Perempuan yang Mencintai Hidupnya


Kepada Perempuan yang Mencintai Hidupnya,

Dimana pun engkau berada kini aku tak peduli; aku selalu bersamamu. Dalam dekapan udara dingin bulan akhir tahun, bersama dengan segelas kopimu. Atau dalam tumpukan tugas kuliah yang membuatmu terjaga hingga pagi. Aku disitu. Sebab aku mencintaimu. Seperti engkau mencintai hidupmu.

Kemarin. Atau sekarang.

Di atas panggung, di depan ribuan orang. Suaramu yang desibelnya dikali lipatkan oleh pengeras bebunyian adalah nafsu yang aku cumbui. Getarnya senada dengan jiwa yang meronta. Resonansi dengan kagum yang bersemayam dalam dada. Sekarang adalah waktumu menari dengan irama dan laju darah dalam pembuluh tubuhmu. Berkeringat. 
Aku pejamkan mata dan tenggelam dalam pentatonis nada dasarmu. Dan begitulah aku jatuh cinta. Mendayu-dayu, bukan meronta pinta.

Meminta. Sembari memberi.

Arwah mana yang merasukimu aku tak tahu. Kau jauh beda dari apa yang kupikir akan menjadi refleksi ekspektasiku. Luar biasa. Dan tangan tak kasat mata itu menyentuh relungku. Meletakkan rusuk yang dulu pernah hilang: kamu.

Perhatian mana yang hendak kau curi lagi?
Sedangkan aku adalah manifestasi dari segenap terang-gelap semesta bagi dirimu yang sejati. Merapatkan diri menjadi satu dari sekian juta.

Perempuan yang mencintai hidupnya. Melengkungkan senyum kala dunia tak bisa. Menitikkan air mata ketika sang duka bahagia. Aku adalah anak semata wayang dari denyut yang mendamba. Tengkukmu, siku, dan jari jemarimu yang aku cumbui adalah sepi ketika malam berpulang. Adalah magis kala cemburu menghadang.



Kepada Perempuan yang Mencintai Hidupnya,
aku pernah ingin membunuhmu satu kali.

Tidak.
Dua, hm, bukan.

Berkali-kali. Aku pernah ingin membunuhmu berkali-kali.
Sebab bahkan mata kakimu pun mengundang kunang-kunang untuk membentuk tarian senang. Merangkai persembahan dari jantan pada betinanya. Bahasa semesta untuk mengatakan, aku cinta. Dan aku membisu dalam seribu kata sajak putus asaku.

Menggumamkan keinginan; aku ingin membunuhmu.
Biar saja kagumku abadi menjadi belati yang merenggut denyutmu dari nadi. Sebab kau adalah berkah, terlampau indah, untuk dimiliki oleh siapa saja. Bahkan olehku.
Izinkan aku mendekapmu dari waktu yang begitu kaku: menuakan segala yang muda, mematikan segala yang ada, menyudahkan semua yang pada.

Mati kau, penyihir.
Kau sudah disalib akan kubakar.
Mendebu dalam kremasi.
Selamat pagi.

Ini tanda cintaku,
ada lagi yang lebih besar daripada menyaksikanmu hingga akhir daur nafasku?



asteriska adalah bagian dari barasuara
sajak ini disusun ditemani gerald situmorang dan petikan gitarnya dalam solitude
foto asterika dipinjam dari berbagai sumber di dunia maya tanpa persetujuan lebih dahulu

namun bukankah kagum tak butuh persetujuan,
sebagaimana aku, apakah telah kau izinkan untuk memuja, meski 22 bulan mengkekasihi engkau,
kekasih?

21 nov 16.
wanita adalah manifestasi surga
yang terlokasi di telapaknya
nada adalah ibu
dari anak-anakku

~

Comments

Popular Posts