Seperti Malaikat Turun ke Bumi

  Senin pagi tiba lagi. Benar-benar tak terasa. Padahal, semalam aku baru saja memandangi sepasang retinanya melalui mahakarya cetusan ide para manusia cerdas yang diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. 
  Rasanya sebelum tidur aku sudah susun baris-baris alphabet menjadi serangkaian karya sastra hanya untuk pemilik retina yang kutatap melalui perantara itu. Hingga akhirnya kantuk mengalahkan kekuatan bola mataku dan membuat kelopak mata mau tak mau jadi menutup dan.. Aku terlelap.
  Dan waktu terus berjalan hingga Senin pagi--hari ini--tiba lagi. Sebagai manusia modern yang harus siap menghadapi kerasnya dunia, aku--dan berjuta manusia yang satu generasi dengan diriku--harus mulai beranjak dari mimpi dan siap untuk menggenggam mimpi-mimpi itu. Aku, diantara berjuta manusia lainnya, juga memiliki begitu banyak sesuatu bernama mimpi.
  Mimpi sebenarnya adalah sesuatu yang telah kita semua miliki. Hanya saja, kita belum dapat merangkul, menatap, dan menikmati mimpi itu secara indrawi. Kita dan mimpi selayaknya sepasang kekasih yang tengah menjalani sebuah Long Distance Relationship. Saling memiliki, namun terpisah oleh sebuah dimensi bernama ruang dan waktu. Kita berada di saat ini, sedangkan mimpi-mimpi itu berada di masa depan. Dimensi bernama ruang dan waktu-lah yang membuat relationship kita jadi long distance.
  Aku dan pemilik retina nan jelita itu juga bagai manusia dan mimpinya. Hanya saja, raga kita telah berada dalam ruang dan waktu yang sama. Tapi hubungan erat tak kasat mata bernama ikatan romantika masih belum mampu tercipta di ruang dan waktu saat ini. Semoga, ada di masa depan. Mungkin tak lama lagi, mungkin masih sangat lama.
  Lalu kemudian, bersama segenap anggota tubuhnya yang sempurna, pemilik retina yang mempesona itu melintas bagaikan malaikat Tuhan yang melangkah di alam dunia dengan bersimbahkan kilau gemilang cahayanya.
  Dua detik penuh makna. Sekilas hanya tatapan mata. Namun semuanya mampu membangun semangat dalam dada yang kian waktu kian menggelora. Segenap dan seganjil alasan siap aku amunisikan untuk nanti ketika retinaku siap memantulkan lensa matanya. Segenap dan seganjil langkahku siap menjemput sebuah emosi khayal yang tak mampu dibelai setiap manusia. Kita hanya mampu merasa, tanpa menyentuhnya.
  Terkadang, sebuah rasa tak perlu diawali dengan sentuhan.
  
  Kini, hingga Senin mulai beranjak menghilang seiring beberapa putaran jarum panjang, momen-momen beberapa sekon itu terus terngiang di dalam ingatan. Menggema bagai teriakan di dalam gua. Mungkin ini yang sering mereka jadikan tema dalam setiap untaian melodi.
  Di bawah rembulan, di bawah hujan sinar dari taburan bintang, aku sesekali bertanya..

  ..bolehkah esok saling berkata?


Young Peasant Woman with Straw Hat Sitting in the Wheat
Van Gogh. June, 1890

Comments

Popular Posts