lantang harapan hanya mimpi ekspetasi?!

  Hidup butuh harapan. Kita bisa tertidur nyenyak apabila dalam benak kita telah terharap bahwa esok kita akan terbangun dalam keadaan segar dan masih hidup, tentu saja. Ibaratnya, harapan itu nafasnya kehidupan. Oksigennya hidup itu 99% adalah harapan. Karena tanpa harapan untuk bisa terus hidup, ngaruh apa juga molekul oksigen yang terinspirasi itu? Toh, kan, otak mengintruksikan untuk berhenti berharap. Jadi hidup butuh berharap, juga bernapas!

Separuh Hati, Separuh Napas
  Aku sebenernya cinta setengah mati sama kamu. Tapi kamu bikin aku sekejap mati, karena bahkan dalam setengahnya tiap napasmu, kamu blas gak cintai aku. Cinta itu kejam. Apalagi yang setengah mati. Apalagi yg sebelah tangan. Setengah tangan, sebelah hati.
  Eh, tapi gak tau ding.
  Eh, tapi setengah matiku yang lain meyakini kalo kita sebelah tangan. Soalnya tanganku sibuk mencoba meraihmu, sedangkan tanganmu sibuk berpegangan agar tak terbawa nuansaku. Jahat. Masa aku harus mati muda untuk memastikannya?
  Pepatah yang tepat buatku; Nembak Segan, Patah Hati Tak Mau.

Ekspetasi Terlalu Tinggi = Bunuh Diri?
  Asumsikan kamu segan padaku. Lalu aku berjalan lagi menyusuri segmen yang berkilatan sepanjang garis hidupku. Fisik ya tetap, batin meratap-ratap. Mengutuk Tuhan sendiri karena perasaan ketidakadilan, lalu mengutuk diri sendiri, sebelum dikutuk balik Tuhan. Lalu segalanya seperti syair musik dubstep. DUBSTEP!!
  Oiya, aku menemukan orang yang 11-12 sama dirimu tau. Entah dewi darimana dia itu. Mungkin dari tempat yang sama denganmu, mungkin tidak. Yang pasti kita sama-sama bertetap pada titik yang berbeda, membentuk satu segitiga. Aku titik tunggal. Kalian reflektif, jadi objek pandangku. Jadi subjek harapanku, ekspertasiku.
  Dia senyum. Di depan lensa seolah tak tahu kalo aku bisa menikmatinya juga. Teknologi memang gila, and it keep turns me more crazy and crazy. Konsep edan. Kamu juga tak paham kan? Untung aku terbiasa selancari maya, dapat deh.
  Kupandang saja. Fuck yeah, bidadari! Kenapa ada makhluk reflektif sepertimu sih?
  Lalu bisa gak aku dapatkan dia buat gantimu? Kata teman-temanku, dia adalah titik utara magnetisku--si titik selatan. Emang cocok? I hope so, lirihku dalam batin.
  Tapi dewi itu masih saja memainkan selendang yang berwarna warni yang terikat di lehernya tersebut. Ia masih terbang teramat tinggi di puncak pelangi. Apa yang disebut ekspetasi adalah harapan untuk menjangkaukan jemari kepadanya. Kalau aku mendaki pelangi terlalu tinggi, itu namanya bunuh diri! Pelangi cuman tipuan cahaya!

Jalang Merindukan Bidadari
  Seperti punguk merindukan bulan.
  Beraninya! Dia tentu saja bukan selayak bulan, yang pucat, tak rata permukaannya, yang enggan perlihatkan sisi gelapnya. Pokoknya bukan, mungkin bukan. 
  Tapi, oke, aku punguk. Mungkin lebih parah. Aku jalang! Bukan binatang, tapi merasa terbuang. Kawananku entah beraoa yang masih meradang. Yang jelas aku merindukan bidadari. Haruskah aku menanti seribu tahun lagi?

Air Mata
  Kalo kata The Beatles, words are flowing out like endless rain into a paper cup. Gue banget.
  Sebanyak apapun puisi yang aku susun seindah-indahnya, kalo kamu atau pun dia tak menyadarinya, ya akan menjadi forever rain drops yang mengalir menjauh karena gelas kertasnya tetap segitu saja; there's none of paper cup that available for me, kecuali aku bicara. Huh, stop.
   Harapanku hanya aku bisa bertemu orang sepertimu yang tak seperti dirimu, yang bisa mengusap air mata satu-satunya; the real of me. Lalu biar saja blog ini terbengkalai, karena waktuku akan habis bersama orang itu, paper cup-nya akan makin luas volumenya dan air hujanku takkan meluap meski berapa literpun banyaknya.
  Itu jelas tidak aku temukan padamu (atau kau tak mau tunjukkan?)
  Semoga dia, iya. Positiva, Athenaa!!
  

  Lantang amat aku.
  Moga-moga mimpi bisa jadi kenyataan, ya, Nona Ekspetasi Tertinggi?


(dalam kondisi insomnia-ekspetasi, mars sedang oposisi, apr14)

Comments

Popular Posts