2 Detik Terakhir
Apakah kalian merindukanku?
Apakah ingatan tentang diriku masih membekas dipikiranmu?
Apakah kumpulan memori kalian bersama diriku masih tersimpan
jelas dikepalamu?
Kuharap kalian masih mengingat itu semua.
Semuanya..
Mungkinkah,
Mungkinkah, kalian melupakanku karena kepergianku yang
seperti itu?
Semuanya berawal dengan indah dan diakhiri dengan kepedihan
yang benar-benar indah..
***
Aku masih ingat.
Dulu aku sempat jadi orang yang terpandang di mata guru dan kawan-kawanku.
Bahkan para wali murid sering memuji kehebatanku. Dengan IQ diatas rata-rata,
mereka yakin aku bisa jadi orang yang sukses di masa depan nanti. Tapi kata
‘nanti’ itu tidak bisa kunikmati. Aku tidak punya ‘nanti’.
Saat duduk di bangku
sekolah dasar, aku selalu menguasai rangking pertama selama enam tahun
berturut-turut tanpa terkecuali. Guru-guru selalu memberiku selamat dengan
sedikit berlebihan kalau sedang pembagian rapot. Aku yang dipuji mereka hanya
tersenyum malu karena tidak tahu harus berkata apa.
Lulus dengan NEM
29,85 aku berhasil masuk ke SMP 1 yang merupakan sekolah menengah pertama
berbasis Internasional dan juga sekolah terfavorit di kotaku. Waktu penutupan
acara orientasi, aku dipanggil ke depan oleh Kepala Sekolah yang berkumis putih
dan kepala belakangnya sudah mulai botak. Kepala Sekolah memanggilku yang
merupakan siswa baru dengan NEM paling tinggi untuk mengucapkan satu-dua patah
kata. Setelah selesai, Kepala Sekolah itu mengelus-elus rambutku sambil
berkata, “Kamu anak pintar, Nak. Bapak yakin kamu akan jadi orang besar nanti.
Belajarlah yang giat dan jangan lupa untuk beribadah”. Kepala Sekolah terus
mengelusi rambutku. Mungkin karena ia sudah tak bisa mengelus kepalanya yang
rambutnya sudah jarang.
‘Nanti’. Ah, kata
itu terdengar kembali.
Enam bulan bergaul
di lingkungan SMP, membuat diriku yang dulu tak pernah main keluar jadi
berubah. Sejak masuk SMP, aku jadi sering pulang terlambat ke rumah. Dua orang
teman baikku—Sandi dan Judika—memang sering mengajakku untuk pergi setelah
pelajaran selesai. Aku masih ingat waktu pertama kali mereka mengajakku pergi
ke warnet di belakang sekolah. Awalnya aku tidak tertarik karena memang tidak
suka dengan dunia maya, tapi aku terlalu sungkan untuk menolak ajakkan mereka.
“San, Zar! Ayo kita
ke warnet dulu, yuk! Nanti aku yang bayar!” ajak Judika seraya
mengibas-kibaskan selembar uang kertas berwarna biru dengan wajah I Gusti Ngurah Rai.
“Ayo! Ayo! Yuk,
ikut, Zar!” tambah Sandi yang langsung mau begitu Judika bilang akan mentraktir
mereka uang warnet.
“Ah, kamu dapat darimana
uang segitu, Dik?” tanyaku penasaran darimana Judika mendapatkan uang sebesar
itu.
“Aku dikasih. Sudah,
ayo, kamu mau ikut tidak?” jawab Judika sambil menatap kearahku. Sama juga
dengan Sandi, ia juga ikut menaruh pandangan kearahku, berharap aku ikut ke
warnet bersama mereka. Aku diam sejenak. Dan,
“Oke, aku ikut!”
seruku.
Ya, aku ingat. Sejak
saat itu, lembaran-lembaran kotor cerita hidupku mulai bergulir. Semakin lama,
semakin kotor dan mengeruhkan air dalam jiwaku yang semula jernih. Tercemar,
ya. Bukan hanya mengajakku ke warnet saja, sejak semester 2 kelas 9 Judika dan
Sandi sering mengajakku cabut sebelum
pelajaran selesai. Biasanya setelah itu kami keliling-keliling tidak jelas
dengan motor Judika dan Sandi. Aku selalu dibonceng oleh Sandi. Tentu saja kami
sudah ganti pakaian terlebih dahulu di kamar mandi masjid.
Awalnya memang hanya
buang-buang waktu dan bensin dengan berputar-putar dengan motor, tapi akhirnya
kami ikut-ikutan balap liar. Sungguh bodoh, balapan di kegelapan pada tengah
malam. Tadinya hanya Judika dan Sandi saja yang balapan, tapi akhirnya aku juga
ikut-ikutan. Kalau ingat itu, aku hanya bisa menyesali gelar IQ diatas
rata-rata saja. Mungkin sebenarnya IQ-ku diatas rata-rata kebodohan IQ orang
lain. Entahlah. Yang jelas aku sudah tak percaya lagi dengan sertifikat tes IQ
itu lagi.
“Yang duluan sampai
di perempatan itu adalah pemenangnya. Mengerti?” kata ‘juri’ balapan liar itu
padaku dan peserta bodoh lainnya. Kami mengangguk. “Oke, aku ulangi. Jadi
rutenya adalah pertigaan itu, lewati bunderan, lalu garis finishnya adalah
perempatan.” ulang si juri. Kami kembali mengangguk secara bersamaan seperti
kumpulan anjing sirkus.
“Baik, semuanya
bersiap!” seru juri. Kami langsung memutar gas motor seraya menekan rem dan
mengeluarkan suara geberan yang
keras. GRENG! GRENG! GRENG!
“GO!” teriak juri.
Dan saat itu juga rem motor kami lepas dan motor langsung melaju dengan
kecepatan yang sangat tinggi. Di tengah gelap malam dan dinginnya udara, aku
yang merupakan anak dengan NEM tertinggi berpacu dalam kecepatan melawan
anak-anak yang aku yakin mereka semua sudah putus sekolah. Pasti sekarang ini
anak-anak lain tengah asyik bermain di dalam mimpi indah mereka tentang masa
depan. Sementara aku malah sedang bertarung dengan kematian. Ya, kematian. Satu
saja kesalahan, maka motor ini akan oleng dan bisa fatal jika kenapa-kenapa
dalam kecepatan secepat ini.
Lalu benih kematian
itu pun akhirnya muncul dan terus mendorongku menuju malaikat pencabut nyawa.
Salah satu peserta balap liar menyerempetkan motornya ke motor Judika yang aku
pinjam karena aku sebenarnya belum diijinkan membawa motor. DAK! DAK! Bodi
motor itu terus menyerempet dan akhirnya aku terpojok di sebelah trotoar. Tapi
kalau segini saja aku masih bisa mengatasinya. Aku tendang kuat-kuat motor
lawanku itu hingga dia akhirnya oleng menjauhiku.
Dengan senyum
mengembang lebar, aku mengacungkan jari tengahku ke orang yang tadi
menyerempetku. Dia memicingkan matanya, tapi tiba-tiba bibirnya menunjukkan
gigi-gigi kuning. Dia tersenyum! Dengan perasaan tidak enak aku kembali
memandang ke depan dan sosok truk besar sudah berada di depanku. Aku baru sadar
kalau aku berada di jalur yang berlawanan.
Sepersekian detik
kemudian badanku menghantam badan truk besar dan aku merasa nyawaku dicabut
oleh malaikat. Aku sudah tak sadarkan diri. Mati?
PIP..
PIP..
Mati?
Sepertinya tidak.
Ya, aku masih hidup. Aku masih bisa dengarkan detak
jantungku.
Pelan-pelan kubuka
mataku yang rasanya berat. Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah warna
putih. Apa benda putih itu? Apakah itu adalah balutan kain kafan? Apakah aku
sebenarnya sudah mati? Benarkah? Oh, Tuhan.
Kuperhatikan lebih
cermat lagi. Bodoh, itu bukan atap, itu adalah atap. Sepertinya aku ada di
rumah sakit. Ya, benar. Aku ada di rumah sakit.
“Oh, kau sudah
siuman ya” kata seseorang. Suara itu..tidak mungkin salah. Itu suara ayah. Tapi
kenapa dengan nada datar dan kedengarannya tidak peduli denganku yang tengah
terbaring kaku di kasur rumah sakit ini? Ada apa dengan ayah.
“Ibu mana, Yah?”
tanyaku.
“Sedang sedih,
karena kamu!” jawab ayah seraya menatap tajam kearahku. Tentu saja aku kaget.
Tidak pernah ayah marah segeram ini pada anaknya ini. Ada apa?
“Zar, ayah kira kamu
anak pintar. Tapi ayah salah, kamu sama sekali tidak bisa dibanggakan lagi.
Sekali lagi kamu balapan liar atau berbuat apapun yang salah, kamu bukan anak
ayah lagi!” kata ayah padaku seraya membanting pintu dan keluar.
Aku dirawat selama 4
bulan karena tubuhku benar-benar remuk gara-gara kecelakaan itu. Akibatnya aku
harus mengikuti UN dalam keadaan sakit. Ujian praktek dan lainnya tidak bisa
aku lakukan. Hasilnya adalah nilai NEM yang sangat kontras jika dibandingkan
dengan NEM waktu SD dulu.
Sejak saat itu aku
berjanji akan menjadi anak yang baik.
Tapi janji adalah
janji dan setan tetaplah setan. Mereka terus membisikkan hal-hal jahat ke dalam
telingaku dan perintah mereka diproses dalam otakku yang ber-IQ tinggi.
Setahun berada di
SMA yang berada di urutan paling bawah dan berisi bocah-bocah bobrok, aku
kembali menghadapi masalah. Ya. Narkoba memang sangat mengerikan, benda haram
itu kembali menjerumuskanku kedalam jurang kenistaan.
“BODOHH!! MAU JADI
APA KALIAN KALAU KERJANYA HANYA NGGANJA SAJA!!
GOBLOK!!” gerutu Kepala Sekolah SMA-ku. Satu-satu pipi kami dia tampar dengan
buku cetak matematika 320 halaman yang digulung. Sakitnya 320 kali tamparan
biasa.
Di rumah pun aku
kembali kena marah. Ayah memang selalu menepati janjinya. Begitu sampai di
rumah, dia langsung mengusirku. Oke, kalau memang begini takdirku, aku akan
jalani! Setelah beres, aku pun tinggalkan rumah.
“Eh, Jeng, tahu gak,
itu ‘kan Nazar yang pinter itu!” bisik seorang ibu-ibu gendut.
“Iya, kasian ya.
Katanya dulu pernah kecelakaan gara-gara balap liar” tambah ibu-ibu lain.
“Denger-denger
katanya tadi di sekolahnya dia ketahuan ngisep
ganja, lho!” kata ibu-ibu gendut itu lagi. Brengsek, reputasiku benar-benar
sudah hancur. Ingin rasanya aku marah, tapi kepada siapa?
Pada Tuhan? Ya,
benar! Ini semua salah Tuhan. Dia yang salah telah memberiku takdir mengerikan
ini. Aku yakin Dia pasti sedang terkekeh mempermainkanku. Ya, awalnya dia buat
aku dipuji-puji setelah itu Dia membuatku down
dengan semua kenistaan ini. Bangsat.
Hari-hari aku lewati
dengan luntang-luntung tidak jelas
mencari tempat untuk menumpang tinggal. Aku kuat melewatinya pada hari-hari
awal, tapi setelah itu aku merasa sangat putus asa. Untuk apa sebenarnya aku
hidup? Ingin rasanya kucurahkan semua rasaku ini, tapi pada siapa? Pada Tuhan
yang terus mempermainkanku? Tidak, percuma saja, dia tidak pernah mendengar doa
dan curahan hatiku. Dia sama saja dengan manusia-manusia disekitarku. Tidak ada
yang peduli. TUHAN TIDAK DISINI HARI INI.
Benar, buat apa aku
harus hidup jika hanya untuk dipermainkan saja? Keputusasaanku ini sudah sampai
puncaknya. Aku sudah memilih sebuah tujuan. Ya, aku harus mati. BUNUH DIRI.
Entah bagaimana ceritanya
hingga aku sadar bahwa aku sudah berada di sebuah menara berwarna
merah-putih-merah-putih. Tingginya kira-kira sekitar 60 meter. Pasti sangat
menyakitkan jika jatuh dari sini. Tapi inilah cara agar aku bisa mengakhiri
seluruh kepedihan ini. Walaupun enggan, tapi niat bunuh diriku terus memacu.
“, mati” gumamku
dalam hati. Lalu tanpa sadar, tubuhku langsung melemas dan merasakan tamparan
angin. Aku terjun.
Detik-detik menuju
kematianku serasa cepat sekali.
Hingga akhirnya
daratan sudah sangat dekat—mungkin 2 detik lagi aku menyentuhnya, aku sadar
bahwa aku tidak ingin mati. Ya! Aku tidak ingin mati! Aku bisa memperbaiki
hidupku lagi! Di 2 detik terakhir dalam hidupku itu semua rasa putus asaku
seperti menguap ke langit dan mataku melihat jalan keluar. Tuhan, berikan aku
kesempatan sekali lagi. Tolong, aku masih ingin hidup.
Tapi, semuanya sudah
terlambat..
Semuanya sudah
berakhir..
Ternyata TUHAN
memang TIDAK DISINI HARI INI..
***
"Maaf, aku cuma terlalu lelah
Maaf karena aku hanya menyusahkan..
Mungkin setelah ini kalian akan lebih lega
Mungkin kehidupan semua orang akan lebih baik
Aku takut..
Sungguh sangat takut..
Hari ini sungguh menakutkan
Tapi aku juga marah
Kenapa tidak ada yang mengerti
Kenapa tidak ada yang mendengar
Bukankah aku sudah menjerit sekuatnya
Harus seperti apa agar kalian memperhatikan
Kenapa tidak ada tempat untukku
Andai saja ada yang menyodorkan tangan
Andai tidak segelap ini
Tentu aku juga tidak mau begini
Dan semua berakhir"
Setelah mati, aku
baru sadar kalau kematian bukanlah jawaban. Kematian adalah akhir dari
segalanya. Bunuh diri bukanlah jalan keluar, bunuh diri cuma memperkeruh
masalah, baik di dunia maupun di akhirat. Aku yakin, aku pasti akan kewalahan
menjawab pertanyaan para malaikat nanti. Sepertinya memang nerakalah tujuanku
yang terakhir.
Tidak ada obat yang
enak. Untuk mengakhiri sakit, harus minum obat yang pahit. Untuk mengakhiri
kepedihan ini, aku harus merasakan sakit, ya, aku harus berusaha, bukan mati.
Memang percuma
bagiku untuk memahami makna sebenarnya kalimat itu. Tapi aku jadi sadar satu
hal..
mati itu gampang, bertahan hidup itu susah..
mati itu gampang, bertahan hidup itu kebanggaan..
DON'T TRY SUICIDE, LIKE THIS COCKROACH
*lol*
Comments
Post a Comment