Merapi Seperti Halaman Belakang

Merapi seperti halaman belakang. Rasanya saya hanya tinggal melangkah beberapa setapak untuk dapat tiba. 

Ia persis seperti kekasih nun jauh disana – yang meski tak tampak bayang lekuknya, namun awan yang membumbung ke atas itu adalah alasan wajar untuk rindu. Bentuknya yang mengingatkanku pada ‘awan jamur’ bom nuklir tersebut seolah-olah berkata:


Sedalam apapun usahamu memendam, lambat laun akan meletus juabagai gumpal magma; sedikit demi sedikit merayapi pipa kawah menuju puncak.

Delusi yang diciptakan awan letusan itu kerap mendistraksikan kemampuan saya dalam mengukur jarak. Membentuk pemahaman seakan-akan Merapi betulan di halaman belakang – sehingga saya bisa pergi kesana sesuka hati.

Orang-orang jauh, orang-orang yang telah akrab dengan jarak dan letus, orang-orang yang tiap pagi menatapi Sinabung erupsi – adalah mereka yang selalu berujar, ya kamu mah enak.. pengin pulang tinggal pulang.. pagi datang, sore bisa pergi lagi.. Padahal perkara pulang tidak semudah mereka berucap. 

Sedekat apapun jarak, tetap ada interval yang mesti ditempuh. Dan tidak semua orang memiliki kapasitas setara untuk menanggulangi variabel tersebut dengan mudah. Tiga jam perjalanan adalah lelah. Menempuhnya sendirian dengan sepeda motor adalah perkara fisik. Membawanya ke dalam ranah personal – berani tidak berani, kuat tidak kuat – akhirnya membikin gagasan itu jadi tidak kompromistis. Intinya pulang tidak semudah itu. Rumah tidak sedekat itu. Dan rindu tidak bisa beres sesimpel itu.

Merapi, jangan-jangan, bukan di halaman belakang sebagaimana yang saya tahu.

Melainkan di tempat ini – saat ini juga: berjam-jam selepas ia ‘batuk-batuk’ dan kini mulai menebarkan abunya ke kota-kota yang tak punya urusan dengan dirinya, bagai dandelion yang pasrah ditiup kemana pun angin berkelana. Kalau ndilalahe Merapi memang harus meletus, saya berharap saat itu saya tengah di rumah bersama keluarga. Di Jogja, bukan di tanah rantau. Sebab beban khawatir tak lebih mendingan ketimbang mengalami fenomena alam itu, sejauh saya menakar. 

Maka saya pikir Merapi memang sedang main-main dengan orientasi saya akan rumah. Bagaimana bisa Bandara Ahmad Yani mesti ditutup empat jam karena abu vulkanik sedangkan mereka di Jogja bisa tenang-tenang saja menghirup udara? 

Gila.

Jangan-jangan Merapi memang di halaman belakang. Saya sedang di rumah dan tinggal berjalan sebentar untuk membuktikan bahwa ia memang dekat. Siapa sangka saya sudah menempuh jarak dan berhasil menanggulangi sepi?

Mawar Camp, Ungaran
Pukul 08.32 WIB, 1 Juni 2018.

Comments

Popular Posts