'Bathroom' Grrrl Gang dan Filosofi Rasa Sayang
Awalnya, saya berniat mengawali tulisan dengan sepotong paragraf ini:
"Pertanyaan pasti membuncah, kala kamu mencoba mengaitkan foto di atas dan judul tulisan ini. Memang itu tujuan saya. Tapi tenang saja, meski tidak akan saya jelaskan sekarang juga, yang jelas jawabannya tersimpan di akhir kamu membaca."
Namun saya urungkan. Sebab organ-organ ingatan saya keburu dihantam kenyataan tentang kehilangan. Belum juga saya temukan foto yang saya maksud, melankoli sudah terlanjur melumuri relung kenangan.
Barangkali bukannya 'belum' melainkan 'tidak akan'. Sebab kehilangan yang satu ini, sejatinya sudah Bapak saya wanti-wanti, namun saya dulu terlalu tidak peduli. Akhirnya, usaha yang paling berat bukanlah dalam rangka untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang tersebut. Tapi justru waktu berupaya untuk berlapang dada. Belajar rela.
Ya sudahlah. Pada akhirnya, foto itu akan tetap hilang atau tiba-tiba ada, kamu akan tetap akan saya bikin bertanya-tanya: apa hubungannya dengan judul yang saya ambil?
Grrrl Gang adalah persoalan muara. Mata airnya mengalir sedikit demi sedikit semenjak bertahun-tahun lalu. Ketika foto itu diabadikan, sewaktu buku novel tersebut diterbitkan ulang. Trio asal kota pelajar -- yang tidak membantah fakta bahwa semua orang juga pasti bikin band sama teman-teman sekolahnya -- menjelma stimulan bahwa gagasan ini harus dituangkan ke dalam tulisan. Beserta segala kait-kaitnya dengan setiap aspek pada diri saya pribadi.
Banyak sekali. Saya harus mulai dari mana?
Muara
Saya sedang kecanduan mendengarkan genre musik indie pop, bersama dengan dua kawan saya Vina dan Faldy. Membentang dari The Adams, Reality Club, sampai Grrrl Gang ini. Oke, yang pertama, yang mencatut nama saya juga, nampaknya bukan indie pop. Ah, masa bodoh. Ketiganya belum lama manggung di Semarang. Dua di antaranya di malam yang sama. Faldy pergi ke gigs The Adams, Vina pergi ke gigs Grrrl Gang, dan saya sendiri yang pulang. Ke kampung halaman, ke Jogja.
Akibatnya saya kena karma. Saya jadi yang paling akhir dari mereka perihal kecanduan pada Grrrl Gang. Lalu kepada The Adams? Oh, saya sudah sedari lama menyenandungkan Halo Beni sebelum akhirnya punya dekan dengan nama yang sama. Barangkali kebetulan, bisa jadi pertanda. Oh crazy, oh crazy, oh craaazzzyyy..!
Thank God for Spotify. Peranti lunak pemutar musik itu benar-benar memperkaya selera telinga. Bosan dengar "Weezer lagi, Weezer lagi", saya pun iseng mencari dengar tentang Grrrl Gang. Thrills adalah asal pencet nomor pertama di bagian Popular. Hasilnya, ternyata enak! Tinggal masalah waktu hingga telinga saya fasih mendengar lirik pada bagian chorus untuk menyadari bahwa lagu ini pun.. ternyata tentang enak-enak!
Tinggal masalah waktu juga untuk mengakui otak saya semakin demensia. Ada banyak gejalanya. Yang pasti salah satunya adalah bahwa saya tidak ingat kapan dan melalui apa saya bilang ke Vina soal penilaian untuk lagu Thrills tersebut. Bagus, sih, tapi jorok, inti komentar saya kira-kira. Hahaha, iya emang, jawab Vina.
Lalu terlewati sudah berhari-hari. Sudah puluhan lagu berbeda pula yang saya nikmati. Bahkan aplikasi Spotify mod yang sempat tidak berfungsi, kini dapat digunakan lagi (great anarchism we have). Semesta membawakan kembali magnet Grrrl Gang. Sore hari di Minggu yang menyenangkan itu, saya, Faldy, dan Vina memutuskan untuk sewa studio. Main band. Setelah beribu-ribu "eh gue gak bisa, ada rapat" terlewati.
"WEH GRRRL"
Faldy berujar tepat setelah ia mention Vina di ruang obrolan. Entah apakah maksudnya ia sedang sekadar memanggil Vina atau memang ada itikad untuk mlipir ke Grrrl Gang, jujur saya jadi tersugesti untuk mempelajari terlebih dahulu lagu-lagu Grrrl Gang sebelum berangkat ke studio. Meski terakhir kali kami bertiga ngumpul di kamar kost saya, nomor Sebelah Mata dari Efek Rumah Kaca-lah yang berkali-kali kami coba cover secara akustik. Semata-mata karena waktu itu sedang booming berkat kembalinya Novel Baswedan.
Saya sebatas pelajari double-single mereka dalam EP Stop This Madness. Nomor Thrills dan Bathroom. Cuma alam semesta yang paham mengapa saya jadi terhanyut membaca lirik-liriknya melalui internet. Ketika mempelajari lirik dari Thrills, saya manggut-manggut sambil tersenyum. Sebuah afirmasi dan upaya untuk menyenangkan diri sendiri. Bahwasanya paling tidak, berdasarkan mendengar sebongkah lirik 'Then you take me to your room' saya sudah dapat mengira-ngira tema lagu tersebut. Seolah melupakan kemungkinan bahwa pikiran saya memang porno.
Thrills pula yang membuat saya dan Vina melakukan labeling terhadap Grrrl Gang. Yakni menjulukinya "cute tapi horny". Semoga Angeeta Sentana, Edo Alventa, dan Akbar Rumandung tidak tersinggung bila suatu hari mengetahui hal tersebut.
Namun, yang menyita perhatian saya justru lirik lagu Bathroom. Lagu yang sebelumnya saya nggak perhatikan sedikit pun.
Filsuf Rasa Sayang, Krisis Kasih Sayang
Tidak sepanjang dan senaratif Thrills, bagi saya tujuh baris lirik Bathroom justru memiliki makna yang jauh lebih dalam ketimbang track selanjutnya. Meski sama-sama explicit.
"My baby is taking a shit
in the bathroom.
Would it be nice if you had
loved me the way I did?
Summertime is ending now
But I'd still like to see that smile
you once had."
Pertama kali membaca lirik ini sembari memutar lagunya, saya mencoba menahan tawa. Bagaimana bisa lagu dengan atmosfir sesendu Bathroom rupanya menceritakan seseorang yang sedang buang air besar di larik pertamanya? Sinting.
Entah karena pengaruh melodinya, saya semakin menampik rasa geli tersebut ketika melanjutkan ke larik-larik setelah itu. Tapi tetap saja, ada yang mengganjal di pikiran saya. Jangan-jangan liriknya nggak lengkap nih?
Ternyata memang sesingkat itu. Namun berkat efek delay pada suara gitar dan vokal yang sedikit menggema -- mengingatkan saya pada tipikal nuansa dari Wolf Alice (makanya saya pasang foto Ellie Roswel saat tampil di KEXP, perkenalan pertama saya dengan Wolf Alice) -- membuat kita lupa daratan. Pun dengan melodinya yang sendu, lagu ini berhasil membuat kita lupa bahwa dua menit tiga puluh dua detiknya adalah empat kali pengulangan lirik yang sama. Plus, solo gitar di tengahnya.
Meski begitu, justru karena karakter minimalis yang cenderung malas tersebut, saya akui disitulah sihir dari Grrrl Gang tercipta. Bila pada Thrills mereka berhasil menyembunyikan sisi erotis dengan melodi lagunya yang cheers, maka pada Bathroom malah sebaliknya. Grrrl Gang menunjukkan kemampuannya dalam menyiratkan makna pada lirik yang 'miskin' begitu.
Barangkali pemaknaan dari Bathroom bisa dengan cara yang berbeda-beda. Tapi pengalaman saya berawal dari memori akan suatu kutipan yang samar-samar saya ingat: "Kalo lo masih bisa mencintai kekasih lo saat dia sedang boker karena diare, itu namanya sayang. Bukan lagi nafsu."
Mungkin susunan redaksinya tidak seidentik tersebut. Yang jelas, saya masih ingat betul kata-kata itu saya dapat ketika membaca novel debut Valiant Budi yang berjudul Joker. Sekitar lima tahun lalu. Novel tersebut sedikit banyak mengilhami saya untuk menulis hingga rampung sebuah draft novel berjumlah 300 halaman yang sempat ditolak penerbit Kompas Gramedia, Hingga hari ini, hardcopy naskah tersebut masih setia menanti di kamar tidur saya di Jogja untuk dipoles kembali. Singkat cerita, pengalaman menyelesaikan naskah novel tersebut adalah most magical sampai hari ini. Sebab, saya belum lagi merasakan terhanyut dalam proses penyelesaian naskah yang saya bikin. Setelah naskah berjudul Alterego itu, saya belum pernah lagi menyelesaikan apa yang saya mulai tulis.
Di luar hubungan emosional tersebut, tokoh-tokoh dalam novel Joker dan labeling terhadap Grrrl Gang yang terlanjur tercipta pun berpusat pada topik yang sama: selalu tentang seks. Topik paling tua yang melanggengkan sejarah umat manusia, walaupun anehnya, selalu dianggap tabu. Gara-gara dua hal tersebutlah, saya jadi terbawa cocoklogi.
"Wah! Pasti lagu Bathroom ini menyimpan makna tentang quote perihal filosofi rasa sayang itu!"
Saya amat percaya diri. Kesimpulan tersebut tidak saya ambil berdasarkan kedekatan emosional dan proses cocoklogi semata. Melainkan dengan upaya penafsiran dan intepretasi dari lirik Bathroom langsung.
Nomor pembuka dari EP Stop This Madness ini, menurut klaim saya, berkisah tentang unconditional love. Yang sayangnya, tidak berjalan dengan timbal balik yang baik. Atau istilahnya, sebelah tangan -- ideally. Saya asumsikan sosok 'my baby' dalam lagu ini adalah pacar dari Angeeta sendiri -- atau siapapun tokoh wanita yang diperankannya dalam lagu ini. Turns out, he doesn't share the same feeling as she does. Okay, they're having a relationship but his feeling isn't as unconditionally as hers. Dua baris terakhir menceritakan betapa tak pamrihnya perasaan sang wanita.
Singkatnya, perasaan yang dipunyai si cowok cuma sebatas nafsu. Sedangkan sang wanita merasakan rasa cinta yang sebenar-benarnya. Hal ini berhubungan dengan larik pertama dari Bathroom yang, bagi saya pribadi, berkaitan dengan kutipan tentang beda nafsu dan sayang dari novel Joker.
Barangkali konsep 'waktu lo liat pacar lo sedang boker karena diare dan masih tetap cinta, itu artinya lo sayang' tidak pertama kali digagas oleh Valiant Budi dalam Joker-nya. Barangkali konsep seperti itu sudah populer untuk menggambarkan batas yang jelas antara rasa nafsu dan rasa sayang. Barangkali, lho, barangkali.
Kalau memang iya, maka argumen saya dapat sepenuhnya valid. Lain halnya kalau larik pertama dari Bathroom sekadar menggambarkan latar waktu saja. Meski di satu kamar, mereka tengah bersama sekaligus tidak berada di tempat yang sama ketika salah satunya tengah pergi ke toilet. Si cowok yang sedang konsentrasi buang air bukannya berhenti menyayangi sang wanita, melainkan tengah memusatkan fokusnya ke hal yang lebih prioritas. Ketika di waktu yang sama, sang wanita di atas ranjang sedang duduk dan menumpu dagu dengan tangannya: overthinking.
Jika memang begitu, barangkali itu cuma gara-gara saya yang mungkin tengah bergelut dengan isu yang sama. Sehingga segala pengalaman yang berkait saling menghubungkan diri selayak puzzle menggunakan gelombang neuron dalam kepala saya.
Hulu
Pulang dari studio band, saya memboncengkan Vina. Di tengah perjalanan, kami membahas kembali klaim sepihak kami tentang Grrrl Gang, khususnya Angeeta. Saya dan Vina sama-sama mengagumi Angeeta karena paradoksikalnya pada Thrills.
"Justru itu daya tariknya, Vin. Suara vokalisnya cute banget tapi lagunya ternyata jorok abis." Kami tidak henti-hentinya terpesona pada kelihaian Thrills menyembunyikan warna sensual dengan melodi menyenangkannya.
"Masa cute sih?" Sedangkan menurut Vina, Thrills bukannya 'cute tapi jorok' melainkan 'cheerful tapi sensual'. Kemudian ia melanjutkan argumennya, "Vokalisnya tuh garang abis tauk. Gue pernah liat waktu live dia sampe scream segala. Coba lo liat fotonya di internet. Garang abis 'kan?"
Sebetulnya, saya setuju dengan pendapat Vina. Walaupun tidak paham secara jelas bagaimana indikator 'garang' yang Vina miliki. Soalnya, ketika saya memutuskan untuk googling foto Grrrl Gang untuk mengamati lebih jelas muka-muka musisi dari lagu yang sedang saya gandrungi, saya justru teringat pada sahabat saya, Andhita.
Ya, Angeeta mengingatkan saya pada Andhita.
Bukan, bukan karena namanya yang kebetulan mirip secara pelafalan. Melainkan raut wajah, postur tubuh dan nuansa yang terpancar dari pandangan Angeeta. Ditambah informasi dari Vina yang menuturkan Angeeta pernah scream waktu tampil live, hal itu makin membuat saya teringat pada Andhita. Sejauh yang saya ingat, doi juga pernah scream sebagaimana Hayley Williams waktu menyanyikan My Heart bersama bandnya.
Hmm, saya sudah mengenal Andhita sejak lama. Sejak ia masih main di bandnya yang bernama Peacekeeper hingga yang kini yang entah apa namanya. Kami berkenalan gara-gara mulanya kami sama-sama fans My Chemical Romance. Waktu itu kami masih SMP kelas 9. Saya di Bekasi dan dia di Bandung. Kami masih saling menjalin kontak lewat internet hingga saat ini adalah misteri ilahi. Sisanya adalah legenda urban masa kini mengenai meet with stranger in the internet.
Sejauh ini, baru satu kali kami saling bertemu dalam dunia nyata. Sekitar tiga tahun yang lalu, waktu Andhita sedang study tour ke Jogja. Kampung halaman saya dan Grrrl Gang. Saat itu, saya bela-belain menemui dia di lobi hotel tempat ia menginap menjelang maghrib, meskipun malamnya saya mesti mengisi panggung di pesta ulang tahun Michele -- vokalis band saya waktu SMA dulu. Pertemuan itu singkat dan sedikit terburu-buru. Meski sama sekali tidak wagu. Kami menyempatkan untuk berfoto satu-dua kali, sebelum akhirnya saya pamit karena sudah ditelpon Faris supaya segera checksound ke tempat Michele.
Foto itulah yang tadinya hendak saya pasang di awal tulisan. Namun karena sebelumnya laptop saya rusak dan mengakibatkan hard drive-nya jadi lupa ingatan, nampaknya segala foto dari masa lalu saya yang indah ikut hilang ditelan gelombang elektromagnetik yang riaknya sirna. Termasuk foto kami berdua.
Sayang juga. Padahal saya sudah merasa genap begitu merencanakan untuk mengawali tulisan tentang Bathroom-nya Grrrl Gang ini dengan mencantumkan foto tersebut dan melanjutkannya dengan sepotong paragraf yang saya sertakan di atas.
Habis bagaimana, ya. Sewaktu saya memberitahu Andhita bahwa saya teringat padanya ketika mendengarkan Grrrl Gang, dia membalas direct message Instagram saya tersebut dengan kata-kata begini: "Lo inget sesuatu ga gw cerita soal grrlgang" (ya, saya tau, 'r'-nya kurang satu)
Saya balas: "Gue lupa! Hahahahaha. Pernah ya" Saya betulan lupa. Lupa menyisipkan tanda tanya pula di akhir kalimat tersebut.
"pernah"
"entar deh"
"GW COVER ITU KAN" Andhita mulai bersikeras membuat saya ingat. But I really have no clue.
"Cover grrrl gang?"
"HAH IYAYA" Lagi-lagi saya lupa menyisipkan tanda tanya untuk menegaskan bahwa itu kalimat tanya. Bahwa..iya ya? Memangnya pernah ya?
Tanda mata. Mengisyaratkan direct message saya telah dibaca Andhita. Tanpa balasan.
Siapa pun yang membaca ini, tolong beritahu dia saya sama sekali belum ingat kapan dan dimana dia cover Grrrl Gang. Saya sudah cek soundcloud-nya. Nihil.
Saya semakin yakin otak saya mengalami demensia dini.
Sebab saya juga pernah berjanji mau gantian mengunjungi Andhita ke Bandung, tapi nggak jadi-jadi.
Comments
Post a Comment