Mereka Yang Gila adalah Yang Merdeka dari Kewarasannya

Adakah orang gila, ketika transisi kondisi jiwanya dari waras menuju gila, menyadari bahwa dirinya sedang berproses menjadi gila? 

Bila tidak, lantas sampai batasan kapan seseorang dijelang kegilaannya tersebut, memiliki kontrol akan akal sehatnya? Sebaliknya, kalau jawabannya iya, apakah ia dapat mengendalikan dirinya supaya 'tidak jadi gila'? Atau dia hanya bisa pasrah saja--memandangi kaleidoskop hilang akalnya seperti kita hanya bisa menatap pemandangan yang melesat dari dalam laju kereta?

Saya kepikiran hal tersebut sejak hari Sabtu (22/4) lalu, ketika saya tengah menempuh perjalanan pulang ke Jogja dari Semarang. Daku ini memang perantau yang lemah. Lihat weekend yang sehari lebih panjang, selalu memutuskan untuk pulang. Singkatnya, kala itu bus ukuran sedang dengan dua pintu keluar--di depan dan tengah--yang saya tumpangi hampir tiba di tempat tujuan. Alun-Alun Sleman, Denggung. Karena padatnya lalu lintas yang membikin perjalanan jadi satu jam lebih lama, situasi di dekat perempatan Denggung tersebut juga ramai. Laju bus menjadi lambat-lambat merayap di sepanjang lajur jalan menjelang lampu merah perempatan. Dari kejauhan, saya sebetulnya sudah beranjak dari kursi dan berdiri di dekat pintu tengah. Saya berseru pada sopir dan kenek di bagian depan bus, "Pak, turun Denggung ya." Namun tidak ada sahutan. Terlalu malas untuk berseru kembali.

Posisi bus kebetulan berada di lajur sebelah kiri. Ketika bus dalam posisi berhenti karena lampu merah menyala, saya buru-buru turun sebab telah tiba di tempat tujuan saya. Begitu saya membuka pintu, turun dari bus, dan bersiap menutup pintu bus kembali, sang kenek tiba-tiba muncul dengan mukanya tertekuk. "Kalau mau turun, ngomong dulu!"

Antara kaget sehingga tidak tahu mau jawab apa dan malas karena capek setelah perjalanan tidak nyaman di bus ukuran sedang yang molor satu jam, saya diamkan saja si kenek yang menghardik tersebut. Meloncat ke trotoar jalan dan tiada mengacuhkan. Sebetulnya, diam itu saya maksudkan sebagai pembalasan dendam. Lha, dia dan sopirnya juga sebelum ini tidak menjawab notifikasi saya kok?!

Menyadari bahwa argumen tersebut kurang dewasa, sebetulnya saya juga diam-diam merefleksi apakah, ketika saya mau turun dari bus itu, suara saya yang kurang nyaring atau para awak bus yang tidak bisa dengar karena bising? Kalau memang suara saya yang kurang nyaring, berarti problema saya dalam berkomunikasi masih sama: bingung mengatur intonasi suara--terlalu pelan tidak kedengaran, sedikit lebih kencang mirip orang bersitegang. Serba salah.

Semalam sebelum momen itu, saya juga habis dicerca kakak tingkat karena dianggap tidak sopan ketika berbicara dengan mereka. Padahal saya biasa saja. Mereka saja mahasiswa bangkotan yang kelewat baperan. Mungkin sering disakiti nasibnya sendiri. Meski itu agak berbeda, karena saya yakin betul 'topik yang mereka angkat' yang terlampau konyol, namun dalam konteks berkomunikasi renungan saya sama: intinya, bingung mengatur sikap berbicara.

Seringkali, dalam obrolan-obrolan informal dengan teman-teman dekat, saya dapat berkata sebegitu lugasnya. Entah itu topik yang serius maupun sekedar me-roast teman lain di depan mukanya. Namun ketika berada di komunikasi informal dengan orang baru hingga 'formal-gak-formal', saya lebih sering ndredeg. Kehilangan kompas ketika bicara. Tidak bisa menyampaikan apa yang saya pikirkan sebelumnya. Padahal saya merasa pergaulan saya lebih mutakhir di level formal ketimbang informal sebab saya 'terlalu kaku'. Mungkin sugesti tersebut muncul gara-gara sweet lie yang kerap dicetuskan kepada saya bahwa kamu 'kan jago ngomong, Dam.. Menjelang kini, saya lebih yakin merekalah itu yang jago ngomong, atau lebih tepatnya jago ngebohong. Dan saya tertelan bulat-bulat dalam realitas palsu itu tempo waktu.

Jangan-jangan selama ini saya nggak jago-jago amat dalam berbicara. Oknum di sekitar saya cuma mengelu-elukan saya untuk kepentingan mereka. Misalnya, ketika ada presentasi, maka saya bisa disuruh maju buat jadi presentator. Bukan karena saya jago, tapi lebih karena mereka cenderung ogah, sedangkan saya 'besar kepala' hanya dengan sedikit buaian. Jangan-jangan memang begitu!

Jangan-jangan.. 
Selalu saja ada jangan-jangan..

Jangan-jangan memang suara saya yang kurang nyaring di ambang pintu bus tersebut. Baik si kenek dan supir bus tidak dengar sehingga jelas geram ketika saya seenaknya buka pintu dan turun dari bus yang seisinya jadi tanggung jawab mereka. Di atas ojek yang saya tumpangi dari perempatan Denggung ke rumah, sebelah otak saya mencari pembenaran atas sikap saya barusan. Tercipta sebersit pledoi "Silent is the best answer. Not responding is the best respond." Saya mengagung-agungkan quote pembelaan tersebut seolah cukup kuat untuk jadi landasan. Padahal jangan-jangan saya cuma terbuai dalam kebohongan. Yang diri saya sendiri ciptakan. Gila!

Iya, gila!
Jangan-jangan saya gila!?

Saya mencoba menempatkan diri di posisi kenek tersebut. Ketika saya dibebani tanggung jawab keselamatan setiap jiwa penumpang dan tiba-tiba ada anak berumur tanggung yang seenaknya turun dari bus, yang mana hal tersebut dapat membahayakan keselamatannya--pastilah saya geram dan bakal terucap kekesalan berupa: "Ngomong dulu kalau mau turun!"

Mending kalau anak berumur tanggung itu mengungkapkan argumentasinya, "Lha sampeyan diteriaki gak dengar!"

Sehingga saya bisa balik menembak, "Emang situ teriaki berapa kali kok saya nggak dengar?" Kemudian ternyata cuma diteriaki satu kali dan anak tersebut sudah menyerah untuk memberitahu saya. Tentu bakal saya habisi juga orang seperti itu.

Sayangnya, ketika dihardik karena tidak bilang-bilang dulu menjelang turun, anak berumur tanggung tersebut justru diam. Tidak memberi respon apa-apa. Bila berada di posisi si kenek bus tersebut, tentu saja saya akan menyimpulkan, "Dasar stress orang ini. Gila!" Kemudian saya bicarakan hal tersebut kepada seisi penumpang bus yang masih bertahan. Tentu saja..

Iya juga ya..
Jangan-jangan saya memang gila!?
Jangan-jangan saya menjalang jadi gila!?

Jika memang benar saya menjelang jadi gila, apakah secara saintifik memungkinkan bahwa orang yang dalam masa transisinya dari waras menuju gila menyadari kalau ia akan jadi gila? Ataukah saya sebenarnya justru sudah gila? Kalau begitu, apakah masuk akal orang yang gila tersebut sadar dan dapat merefleksi bahwa dirinya itu gila? 

Di luar daripada hal itu, apakah masuk akal mengaitkan fakta seseorang yang lack of communication ability seperti saya, dengan menyatakan bahwa ia gila? Apakah masuk akal mendiagnosa keadaan 'tanpa akal sehat' dengan tolak ukur 'akal sehat' lainnya? Wah, hingga pertanyaan terakhir pun, status 'masuk akal atau tidak' pun masih menentukan hasil jawaban..

Tapi nyatanya, para psikiater pun dapat menentukan keadaan jiwa seseorang--apakah terganggu atau tidak--dengan menggunakan media yang salah satunya berupa keadaan jiwanya sendiri, yang barangkali tidak terganggu. Hei, tapi siapa tahu? Apakah psikiater pasti dapat mendiagnosa keadaan jiwanya sendiri? Jika memang begitu, pasti ia dapat sadar ketika ia dalam masa transisi menuju kegilaannya, bukan? Bisakah ia berontak--menolak menjadi gila? Menyembuhkan dirinya sendiri?

Bisakah saya menyembuhkan diri saya sendiri?
Barangkali. Saya hanya perlu belajar berkomunikasi lebih baik lagi. Sehingga saya tidak dinilai sebelah tangan sebagai orang stress, orang gila oleh kenek bus antar kota.

Enak saja. Masa saya disamakan dengan orang gila?

Eh tapi..
Jangan-jangan justru kita yang mengaku tidak gila ini justru lack of communication ability sehingga tidak bisa menjalin komunikasi dengan mereka yang kita diagnosa gila?

Comments

Popular Posts