat ambyar, anak BEM, anak nongkrong, gamers, wibu, punkers, pemuda karang taruna, anak komplek, dan segala macam manusia dari berbagai label lain, yang pada muaranya sebetulnya kita cuma perlu saling mengenal.
Supaya hari esok tidak perlu diwarnai perseteruan yang dibungkus semangat 'karena aku yang paling nganu, sedangkan kamu anti-nganu'. Haish, taiklah semua itu.
Bahwa urusan dapur apakah yang betulan disalib bangsa Romawi betulan Putra Maryam atau bukan. Yang perlu disepakati dan disantap sebagai nutrisi adalah fakta bahwa ada tuduhan yang dibangun dan hasutan yang dibuat kepada Kaisar Herodes seolah-olah Nabi Isa hendak melakukan pemberontakan terhadap penguasa. Itu, dan niscaya ke depan kita nggak akan terjebak dan menjadi kubu-kubu yang mengklaim kebenaran mutlak atas dirinya sendiri.
Maka, insya Allah, burung gereja tak akan masalah bersarang di masjid, sebagaimana membangun tempat ibadah akan semudah aturan yang semestinya. Menertibkan, bukan menyulitkan. Amin, amin.
Kembali lagi ke Jojo Rabbit, siapkah yang mendamba pluralisme dan open mindedness menjadi Rosie? Ah, saya rasa saya belum siap. Adakah adegan Jojo mengkonfrontasi Rosie bagaimana rupa Yahudi dan seperti apa Yahudi sebenarnya? Nggak.
Dan saya rasa plotnya nggak bakal seringan ini ketika Rosie mesti menjelaskan bahwa Yahudi itu bukan seperti yang Jojo dan Yorkie, kawan karibnya, sering dengar dari orang-orang sekitarnya.
Sekarang bayangkan, dengan keadaan masih seperti sekarang, dan Anda harus menjawab pertanyaan 'emang benar PKI itu jahat?' atau 'LGBT itu harus disembuhin, ya?' dari anak umur 10 tahun, bagaimana Anda akan menjawab?
Ah, apakah keadaan sekarang lebih cocok dihadapi seperti Kapten Klenzendorf, ya? Sosok Severus Snape-nya semesta Jojo Bletzer. Menjadi tokoh yang menjiwai perannya tanpa lupa sesungguhnya kita sedang bersandiwara. Dan di saat genting, yang benar-benar penting, untuk menyelamatkan yang perlu diselamatkan, kita harakiri:
Dan Jojo dapat berdansa dengan Elsa, di bawah lantunan Heroes-nya David Bowie yang digubah ke versi bahasa Jerman. Untuk momen sesaat, Jojo terbebas dari taiknya hidup berkubu-kubu.
- [after the allied forces have taken over the city and have captured the Germans soldiers into a backyard, including Jojo]
- Jojo: Captain K.
- Captain Klenzendorf: Hey, kid. Look at all this commotion, huh?
- Jojo: What’s happening?
- Captain Klenzendorf: Hysteria, my friend. We’ve come to the end. The party is over. Are you scared? Don’t be scared. Look at me. I’m sorry about Rosie. She was a good person.
- [Jojo nods and begins to cry]
- Captain Klenzendorf: An actual good person. Okay?
- [Jojo nods and hugs Klenzendorf as he sobs]
- Captain Klenzendorf: Hey, it’s okay, kid.
- Captain Klenzendorf: I’ve been meaning to tell you, I think your book is really great. Yeah, I’m sorry for laughing at it. Very creative. Come here, let’s take a look at you.
- [Jojo stands, still wearing a soldier jacket]
- Captain Klenzendorf: You look good. You’re okay, kid. Now, go home and look after that sister of yours. Okay?
- [Jojo nods, then Klenzendorf takes Jojo’s jacket off him and pushes him aside]
- Captain Klenzendorf: Get away! Get away, Jew! Get away!
- [he saves Jojo as the allied soldiers remove Jojo and take Klenzendorf to be executed]
Soon after, doi bakal disuguhi beratnya usaha unifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Tapi itu akan terlampau membosankan untuk disaksikan, jadi mending nggak perlu dibuat sekuelnya, deh, Jojo Rabbit ini.
Adolf: [to Jojo] Let me give you some really good advice. Be the rabbit. The humble bunny can outwit all of his enemies. He’s brave, and sneaky, and strong. Be the rabbit.Terakhir,
Adolf Hitler teman imajinasi Jojo sungguh metafora yang cantik untuk menggambarkan betapa kesepiannya ia dan begitu merindukan figur Bapak. Meski idiot di hampir seluruh scene, terima kasih imaginary Adolf sudah menemani Jojo.
Ini yang menjadikan Jojo Rabbit berwarna dibandingkan film-film bertema Perang Dunia II lainnya. Selain plot dan penceritaannya yang fresh, ia berhasil menyuguhkan isu dengan gaya masa kini yang tengah awake dengan urusan psikologis. Macam Jojo dan teman imajinasinya.
Plus, lagi-lagi, naratif sinematografi sepatu Rosie yang ikonik saat ia ngobrol tentang kebebasan dan saat ia dihukum gantung sungguh mengharukan. Bikin patah hati.
It's 8.5/10 from me.
(sok penting deh lo, dam)
kerennnnn! gue suka bgt sama tulisan ini :")
ReplyDelete