Penantian Untuk Sebuah Empati

  Ada saat-saat dalam hidup dimana kita tak mampu menyampaikan rasa simpatik kita kepada seseorang; kepada kawan, sahabat, tetangga, keluarga, pacar, bahkan musuh. Lidah serasa keram ketika kita hendak mengucap beberapa patah kata untuk menyatakan rasa simpatik tersebut. Dalam keadaan semacam itu, semua terasa aneh. Jutaan kata-kata tak mampu saya tumpahkan untuk sekedar menjelaskan perasaannya. Dalam keadaan semacam itu, saya pernah terperangkap.
  Ini soal masa lalu, sih. Tapi satu detik lalu pun, sudah masa lalu 'kan?
  Ya. Saya pernah terpenjara dalam saat-saat dimana empati kepada orang lain hanya mampu terasa dalam batin saja. Lisan hanya bisa bungkam. Ketika pandangan mata melesat dan saling bercumbu melalui cahaya, empati yang mestinya bisa tersampaikan malah berganti menjadi atmosfer acuh tak acuh.
  Detik-detik yang bergeming terus mencekik hingga kerongkongan mengering. Rasanya dalam kepala ini terngiang tawa membahana para pujangga bersimbah kata-kata indah. Monalisa bahkan merengut bila menatapku waktu itu.
  Oh, tapi.
  Tapi, hei, wahai, kawanku, sahabatku, tetanggaku, keluargaku, pacarku, dan musuhku, sesungguhnya dalam jiwa manusia hina ini tersimpan juga empati dan simpati meski hanya setitik kecil.
Angkara dan segala raungan gila yang dituturkan setan-setan berkostum manusia tentangmu dariku hanya bualan belaka.
  Disaat-saat seperti itu, maka maafkanlah segala perasaan yang tak tersampaikan. Kebenaran akan kita akan diketahui meski selama apapun kita mesti menunggu.
  Waktu takkan jengah membuat cahaya menunggu.



Comments

Popular Posts