Mater Corona


Ia masih termenung di ujung meja kerjanya. Tatapan kosongnya yang jatuh entah kemana baru kembali terfokus ketika seseorang memanggilnya hingga tiga kali, “Pak? Pak? Pak, mari berangkat.”

Mercedes hitam telah terparkir di beranda. Siap mengantarkannya ke bandar udara. Dari sana ia akan transit ke kapal udara dan langsung menuju kota kelahirannya di Jawa Tengah.

“Ya.” Ia mengangguk dan segera beranjak dari ruangannya. 

Semua sungguh amat cepat. Rasanya baru minggu lalu ia mengimbau: Mari beraktivitas dari rumah! Tapi, mau tak mau. Kini ia tunawisma. Pada situasi seperti ini, ia tak tahu mesti pulang ke siapa.

“Mari, Pak.” Pintu kiri Mercedes dibuka oleh sumber suara. Memberi akses gemuruh mesin pesawat untuk masuk. Sedang ia segera keluar dari mobil tersebut.

Perjalanannya terasa cepat. Namun ia takkan pernah merasa cukup sempat. Doa paling mujarabnya telah melafalkan amin di ujung rapalnya. Ia kini hanya anak laki-laki yang menengadahkan tangan tanpa semoga di sisi. Bersama ajal yang telah berkemas membawa seseorang yang ia cintai.

Begitu tiba, ia berdiri mematung untuk sesaat. Di tengah situasi begini, sungguh sulit berusaha untuk tampak kuat. Entah apa yang ada dalam benaknya. Barangkali Stalin dan kematian statistik yang dicuil dari kutipannya. Bahwa kutipan itu keluar dari mulut sang diktaktor kabarnya adalah hoaks tak pernah ia risaukan. Yang ia takutkan justru angka-angka gugur yang kian bertabur seringkali dimaknai sebatas statistika semata. Tanpa nama.

Tapi ia yakin dirinya bukan tiran. Dan pertahanan diri yang kini dibutuhkannya bukan simpang siur hoaks lelembut buzzer di dunia maya—realitas paling semu di mayapada.

Doa paling mujarabnya telah tuntas dipanjatkan. Melesat menuju Mryta Loka, mula-mula. Disana, segala sisa-sisa keterikatan akan perlahan-lahan dilepaskan. Disana, doa paling mujarabnya menjelma kartu as paling pamungkas:

Kebaikan seringkali terbias segala kekuatan buruk di sekitarnya. Semoga setelah ini, setelah aku tak lagi di bumi, kau punya kuasa tuk menyibakkan segala keburukan di sekitarmu. Penjilat, pembawa kayu bakar, dan para penghalang sanubarimu.

Jaga jarak. Jaga jarak dari mahkota. Rasuknya dalam rusuk mengubah kita semua jadi seseorang yang bukan diri kita sebelumnya.

Biarkan Ibu yang mengenakan mahkotanya. Sesudah itu Ibu bergegas menuju Antarabhava.

Kelak Ibu akan lahir kembali menjadi dharma-dharma baik yang anak lelakinya janjikan kepada Nusantara. Insya Allah.


Gusdam, 
Sleman, 26 Maret 2020.

Comments

Popular Posts