Yu Patmi dan Mental Health

Bung Karno pernah bicara, "Indonesia belum membutuhkan seorang ahli jiwa." Alasan ini barangkali benar. Ucapan itu terlontar ketika ia sedang berdebat dengan anak keduanya perihal jurusan kuliah. Kepada Gadis, begitu Bung Karno kerap memanggil anak keduanya tersebut, ia menghendaki supaya menekuni pertanian meski sang anak ingin belajar psikologi. Harapannya, mungkin, adalah supaya Indonesia, yang selain negara maritim juga negara agraris, punya seorang ahli pertanian guna mengurusi perihal agrikultura yang kelak akan dihadapinya. Alih-alih ahli jiwa. Sebab, lagi-lagi barangkali, Bung Karno berpikir kalau perut sudah kenyang terisi nasi, setidaknya tiada orang bakal depresi; kalau tubuh sudah diasup makanan bergizi, pasti insan Indonesia bakalan sehat jiwa dan raga.

Namun, sungguh naas. Meski pada akhirnya berhasil meyakinkan Gadis dan telah diterima anaknya tersebut di Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Bandung, pada 1965, harapan Bung Karno tersebut terkubur dua tahun kemudian. Orde Baru, dengan represinya, mesti bersikap pada siapapun yang berhubungan dengan Bung Karno. Termasuk Gadis. Ia mesti berhenti kuliah juga keluar secara paksa dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, sebuah organisasi onderbow--alias cabang dari partai atau perserikatan--PNI, bentukan ayah Gadis.

Sekarang kalau diizinkan memandang secara ekstrim, rupanya Orde Baru tidak saja menguburkan mimpi Bung Karno supaya sumber daya alam Indonesia benar-benar dikelola oleh anak bangsa sendiri dengan menutup diri terhadap pemodal asing. Orde Baru juga menuntaskan harapan Bung Karno, yang entah pastinya apa, ketika menyuruh Gadis menuntut ilmu pertanian saja--ketimbang psikologi. Kini, berpuluh-puluh tahun setelah perdebatan tiga hari tiga malam antara Bung Karno dan anak gadis pertamanya, di bawah rezim kekuasaan sang ananda, Indonesia harus menemui episode pahit tentang topik agrikultur--yang gara-gara Orde Baru maka perkuliahan harus terhenti meski belum tuntas dipelajari Gadis, Ketua Umum partai yang kini salahdua kadernya adalah Pak Presiden Jokowi dan Pak Gubernur Ganjar.

Sebelumnya perlu saya tekankan bahwa saya tidak akan berbicara tentang benar atau salah antara segala hal selanjutnya. Sebab, menurut saya, bila bertumpu pada dua indikator tersebut, maka ini hanya akan jadi pembicaraan tak berujung. Saya hanya memberikan perspektif yang, sekali lagi, menurut saya terbaik. Sebuah refleksi dari komparasi fakta yang sejatinya paradoks. Sebuah rasa penasaran atas perdebatan ayah dan anak perempuannya, bahwa sebetulnya antara ahli jiwa dan ahli agrikultura, mana yang lebih dibutuhkan Indonesia? Setidaknya, untuk saat ini.

Lebih Dipasung daripada Yu Patmi
Saya sudah mlipir sebegitu jauh dari kehidupan pribadi Bapak Proklamator Indonesia dengan anaknya, Dyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, hingga ke represi Orde Baru, sampai pada akhirnya mendarat pada teritori partai banteng dan spesifiknya, kedua kadernya: Pak Jokowi dan Pak Ganjar. Dengan manuver sebegini 'ngawur'-nya, saya merasa berdosa kalau tidak memulai terlebih dahulu topik ini dari pahlawannya yang telah berpulang: Yu Patmi.

Beliau, Yu Patmi, adalah salah satu dari sekitar 50 pejuang Kendeng yang memasung sepasang kaki masing-masing dengan semen. Aksi yang dilakukan di depan Istana Negara tersebut adalah kelanjutan dari usaha perlawanan dulur-dulur Kendeng terhadap kehadiran pabrik semen plat merah, PT Semen Indonesia, di Rembang, termasuk pula beberapa pabrik lainnya di Pegunungan Kendeng. 

Usai mendapatkan jawaban dari Istana Negara, meski begitu mengecewakan, seminggu kemudian setelah melaksanakan aksi semenjak hari Senin, 13 Maret 2017, sebagian warga diputuskan akan pulang ke kampung halaman. Yu Patmi adalah salah satunya. Cor kaki beliau dibuka pada Senin malamnya dan bersiap untuk pulang pada Selasa pagi. Malamnya, setelah diperiksa oleh Dokter Alexandra Herlina dan dinyatakan dalam keadaan baik dan sehat, Yu Patmi istirahat sebentar. Kemudian beliau pamit untuk mandi. Setengah jam kemudian, sang dokter mengaku mendengar jeritan Yu Patmi lalu segera menghampiri Yu Patmi yang ditemukan terjatuh di dekat lift. Saat itu sekitar pukul 02.30 dini hari tanggal 21 Maret 2017, Yu Patmi ditolong para relawan lantas dibawa ke kamar. Beliau mengaku tidak enak badan, mulai mengalami kejang-kejang dan muntah. Melihat ketidakberesan itu, maka Herlina segera memboyong Yu Patmi ke RS St. Carolus Salemba. Belum sampai di tempat tujuan, sayangnya maut telah berkemas terlebih dahulu. Pihak rumah sakit menyatakan bahwa Yu Patmi mengalami sudden death sekitar pukul 02.55 dengan dugaan jantung.

Hingga tulisan ini dibuat, respon masyarakat yang menaruh perhatian pada perjuangan saudara-saudara Kendeng atas kepergian Yu Patmi berbagai macam. Di tiap-tiap kota di penjuru Indonesia, di Jogja, Semarang, Surabaya, bahkan Samarinda, banyak yang mewartakan ajakan untuk berdoa bersama untuk Yu Patmi dan mengawal lebih ketat perjuangan saudara-saudara Kendeng.

Perjuangan dari saudara-saudara Kendeng menolak rencana pembangunan industri pabrik semen sebetulnya telah menggeliat semenjak lama. Bermula dari gugatan yang dilayangkan oleh warga Pati atas izin lingkungan anak perusahaan Indocement, PT. Sahabat Mulya Sejati, ke PTUN Semarang pada November 2014 lalu yang awalnya dimenangkan warga. Sayangnya, para warga kalah pada proses banding. Lain di Pati, lain di Rembang. Para warga yang juga gencar menolak pembangunan pabrik Semen Indonesia telah melayangkan gugatan dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung pada 6 Oktober 2016 lalu. Kendati demikian, rupanya Pak Gubernur Ganjar pandai melihat celah. Atas dasar kepentingan nasional, dan 5 miliar yang menurutnya dapat dituai, ditandatanganinya kembali izin baru pada 23 Februari 2017. Inilah yang membuat berang saudara-saudara Kendeng. Kembalilah mereka melakukan aksi penolakan dengan melakukan 'belenggu' dengan mengecor sepasang kaki mereka guna upaya protes. 

Mendiang Yu Patmi dan kawan-kawan yang hingga kini masih berjuang itu bukannya anti kemajuan dan perubahan. Aksi yang cenderung 'menyiksa' diri sendiri tersebut bukannya karena mereka tak mampu menempuh upaya yang lebih 'inteligen' atau bagaimana, namun justru dengan cara begitulah sedulur kita itu mencoba untuk merepresentasikan fakta yang selama ini terjadi hingga berlarut-larut, menjadi lebih mudah dicerna. Harapannya begitu.

Bahwasanya jauh sebelum Yu Patmi memutuskan untuk menjadi salah satu dari Kartini Kendeng yang membelenggu sepasang kaki mereka dengan cor semen, kehidupan saudara kita di Pegunungan Kendeng sudah terbelenggu dengan kehadiran pabrik-pabrik semen. Salah satunya PT. Semen Gresik, yang sejak 20 Desember 2012 berganti nama jadi PT. Semen Indonesia. Dibangun dengan izin lingkungan atas AMDAL yang cacat, pabrik semen plat merah tersebut mengancam kehidupan petani Kendeng sebab lokasinya yang berada di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Terlebih, mata pencaharian mereka yang terancam berubah dari petani menjadi buruh kasar, jelas membelenggu harapan mereka.

Namun, alangkah orang-orang di perkotaan telah tumpul pangroso-nya untuk membaca sesuatu yang tersirat. Melihat ibu-ibu petani yang jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk dipasung dengan semen kakinya, mereka justru kasihan. Bukannya menerima afirmasi pesan tak tersurat, mereka justru sekedar kasihan. Denial-nya, sebab aksi tersebut terkesan menyiksa. Dan kenapa pula harus para wanita yang melakukannya? Terdengar cenderung sexist, mungkin. Yang jelas mengekspresikan empati itu tentu diperlukan. Namun, dengan merasa kasihan? Uh-oh. Menurut Sujiwo Tejo, dan saya amini pula, rasa kasihan itu timbul karena adanya rasa 'merasa lebih'. Dalam hal ini, merasa lebih leluasa sebab tidak ada bagian tubuh yang dibelenggu dengan cor semen. Lain dengan para sedulur-sedulur Kendeng. Padahal, jangan-jangan kita justru telah terbelenggu secara psikologis, dan kita tidak pernah sadar?

Melihat bagaimana sebagian besar masyarakat Indonesia masih menyikapi isu-isu penting dengan tanpa perasaan, seperti mendiskreditkan para pejuang Kendeng atas dasar anti kemajuan dan perubahan, atau bahkan menghujat seorang suami yang bunuh diri secara live di Facebook dengan komentar-komentar miring, masih yakinkah Anda, secara psikologis, lebih leluasa dari para saudara Kendeng yang dipasung sepasang kaki, bahkan hak dan kepentingannya?

Indonesia dan Kesehatan Mental
Beralih sejenak dari episode pahit perjuangan petani Kendeng dengan meninggalnya Yu Patmi pada 21 Maret 2017 lalu, Indonesia juga sempat digoncang kiamat kecil yang dilakukan sendiri oleh seorang pria di Jagakarsa, pada 17 Maret 2017. Dalam video di Facebook-nya yang menyiarkan secara live proses gantung dirinya tersebut ia bertutur bahwa sedang sakit hati lantaran ditinggal istri yang telah dinikahinya selama 13 tahun.

Berdasarkan data hasil Riskesdas 2013, di Indonesia sejatinya terdapat 14 juta orang dengan prevalensi gangguan emosional yang gejalanya adalah depresi serta kecemasan. Jumlahnya 6% dari seluruh penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas. Salah satunya, barangkali, adalah teman di sekitar Anda. Namun meski dengan jumlah sebesar itu, sebagian masyarakat Indonesia masih cenderung tak peduli, mendiskreditkan, bahkan mengolok-olok terhadap mereka dengan isu kesehatan mental, dengan mengaggap tabu. Sehingga kawan-kawan dengan tendensi untuk melakukan bunuh diri akibat isu tersebut, menjadi takut, bahkan untuk menemui psikiater atau psikolog di klinik kesehatan jiwa sekali pun. Mereka ngeri akan cibiran-cibiran dari sekitar. Bahkan, pada kasus bunuh diri live di Facebook tersebut, banyak komentar-komentar yang justru menyelepekan, nyinyirin, menilai orang yang depresi ingin bunuh diri terlalu berlebihan alias lebay. Sempat-sempatnya, ada pula yang justru mendakwah, menyalahkan balik, dan menertawakan! Padahal, saat itu, apa yang dipertaruhkan adalah nyawa seseorang. Entah pihak mana yang sebenarnya, 'sakit mental'-nya.

Perlu ditekankan bahwa sebagaimana kesehatan raga, kesehatan mental pun sama pentingnya. Kendati demikian, saat ini Indonesia belum memiliki fasilitas tenaga medis yang mencukupi standar. WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 orang. Sekarang, di bawah rezim kepimpinan partai Gadis, putri Bung Karno yang ingin sekolah psikolog tapi banting stir jadi kuliah pertanian, Indonesia baru memiliki  451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 orang), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 orang)

Isu kesehatan mental merupakan sesuatu yang krusial, namun tenaga psikolog di Indonesia masih tak memadai. Berdasarkan data, hanya kurang dari 10% penderita gangguan jiwa yang menerima layanan terapi dari tenaga medis. Sisanya memilih pergi ke dukun atau kiai yang notabene, tentu saja non-medis. Atau malah dibiarkan saja. Bahkan ada pula para penderita gangguan jiwa yang justru dipasung. Salah satunya Yanto di Sulawesi Utara.

Perihal pasung-memasung ini, padahal rezim yang tengah berkuasa saat ini telah bersikap melalui Kementrian Sosial, dengan Program Bebas Pasung tahun 2017 ini. Namun tampaknya, belum begitu berhasil. 

Izinkan saya melompat sejenak secara ekstrim dan dengan spirit ngawur karena benar, meski sejatinya berkaitan. Pemerintah berkuasa boleh dibilang belum begitu serius menghapus pemasungan di Indonesia. Ia bahkan dengan simbolik semakin memasung. Seperti melalui tangan birokratnya di Jawa Tengah, dengan berbagai cara mencoba tetap membuat para pejuang Kendeng terpasung dan mau tak mau kembali memasung. 

Terpasung oleh hadirnya pabrik semen berplat merah milik negara dan memasung bagian tubuh mereka sebagai aksi simbolik meminta keadilan ditegakkan. Namun, selayak para netizen yang justru nyinyir dan kehilangan akal kala merespon aksi bunuh diri secara live di Facebook, segelintir terdidik dan cendekia justru menganggap aksi para pejuang Kendeng dengan memasung sepasang kaki itu sebagai 'tindakan bodoh'. Aksi tersebut sampai diwarnai dengan meninggalnya salah satu pejuang Kendeng yakni Yu Patmi. Melihat dinamika ini, menurut saya mengisyaratkan bahwa memang benar Indonesia darurat kesehatan mental.

Tidak Sakit Mental Keadilan Sosialnya
Tanpa bermaksud merendahkan saudara-saudara kita yang mengidap gangguan mental, saya ingin meminjam frasa 'penyakit mental' yang menurut pandangan saya dimaknai secara salah. Bagi saya, pengindap gangguan mental tidak semestinya disebut mengalami 'penyakit mental'--baik itu bagi mereka yang mengidap gangguan mental karena faktor eksternal (seperti stress atau depresi) maupun karena faktor internal (seperti pengaruh genetik, gangguan syaraf otak, atau semacamnya). Sebab, bagi saya, memang begitulah saudara-saudara kita tersebut tercipta.

Maksud saya begini: mereka yang mengidap gangguan mental karena faktor internal terlahir secara normal dengan kekurangan-kekurangan yang menyebabkan fungsi psikisnya terganggu sedangkan mereka yang mengidap gangguan mental karena faktor eksternal menunjukkan responsnya terhadap tekanan-tekanan yang begitu membebani psikis mereka. Dan sebagaimana seorang manusia, kita semua tercipta dengan batasan-batasan. Sehingga, bagi saya, wajar ketika tekanan tersebut melampaui batas, respons yang terjadi adalah munculnya suatu 'gangguan'. Justru, ketika suatu subjek telah ditekan sedemikian rupa hingga melampaui batas namun mental mereka (seolah) baik-baik saja, jangan-jangan justru itulah sinyal telah terjangkitnya mereka dengan 'penyakit mental' (Sekali lagi tanpa merendahkan pihak manapun saya ingin meminjam istilah tersebut untuk perspektif yang berbeda daripada umumnya)

Perasaan mana yang tidak terenyuh ketika melihat para ibu-ibu petani, dibawah teriknya ibu kota, di depan Istana Negara, dipasung sepasang kaki mereka dengan cor semen? Membalut kenyataan tersebut, sebuah fakta berhembus tentang risaunya para petani ketika pabrik semen diwacanakan akan dibangun di atas sumber kehidupan mereka. Bahkan adanya usaha 'pengangkangan' terhadap hukum oleh Pak Gubernur Ganjar, yang mengaku datang dari representasi 'wong cilik', juga tak dapat dikesampingkan. 

Saya pribadi, begitu teriris menatap kenyataan para Kartini Kendeng dan segenap pejuang dari Kendeng lainnya, yang sampai mesti sebegitu jauhnya mengusahakan keadilan atas pengingkaran dari 'sekedar' surat-surat keputusan. Menyadari bahwa kelangsungan hidup mereka dan generasi selanjutnya di sekitar Pegunungan Kendeng bergantung pada lembaran-lembaran izin, betapa suatu hal yang konkret begitu bertumpu pada sekedar tulisan dan tanda tangan, bagi saya adalah wujud 'kegilaan' itu sendiri.

Pun begitu, masyarakat Indonesia justru terbelah menjadi berbagai macam kubu dalam memberikan respons atas isu ini, yakni: golongan yang pro-semen, golongan yang anti-semen, dan golongan yang tidak peduli. Saya sendiri pernah menjadi bagian dari golongan terakhir, sebelum kemudian jadi musafir antara golongan yang pertama dan kedua. Lalu memutuskan untuk bersikap 'non-blok' dengan fokus 'berpihak pada sedulur-sedulur Kendeng'. Karena bagi saya, bukan masalah semen atau tidak semen yang jadi episentrumnya, bukan masalah Semen Indonesia atau Indocement titik beratnya, melainkan kegelisahan dalam diri saya, "Adakah hal yang bisa dilakukan hanya supaya ibu-ibu Kendeng tiada perlu memasung kakinya dan Pemerintah tiada perlu khianati rakyatnya?" Mengharapkan yang terbaik. Berpihak pada yang terbaik.

Karena sebagaimana yang saya bilang sebelumnya, Indonesia ini seolah-olah tengah darurat kesehatan mental. Kita ini, lho, kaum berpendidikan, di Pemerintahan maupun rakyat...kok malah terpecah menjadi berkubu-kubu, merusak hubungan antara 'imam dan makmum', dan dari ketakutan para petani justru membesarkan topik ke skup 'ada intervensi asing' gara-gara pabrik semen sebelah tidak diprotes seriuh yang milik negara. Perjuangan sedulur-sedulur Kendeng ini, bagi saya, ya mencakup setiap jengkal dari Pegunungan Kendeng. Merintis keadilan agraria di Indonesia guna kedepannya. Mbok ya, beri perhatian lebih kepada petani-petani dari Jawa Tengah itu yang sampai-sampai memasung kakinya. Apa kita tega memperdebatkan sudut pandang dan hal-hal tetek bengek seperti itu sambil ongkang-ongkang ketika saudara-saudara kita justru dipasung semen kakinya, waktu itu?

Entah bagaimana menurut Anda, namun bagi saya itulah gejala 'penyakit mental' yang nyata. Sebagian besar rakyat Indonesia masih gemar menganggap remeh dan bahkan mem-bully pengidap penyakit mental di sekitarnya, namun justru terbagi jadi bermacam-macam mahzab ketika pengidap 'penyakit mental' yang sesungguhnya tak acuh terhadap tekanan-tekanan para sedulur Kendeng yang melampaui batas.

Respons yang diberikan oleh Pemerintah atas aksi #DipasungSemen--yang sampai ada jilid duanya--dinilai kurang manusiawi. Menghadapi ibu-ibu petani dengan aksi memasung kaki dengan cor semen di depan Istana Negara, Pemerintah seolah tidak 'terganggu' dan bersikap semuanya baik-baik saja. Mereka lebih memilih bungkam selama seminggu dulu, pura-pura tidak kena penyakit mental ditempa tekanan sebegitu melampaui batasnya, sebelum pada akhirnya memberi kabar melalui utusan Presiden. Selang waktu singkat setelah itu, Yu Patmi secara mengejutkan berpulang terlebih dahulu di tengah perjuangan. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah melunak dengan mempertemukan beberapa petani dengan Pak Presiden Jokowi, namun lagi-lagi tampak betapa kurang pekanya segenap penguasa dalam merespons isu ini.

Ibu-ibu mesti memasung kakinya. Seorang dari mereka bahkan meregang nyawa di tengah perjuangannya. Apa tidak mengidap 'penyakit mental' Pemerintah ini ketika menjawab keresahan para kaum Marhaen tersebut dengan pingpong ala birokrasi? Pak Presiden Jokowi kabarnya mengembalikan perihal izin lingkungan itu kembali kepada Pak Gubernur Ganjar.

Padahal, Pak Gubernur Ganjar sendiri telah selincah belut mencari celah atas keputusan Mahkamah Agung untuk mencabut izin lama. Yakni dengan menerbitkan izin baru. Alasannya, itu hanya perihal nomenklatur perubahan nama PT. Semen Indonesia yang memang sebelumnya adalah Semen Gresik. Apa yang 'terganggu' dari sini, menurut saya adalah sikap Pak Gubernur Ganjar dalam mengkomunikasikannya dengan mereka yang jadi pokok perkara--para petani. Kendati sebelumnya saya cukup terkesima dengan gaya komunikasi Pak Gubernur Ganjar dengan rakyatnya yang bisa gayeng nan mudah melalui Twitter. Kalau sampai ada ibu-ibu petani yang mengecor kaki mereka, mestinya sebagai pemimpin yang mengayomi, Pak Gubernur Ganjar dapat berkomunikasi dengan sedulur-sedulur Kendeng sebagaimana kapasitas mereka. Komunikasi itu penting. Bagaimana metodenya, juga perlu diperhatikan. Karena kalau tidak berjalan baik, ya itulah indikasi 'penyakit mental' yang diidap.

Sebagai dua tokoh politik yang berperan besar dalam isu Kendeng ini, 'penyakit mental' juga tampak dari sudut pandang politis. Baik Pak Ganjar maupun Pak Jokowi sama-sama datang dari partai putri pertama Bung Karno. Menariknya, berdasarkan laman resmi KPU Jawa Tengah, pada Pilgub 2013 lalu yang mengantarkan Pak Ganjar pada jabatannya sekarang, ia memenangkan 46,77% suara dari dua lawan lainnya di Kabupaten Rembang. 

Pak Jokowi juga memenangkan pertarungan secara telak di lima desa terdampak rencana pembangunan pabrik Semen Indonesia pada Pilpres 2014 lalu. Dilansir dari situs rilis Kawal Pemilu, di pusat denyut penolakan warga atas pabrik semen, Kelurahan Tegaldowo, Pak Jokowi meraup suara sebanyak 78,82% ketimbang pesaingnya. Hasil itu terbanyak dari 16 kelurahan lain di Kecamatan Gunem dengan total sebanyak 9.639 suara.

Miris melihat bagaimana dalam menjawab keluhan para petani yang notabene adalah konstituen partai putri Bung Karno, baik itu Pak Ganjar, Pak Jokowi, maupun sang Ketua Umum sendiri, tidak sehangat seperti ketika para pemilih mempercayakan kedaulatannya. Bahkan, Gadis enggan menemui para petani Kendeng ketika mereka datang untuk sowan dan 'curhat'.

Diluar sisi politik tersebut, sebenarnya Indonesia nggak butuh-butuh amat, lho, pembangunan pabrik semen secara besar-besaran dalam waktu dekat ini. Penyebabnya adalah kapasitas produksi semen nasional lebih besar daripada jumlah permintaan domestik. Tercatat pada tahun 2015 produksi semen nasiona mencapai 75,3 juta ton sedangkan konsumsi nasional hanya 62 juta ton.

Fakta mubazirnya produksi semen tersebut berpotensi semakin buruk ketika melihat kedatangan lima pendatang baru industri semen dari asing pada 2016 lalu. Mereka salah satunya adalah Siam Cement dari Thailand. Padahal sebelum itu pun pangsa nasional juga telah dibayangi oleh dua perusahaan semen asing, yakni Indocement dan Holcim. Ekspansi pihak luar tersebut ditenggarai oleh pelemahan ekonomi di Tiongkok dan rendahnya konsumsi semen di negara berkembang lainnya.
Selain dua hal itu, merebaknya isu lingkungan di negara-negara Eropa juga jadi salah satu faktor terbesar. Menyadari hal tersebut, mestinya jadi perhatian kita bersama supaya mengawal secara ketat kasus lingkungan, seperti kasus Kendeng saat ini, agar pihak-pihak asing yang hendak mengekspansi tanah Ibu Pertiwi yang kelebihan semen ini gentar. Tidak berhenti di Kendeng saja, kita juga mesti menaruh perhatian besar pada proses kasasi yang berlangsung atas gugatan yang dilayangkan kepada pihak Indocement di Pati, setelah kekalahan masyarakat pada proses hukum sebelumnya. Sehingga, kita dapat menuai manfaat berupa terjaminnya kehidupan para petani, kondisi lingkungan yang terjaga, juga kekuatan nasional--antara lain dengan supremasi hukum yang dihormati oleh semua pihak termasuk gubernur sekali pun dan kontrol terhadap dominasi pihak asing. Singkat kata, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kecuali kalau penelitian terbaru ternyata menunjukkan bahwa semen dapat menyembuhkan 'penyakit mental' yang menjangkiti. Sisa-sisa kelebihan produksi semen yang belum terkonsumsi bisa dipakai sebagai pengganti nasi. Hasilnya, supaya para terdidik maupun tidak, berhenti mengolok-olok saudara-saudara kita yang mengidap gangguan mental dan gangguan penerapan hak asasi manusianya.

Konstelasi
Yu Patmi barangkali tidak pernah sadar bahwa umurnya sama dengan Pak Gubernur Ganjar, 48 tahun. Kedua teman seumuran tersebut, kala muda dulu pasti tidak pernah menyangka kini akan berdiri di pihak yang saling kontra. Saya tidak berusaha menyudutkan siapapun. Hanya mencoba memberikan refleksi bahwasanya jauh di bawah tabir kepentingan, kita sama: rakyat Indonesia.

Saya juga tidak mencoba untuk mendiskreditkan PDIP dan Ketua Umumnya, ketika di satu sisi saya junjung tinggi-tinggi kesetaraan harga diri dari saudara-saudara pengidap penyakit mental. Lagi-lagi, saya hanya bermaksud untuk memberikan refleksi bahwa jauh setelah impian muda sang Ketua Umum untuk jadi seorang psikolog terkubur kuliah pertanian--yang juga dihancurlebur Orde Baru--siapa sangka di bawah rezimnya, Indonesia menemui episode pahit baik itu dalam tema psikologi maupun agrikultur. Meski kecil, namun saya percaya ada sangkut pautnya dengan kondisi saat ini. 

Sejatinya, segala hal, saling kait berkait. Saya percaya itu. Entah itu respon kita terhadap isu Kendeng ini, sikap kita pada teman yang depresi, empati terhadap orang yang kepada kita mereka mempercayai, atau bahkan milih jurusan kuliah pun. Juga keputusan-keputusan yang tiada bisa kita pilih, seperti dimana kita lahir--entah Kendeng atau Klaten, bergerak dimana kepentingan kita--entah nasi atau semen, atau bahkan siapa yang disuratkan jadi orangtua kita--Bapak dengan anak yang berkelainan mental atau Bapak yang selanjutnya dipanggil Presiden.

Oleh sebab itu, maka sejak awal saya menolak untuk bicara dalam ranah benar atau salah. Karena segalanya fleksibel. Kondisilah yang akan membawa 'suatu nilai' menjadi benar atau salah demi mencapai sesuatu yang terbaik.

Barangkali memang yang terbaik adalah perjuangan Yu Patmi usai disini. Sebab Tuhan sayang beliau yang tak perlu lagi terpasung dalam cor semen, dan tak perlu lagi terpasung dalam mindset atau psikis yang dibentuk kepada kita. Yu Patmi terbebas menuju kehidupan yang lebih tenang. Amin.

Segala hal berkait. Sesuatu disiapkan untuk satu momen maupun untuk kesempatan-kesempatan lain yang membutuhkan pencerahan. Seperti halnya ketika Bung Karno pernah bicara, "Jangan dirikan industri di atas lahan produktif." Intinya begitu, saya dengar seorang orator pada Doa Lintas Agama untuk Ibu Patmi di depan Gubernuran, Semarang, Kamis (23/3) lalu. Saya rasa dikutip dari pidato Bung Karno tentang pangan, 27 April 1952 silam.

Saya kira ucapan tersebut, barangkali, untuk pedoman kondisi Indonesia saat ini di bawah rezim partai putrinya. Sebab kala memilihkan jurusan kuliah buat putrinya dulu, mereka tak temukan titik temu: Bung Karno ingin putrinya kuliah pertanian, putrinya sendiri ingin kuliah psikologi. Kendati dua-duanya tak ada yang kelar didalami sang putri.

Negeri ini lebih butuh ahli pertanian atau ahli jiwa?
Netizen bertanya...


Patmi, dalam bahasa Jawa berarti bunga lotus.

-----------
DAFTAR PUSTAKA
Tempo. 2010. Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia. Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/df8fdd2e24a5061257ec52dfe1f7743a
https://tirto.id/selamat-jalan-yu-patmi-clgR
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/22/15154681/bertemu.jokowi.petani.kendeng.ini.menangis.tuntutannya.tak.dipenuhi
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/21/16154261/jokowi.tolak.cabut.izin.pt.semen.indonesia.yang.diterbitkan.ganjar
http://regional.kompas.com/read/2017/03/22/10040501/soal.pabrik.semen.ganjar.minta.warga.bisa.melihat.jernih
http://www.kompasiana.com/rahmanmourinho/kasihan-adalah-wujud-lain-dari-kesombongan_552092a7a33311104746cfec
https://tirto.id/bunuh-diri-live-di-fb-indonesia-darurat-kesehatan-mental-ck1e
http://regional.kompas.com/read/2017/01/14/09371641/kisah.para.pemuda.yang.dipasung.karena.gangguan.jiwa
https://tirto.id/saat-megawati-enggan-menemui-wong-cilik-petani-kendeng-clg1
https://untukindonesia.wordpress.com/2016/10/05/prospek-industri-semen-di-indonesia/



Comments

Popular Posts