Ow-Ow-Ow! Iiiihhh!! Ya Ampuun, Kartu Kuning Buat RI-1!!

Ada yang kurang dari aksi tiup peliut dan acungan 'kartu kuning' oleh Ketua BEM UI Zaadit Taqwa kepada Presiden Jokowi, kemarin lusa.

Beredar secara masif sejak hari Jum'at lalu, kabar seputar hal tersebut berkembang amat viral. Baik di media alternatif online maupun media mainstream. Bahkan akun-akun media sosial perorangan dan akun buzzer politik pun ramai memperbincangkan hal ini. Lengkap sudah spektrum tanggapan mengenai aksi Zaadit Taqwa yang ujug-ujug menjadi 'wasit' pada perhelatan Dies Natalis Universitas Indonesia di Balairung UI tersebut. 

Namun, entah apa yang sebenarnya kurang dari aksi simbolik ini. Rasanya ada yang tak lengkap. Mungkin ada baiknya kita kilas balik secara singkat ulah para oknum mahasiswa tersebut.

Mari kita urutkan dari awal. Aksi mengacungkan 'kartu kuning' ke hadapan Presiden Jokowi, yang kala itu baru saja selesai menyampaikan pidatonya mengenai mengenai perkembangan global dan tantangan lembaga pendidikan, memang terbilang mengejutkan. Sebab siapa sangka kehadiran Presiden akan disambut dengan 'simulasi wasit' semacam itu? 

Mahasiswa, sepanjang yang saya cermati, paling mentok membentangkan spanduk-spanduk bernada tuntutan ketika menyambut pejabat negara melawat ke areal kampus. Paling nekat, saya pikir, menghadang atau ngeyel menembus protokol pejabat publik tersebut. Barangkali. Membakar ban dan foto, mendorong-dorong pagar institusi hingga remuk, atau bentrok dengan aparat merupakan lagu lama. Masihkah perlu terjadi di zaman now? Saya pribadi merasa, tidak. Tapi lagu klasik kadang memang tak mudah dienyahkan begitu saja.

Kembali ke topik obrolan, aksi yang digawangi oleh BEM UI bersama dengan aliansi tujuh BEM fakultas di UI pada pokoknya membawa tiga tuntutan, yakni: 
  1. 1. Tuntaskan Persoalan Gizi Buruk di Asmat, Papua
  2. 2. Menolak dengan Tegas Rencana Pengangkatan PLT Gubernur dari Kalangan Polri Aktif
  3. 3. Menolak Draft Permendikti tentang Ormawa yang dianggap sangat membatasi Pergerakan Mahasiswa 

Kesampingkan sejenak aksi 'wasit dadakan' di Balairung. Sedari pagi sebelum itu, BEM UI berencana melakukan penyambutan-penyambutan konvensional seperti membentangkan spanduk berisi tuntutan di depan Stasiun UI. Namun kabarnya, atribut-atribut tersebut dilucuti oleh aparat sebelum sempat dibuka. Sehingga rencana aksi di depan Stasiun UI diubah menjadi sekadar orasi dan aksi freeze mob

Yang kemudian berbeda adalah 'aksi penyambutan' lain yang rencananya dilaksanakan di Balairung UI. Seakan klimaks dari rangkaian penyambutan, BEM UI awalnya merencanakan untuk melibatkan mahasiswa baru dengan koordinator lapangan meniup peluit dan memberikan 'kartu kuning' ke Presiden. Selanjutnya, para Ketua BEM di UI menyerahkan kajian mereka. Kemudian, dengan maksud mempertimbangkan safety para mahasiswa baru, rencana diubah menjadi seperti yang akhirnya terjadi - sebuah gimmick yang mencuri atensi publik dan dinilai beberapa pihak sebagai tindakan kurang terpelajar.

Saya agak sangsi pada segelintir orang yang berpikir begitu. Prediksi saya, mereka tertukar memahami kabar. Sebab di waktu yang sama dengan peristiwa 'kartu kuning' Jokowi, beredar berita mengenai kasus pemukulan guru hingga tewas oleh siswanya di Sampang. Saya yakin, yang mereka tuding sebagai tindakan kurang terpelajar, maksudnya adalah peristiwa tersebut.

Singkat cerita, sehari sebelum Zaadit Taqwa secara heroik mengganjar Presiden Jokowi dengan 'kartu kuning', seorang siswa SMA Negeri 1 Torjun diketahui melakukan 'pelanggaran berat' kepada guru keseniannya, Budi Cahyono (26). Pasalnya, tersangka berinisial MH (17) yang telah ditangkap Polres Sampang pada dini hari Jum'at (2/2) kemarin tidak terima ketika ditegur oleh korban. Tersangka disinyalir tidak mengikuti pelajaran dengan baik dengan menganggu kawan-kawannya dalam pelajaran sehingga korban menegurnya. Namun tersangka ngeyel. Ia justru makin berulah. Akibatnya korban mencoret pipi korban menggunakan cat air dan berujung dengan pemukulan oleh korban.

Meski berhasil dilerai oleh para siswa lain di dalam kelas dan telah menjelaskan duduk perkaranya di hadapan Kepala Sekolah, berdasarkan data tim intelijen Polsek Torjun, diketahui tersangka kembali menganiaya korban sepulang sekolah. Sesampainya di rumah, korban langsung pingsan dan segera dirujuk ke RS Dr. Soepomo di Surabaya. Namun, pukul sepuluh malam, nyawa korban tidak lagi dapat tertolong. Ia diketahui mengalami mati batang otak. 

Kepergian naas guru honorer tersebut menimbulkan duka yang mendalam. Tidak hanya bagi istri almarhum Budi Cahyono, Sianit Shinta (22), yang baru setahun dinikahinya dan kini tengah hamil 5 bulan. Namun juga bagi kalangan guru dan masyarakat. Peristiwa tersebut jelas makin memperpanjang daftar kasus kekerasan terhadap profesi guru. Hal tersebut tentu menimbulkan tanya. Adakah jaminan perlindungan, khususnya bagi profesi guru, dalam dunia pendidikan kita?

Guru Masuk Keranjang Sampah, Pemerintah Masuk..?

Guru memanglah bukan dewa yang selalu benar. Dan murid bukan kerbau-sebagaimana kutipan yang dibuat oleh Soe Hok Gie tanpa rasa sungkan. Namun hal tersebut tidak berarti guru tak berhak menunjukkan mana yang benar. Sedang murid bukan berarti menolak diatur - semata-mata karena bukan kerbau. 

Saya sering berdiskusi dengan salah seorang bude saya, seorang guru matematika di salah satu SMK di Yogyakarta. Beliau kerap mengeluhkan tingkah murid-muridnya yang, menurutnya, jauh berbeda dengan karakter siswa pada zamannya bersekolah dahulu. Siswa zaman now dinilainya cenderung tidak memiliki hormat kepada sang guru. Pendapatnya tersebut didukung dengan realita yang sering bude saya temui. Contohnya, saat sedang menyampaikan materi matematika dalam ruang kelas, beberapa muridnya secara terang-terangan berani untuk mengeluh. Entah 'materinya susahlah', 'saya nggak suka matematikalah', atau bahkan minta supaya 'cerita saja, Bu, nggak usah pelajaran' - ujar bude saya tersebut.

Sontak saya geli mendengarnya. Teringat masa-masa sekolah beberapa tahun lalu, saya juga sesekali - kalau bukan sering - berucap seperti itu kepada guru. Bagi saya pribadi, justru ketika seorang siswa berani terbuka kepada gurunya, berarti ia telah merasa nyaman dengan guru tersebut. Barangkali indikator saya dalam menerjemahkan sifat terbuka seorang siswa salah. 

Yang jelas, timbulnya perasaan nyaman antara murid dengan guru cukup mempengaruhi prestasi murid tersebut. Saya masih ingat ketika SMA kelas 11, nilai Fisika saya sempat jeblok. Begitu guru Fisika diganti, saya berubah amat mudah mengerti materi yang diberikan. Beruntung guru penggantinya adalah Bu Eka - guru favorit saya. Saya begitu terpacu mengikuti pelajarannya, sebab tidak mau mengecewakannya - juga, sebab saya tahu beliau takkan memberi saya nilai secara cuma-cuma.

Namun berbeda menurut bude saya. Dulu, sedikit saja murid berani berulah di depan guru, bisa-bisa ia segera kena hukuman. Maka timbul rasa segan yang tinggi dari murid kepada gurunya. Bahkan dulu orangtua murid lebih setuju jika anaknya dimarahi oleh sang guru apabila diketahui melakukan kenakalan - beda dengan sekarang. Sehingga jelas, menurut bude saya, nggak ada murid-murid yang bersikap SKSD (sok kenal sok dekat) dengan gurunya, sebagaimana yang beliau keluhkan - sebagaimana saya ketika sekolah. Sebab, salah-salah, mereka dapat dihukum. Entah jewer, entah dipukul penggaris.

Itu dulu. Sekarang, bisa-bisa ia dipolisikan wali murid kalau kelewatan menghukum siswanya. Tapi, bagaimana pun juga, kekerasan memang tidak bisa dibenarkan dalam dunia pendidikan. Hal tersebut berlaku buat kedua belah pihak. Baik bagi sang guru, maupun sang siswa. Entah dosen, atau si mahasiswa.

Idealnya siswa memang mesti hormat dan guru bersikap menghargai. Dalam memaknai kata kerja tersebut, tentu masing-masing orang memiliki indikatornya tersendiri. Yang jelas, rasa 'takut' seorang siswa kepada gurunya mesti diartikan menjadi sikap segan. Sehingga semata-mata, siswa tidak berani melukai gurunya, karena gurunya pun memperlakukannya sebagaimana manusia.

Seandainya setiap insan memahami filosofi keseimbangan tersebut. Niscaya tidak akan kita temui kembali headline 'siswa tewas dianiaya gurunya' atau 'dosen pembimbing tewas dibunuh mahasiswa' di koran-koran. Sehingga kita dapat bertenang hati. Setidaknya, marwah para pemuda sebagai harapan bangsa dapat terjaga. Sebab, bahkan Presiden pun--takut.

Takut 66, Takut 98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa..

(Taufiq Ismail, 1998)

Puisi karya Taufiq Ismail di atas ditulis pada masa reformasi. Momen dimana rezim yang tiga dekade berdiri di Indonesia akhirnya tumbang oleh kekuatan pemuda-dalam hal ini khususnya, mahasiswa. Keberhasilan tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari kursi RI-1, setelah enam kali dipilih kembali oleh MPR. 

Aksi mahasiswa yang tumpah ruah turun ke jalan terbukti mampu menumbangkan kekuasaan 'The Smiling General' dari partai beringin kuning yang tiga puluh tahun mengakar kuat di tanah Ibu Pertiwi. Peristiwa tersebutlah yang mengilhami Taufiq Ismail memahat baris terakhir secara paradoksal - Presiden takut pada mahasiswa..

Kata 'takut' tersebut tentu mesti dimaknai secara ideal pula. Sebagaimana rasa takut murid kepada gurunya yang telah saya paparkan sebelumnya, penerapan kata 'takut' dalam puisi tersebut menjadi jelas: Presiden tidak berani melukai mahasiswa - secara fisik maupun psikis. Kaitannya dengan harapan bangsa akan tampak dengan menilik peran mahasiswa.

Pasal 13 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menuturkan bahwa, selain menjaga etika, mentaati norma, dan mengembangkan budaya akademik, mahasiswa juga mesti menjamin terlaksananya Tridharma. Otomatis, turut serta mengawasi jalannya pemerintahan dalam bernegara tentu merupakan salah satu dari peran mahasiswa. 

Oleh karena pengetahuan serta pengalaman para pemuda yang masih terbatas, tentu idealnya andil mahasiswa dalam pengawasan tersebut berupa pandangan-pandangan alternatif. Barangkali masih ada perspektif yang jadi blindspot para pemangku kekuasaan, sehingga hanya independensi pemuda semata yang dapat menjadi kacamatanya. Maka, saya pikir wajar jika Presiden tidak berani melukai mahasiswa. Karena pandangan bangsa dapat tercederai. Lalu terburai luka kemana-mana.

Tanggapan Presiden Jokowi atas hadiah 'kartu kuning' dari Ketua BEM UI Zaadit Taqwa-yakni menurut juru bicaranya, biasa saja dan tidak tersinggung-saya kira tidak berlebihan untuk diapresiasi. Artinya masih ada rasa tidak sampai hati Pemerintah untuk melukai mahasiswa. 

Kritik dari para pemuda, para aktivis, dan para mahasiswa, merupakan sebuah upaya mengingatkan. Jangan lupakan kata-kata Soe Hok Gie. Bila guru yang tidak tahan kritik saja boleh masuk keranjang sampah, jujur saya tidak berani mengatakan kemana boleh perginya Pemerintah yang tidak tahan kritik.

The Butterfly Effect

Menyusul trend Presiden Jokowi dalam beberapa waktu terakhir, mahasiswa tentu mendapatkan 'kesempatan 24 karat'. Sebab momok sebagai kepala negara dengan imej-nya yang sulit terjangkau, justru ditepis dengan seringnya Presiden Jokowi blusukan ke universitas. Entah dalam acara dies natalis maupun pada momen penting lainnya. Hal tersebut tentu memudahkan mahasiswa untuk mulai beraksi.

Dalam memaknai predikatnya sebagai iron stock, agen perubahan, atau apapun itu - yang kerap dikumandangkan activist activist club - tentu mahasiswa tidak boleh bergerak secara serampangan. Kita adalah kaum terpelajar. Bergerak atas tinjauan data, bukan nasi bungkus semata.

Maka, sudah barang tentu mahasiswa kerap membuat kajian mengenai isu-isu yang tengah hangat di masyarakat. Biasanya, dengan marketing flow yang konvensional, kajian-kajian tersebut mentok di jarkoman official account badan eksekutif mahasiswa, organsisasi ekstra kampus, dan semacamnya. Bergeming di sudut dunia maya, tidak terbaca. Akibatnya, banyak yang tidak aware terhadap isu tersebut. Ujungnya, ketidakpedulian lingkungan sekitar.

Berangkat dari keresahan tersebut, maka aksi tiup peluit dan acungkan 'kartu kuning' oleh Ketua BEM UI Zaadit Taqwa dapat dianggap sebagai tonggak pergerakan mahasiswa yang bersifat kreatif dan tidak kaku. Pertama, karena hal tersebut nyatanya berhasil mencuri perhatian publik. Bandingkan dengan mereka yang sekadar menyerahkan buku kajian - jauh dari pemberitaan massal sebab tidak luar biasa, secara singkat tidak menarik buat dibahas. Kedua, rupanya aksi tersebut mampu memancing atensi dan kepedulian orang lain untuk turut serta urun pendapat. Coba bandingan dengan ajakan untuk ikut aksi damai atau turun ke jalan untuk demonstrasi - seringkali direspon dengan penolakan.

Penyampaian kritik secara unik seperti ini jangan dibungkam. Toh, apa yang dijadikan pokok tuntutan juga merupakan sesuatu yang benar. Pemerintah jangan buru-buru bersikap defensif dengan upaya mengingatkan yang tidak konvensional. Jangan secara serampangan merespon akan langsung menerjunkan yang mengkritik ke lapangan - buat menunjukkan bahwa betapa sulitnya tuntutan tersebut diselesaikan. Seolah enggan untuk dinasehati.

Coba belajar dari kepergian tragis Budi Cahyono akibat dianiaya siswanya. Almarhum yang mantan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan aktivis seni di lembaga seni HMI tersebut direnggut nyawanya karena mengingatkan hal yang benar. Pertama-tama ia menegur secara biasa. Karena absennya afirmasi dari sang siswa yang justru makin berulah, maka ia berimprovisasi - mencoret pipi sang siswa dengan cat air. 

Mencoret pipi orang lain dengan cat air tentu merupakan tindakan tak sopan. Tapi kita lihat dalam konteks apa. Lho, ternyata ia sudah ditegur secara baik-baik, kok abai. Maka logis bila teguran kedua tingkatannya berbeda dari teguran sebelumnya yang tidak mempan.

Yang mestinya belajar membenahi diri tentu sang murid. Loh, sudah diingatkan, kok cuek. Padahal perihal kebenaran. Diingatkan lagi, ndilalah kok malah memukuli gurunya. Sampai tewas pula. Itu namanya represif.

Saya takut kalau murid sudah mulai berani kepada gurunya, nanti akan timbul apa yang disebut butterfly effect. Seperti efek domino, saya ngeri hal tersebut akan mempengaruhi keadaan sehingga 'mahasiswa menjadi tidak takut pada dosen, dosen tidak takut pada dekan, dekan tidak takut pada rektor, rektor tidak takut pada menteri, menteri tidak takut pada presiden' hingga akhirnya sampai 'Presiden tidak lagi takut kepada mahasiswa.'

Indonesia Bukan Liverpool vs Tottenham

Anda tentu masih ingat saya mengawali tulisan dengan perasaan tidak lengkap. Kini kita sudah tiba sebegini jauh. Namun saya belum berhasil menemukan apa yang sekiranya kurang dari aksi 'kartu kuning' Jokowi tempo hari. 

Yang nyata-nyata muncul justru gelombang-gelombang opini yang tiada henti. Baik akun buzzer politik di sosial media atau akun-akun pribadi. Kita bagai disuguhi isi kepala masing-masing orang. Ada yang mendukung penuh sikap pemberian 'kartu kuning' ke Presiden Jokowi tersebut. Tak jarang pula yang mencantumkan caci maki tiada substansi atas ulah Ketua BEM UI Zaadit Taqwa tersebut. Meski seyogyanya tak ada yang benar-benar linier.

Mereka yang pro dengan sikap berani Zaadit Taqwa menilai hal tersebut adalah suatu kritik yang halus dan elegan terhadap Pemerintah. Seperti kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago, saat dihubungi kompas.com, Jumat malam.

Menurutnya, kritik sangat bengis dan parah di era SBY. Mulai dari bakar foto Presiden SBY sampai demo pakai kerbau . Di era Presiden Jokowi, tentu Anda masih ingat bagaimana netizen mengkecam mahasiswa UNJ yang demo dengan mengucurkan darah ayam ke foto Presiden Jokowi dan Wapres JK.

Namun ada pula yang kontra dengan ulah tersebut. Mengacungkan 'kartu kuning' - yang sejatinya adalah buku padus UI - dinilai tindakan yang tidak sopan, melanggar tata krama, dan tidak beretika. Sebab dilakukan di dalam forum resmi dan diajukan kepada orang nomor satu di Indonesia. Bahkan nuansa politik pun dibawa-bawa. Zaadit dituding berani melakukan tindakan tersebut karena ada bekingan politik, sebab ia diperintah oleh parpol tertentu.

Saya pun sempat curiga dengan probabilitas tersebut. Sebab sejak pertama kali bersentuhan dengan dunia sospol sospol club, pertanyaan di benak yang hingga kini tiada terjawab, kepada mereka yang telah lebih dulu terjun adalah perihal motif. Sikap batin adalah misteri. Maka, saya coba telusuri. Kira-kira BEM UI atau Zaadit Taqwa ini - bila meminjam kutipan dari puisi W.S. Rendra - "berdiri di pihak yang mana?"

Kebetulan saya punya teman di Fisika UI, satu fakultas dengan ketua BEM yang beranjak termahsyur tersebut. Saya tanyakan beberapa hal tentang Zaadit Taqwa secara lebih personal. Overall, berdasarkan pandangan kawan saya tersebut, Bang Zaadit - sebagaimana teman saya menuturkannya - dalam kesehariannya nggak ada yang berbeda. Ia, ujar kawan saya, memang tipikal aktivis. Tahun lalu pun ia membuat Gerakan UI Beraksi yang fokusnya untuk menciduk Setnov, waktu itu. Memang, Zaadit pun aktif di kegiatan tarbiyah alias dakwah kampus. Kawan saya yang satu ini pun dulu dimentori langsung oleh Zaadit. Penelusuran saya ditutup dengan jawaban dari kawan saya: "Kalau soal ditunggangi kepentingan politik, sejauh ini gue pun belum menemukan fakta yang menunjukkan keterkaitannya. Jadi selama masih sebatas statement, gue masih percaya nggak ada kepentingan politik di balik kartu kuning kemarin."

Jujur, saya sendiri bukan mahasiswa Ilmu Politik. Saya pikir, saya tidak punya kompetensi apapun untuk berkomentar dari segi politik. Yang saya ketahui pasti, 'wasit-wasit kontroversial' lainnya yang kemudian muncul pasca aksi yang dilakukan oleh Zaadit, notabene pasti dilandasi dengan kepentingan politik.

Tidak, saya tidak sedang bicara tentang kontroversi yang dibikin wasit Jon Moss pada laga Liverpool kontra Tottenham Hotspurs yang berakhir imbang, Senin (5/2) pagi. Kalau saya tidak salah, wasit di pertandingan tersebut tidak mengacungkan kartu merahnya, bukan?

Jon Moss masih mending. Beragam keputusan kontroversialnya sebagai hakim garis, ditenggarai kebingungannya. Pasca pertandingan pun ia mengaku salah pada Juergen Klopp atas keputusannya. Jon Moss jauh lebih mending, dibanding hakim-hakim meja hijau yang jelas-jelas salah memutuskan berkat segepok rupiah.

Sungguh, Jon Moss jauh lebih mending. Sebab sejauh yang saya ingat, 'wasit ikut-ikutan' ini mengaku mengacungkan kartu merahnya tanpa sebab yang ia ketahui. Pokoknya dikeluarkan dulu saja kartunya..

Walah, walah.. Untung saja arah Indonesia tidak ditentukan oleh keputusan 'wasit-wasit kontroversial' pasca Zaadit Taqwa. Berbicara atas nama warga Indonesia sekaligus fans Manchaster United, saya katakan: Biarkan Liverpool yang kemenangannya dijegal wasit, Indonesia jangan.

Ah, sungguh ini mengingatkan saya pada atmosfer kompetisi sepak bola. Suporter yang saling tuding.. ah tim A, sih, jual-beli poin.. enak aja, gelandang tim B emang tackle jadi kena kartu merah, kasar sih! 

Benar juga! Yang kurang dari aksi di Balairung UI lusa kemarin adalah Valentino Simanjuntak. Komentator yang menggebu-gebu dan gemar menggunakan kosa kata tak lazimnya itu pasti dapat menambah atensi Dies Natalis UI ke-68 tanggal 2 Februari lalu. Sayang sekali. Meski BEM UI sudah berhasil membuat terobosan aksi dengan menggunakan 'kartu kuning' sebagai media kritik kepada Pemerintah, namun mereka justru luput untuk mengundang komentator yang pernah mewarnai Piala AFF U-19, Piala Presiden 2017, dan sebagainya itu, untuk turut hadir disana. Bayangkan apabila 'Bung Jebret' nyerocos sepanjang aksi BEM UI kemarin:

"WOLALALALALA!! Umpan membelah lautan kepada... Oooo!! Sebuah gerakan 362 dari lawan!! Tega! Tega! Tega! Tega!"
"UUUUU! Yaaak! Sayang sekali kita saksikan dalam tayangan ulang... Tendangan yang membuat retak hati!!" 
"Aiiyaaah!! Waduuuh!!"
"Ow-Ow-Ow!! Iiiiihhhh!! Ya ampuuuuunn, kartu kuning buat RI-1!!"


SUMBER:
Koran Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu, 3 Februari 2018
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180202055452-12-273324/polisi-sampang-tangkap-siswa-pemukul-yang-tewaskan-guru/
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180203115852-32-273556/kritik-arah-bangsa-fahri-hamzah-keluarkan-kartu-merah
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180204164422-20-273734/puan-dukung-jokowi-kirim-mahasiswa-kartu-kuning-ke-asmat
http://nasional.kompas.com/read/2018/02/02/22133711/kartu-kuning-kepada-jokowi-dianggap-cara-kritik-yang-efektif
http://bola.kompas.com/read/2018/02/05/03463918/hasil-liga-inggris-dramatis-liverpool-tottenham-berakhir-imbang
http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-39000893

Comments

Popular Posts