Indomie Rebus

 

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Mama, 84)” 
― Pramoedya Ananta ToerChild of All Nations
***
  Denting tukang bakso yang memukulkan garpu kepada mangkoknya mengingatkanku akan sesuatu. Masihkah kamu menulis?
  Aku teringat mie ayam, es jeruk yang terlampau masam, dan sinar surya yang temaram. Waktu itu langit muram. Maklum sedang bulan Desember, seperti sekarang. Tapi raut mukamu tak sedikit pun tampakkan suram. Kau berapi-api. Bercerita tentang novel lama yang kau baca kembali. Ada untungnya juga kita lupa pada sesuatu, aku jadi terkesima lagi pada alur tak terduga novel itu, katamu.
  Mie ayammu belum kau santap. Masih di dalam mangkok dengan kebulan asap. Namun kau kelihatannya nyaris menghabiskan deposit cerita yang telah kau pendam seharian - siap buat dicurahkan seusai jam pelajaran.
  Ingin rasanya kurespons ucapan-ucapan mempesona dari lisanmu. Gadis belia seumuranku tak sewajarnya bicara tentang karya sastra angkatan 45. Itu sebabnya kau mempesona. Kau amat jauh dari kata berbeda. Kau tiada dua.
  Tapi... Ah sial! Sayangnya bukan kepadaku kau tumpahkan kekagumanmu itu, melainkan kepada sahabat karibmu. Aku cuma pungguk di meja seberang tempatmu makan, yang merindukan dikau sebagai rembulan.
 
  "Kamu nulis sesuatu yang kayak gitu dong, Ar! Biar ada orang lain yang terkesima sama kamu!" ujar sahabatmu.

  Ah tahu apa dia. Tanpamu perlu menulis 'sesuatu yang kayak gitu' pun, aku sudah sejak dulu-dulu terkesima padamu.
  Namun, aku jadi bertanya-tanya pada diriku sendiri: apa yang bikin aku terkesima padamu?
 
  Mie ayam, es jeruk yang terlampau masam, dan sinar surya yang tiga jam lagi tenggelam. Waktu itu siang tak menjelma kapal karam. Ia terus melangkah menjadi sore tanpa sedikit diam. Kau sudah pulang. Mangkok mie ayam dan gelas es jerukmu sudah hilang - mungkin sudah dicuci. Namun pertanyaan itu kian menggenang. Apa yang bikin aku terkesima padamu?

  Cinta, bila perasaan ini layak disebut begitu, tak mungkin datang tanpa alasan. Ketulusan bukanlah jawaban melainkan kendaraan bagi suatu motif untuk mengantarkan perasaan. Apa motifku?
  Rona wajahmu? Kuakui memang cantik.
  Senyuman itu? Aku berani taruhan, Tuhan sedang pamer waktu membuatmu tersenyum.
  Pemikiranmu? Tunggu, aku bukan magician apalagi dukun. Mana bisa aku tebak-menebak pikiran. Tapi aku tahu kepala itu tidak hanya berisi normalnya orang biasa punya pikiran. Psikedelik. Ada ladang ganja dibalik rambut panjangmu. Pikiranmu unik tak terdefinisikan. Membuat cinta jadi hal rumit nomor kesekian.

  Aku jatuh cinta pada pemikiran bukan kecantikan. Meski kau memang ayu, kuakui.
  Bagaimana kau memilih diksi dalam berkata lewat tulisan adalah lenggok pinggul yang terkiaskan. Bagaimana kau menyampaikan gagasan adalah ikat sanggul yang diandaikan. Kau berkata-kata seolah kau sedang bercinta.

  Denting tukang bakso menggema seiring raganya menjauh. Bulan perlahan sembunyi. Rerintik hujan mulai berbunyi. Dingin menggerakkan bulu kuduk untuk berdiri. Aku terduduk di teras rumah. Perutku mulai keroncongan. Ingin kupanggil penjaja bakso pengungkit memori kolektif tentangmu itu, namun ia sudah terlalu jauh.
  Tak apa.
  Semangkuk Indomie rebus disantap berdua kukira lebih lezat rasanya.
  Kau setuju.
  Tak ada lagi mie ayam dan es jeruk yang terlampau masam.
  Adanya kita.
 
 
 (3-des-15)

Comments

Popular Posts