Paus 52-Hertz
Kau tertawa tanpa suara. Hanya
menunjukkan barisan gigi depanmu yang seperti gigi kelinci—besar tapi justru
imut. "Bhahaha, cowoknya ditinggal selfie tuh.
Kasihan banget," bisikmu dengan bola mata melirik ke arah pasangan di
pojokan kafe.
"Udah susah-susah dapat tempat
pojokan, harusnya ngapain kek gitu
ya," timpalku dengan senyuman nakal.
"Harusnya ngapain?" Kau
memalingkan bola hitam dalam matamu itu kepadaku. Menodongku dengan belatiku
sendiri. Keahlianmu yang paling kubenci sekaligus kukagumi.
Aku bungkam sejenak. Lalu pura-pura
berpikir dengan menatap kosong ke atas. Kemudian jemari di kedua tanganku
saling mengerucut dan kubenturkan yang sebelah kanan dengan kiri. "Enak,
enak,"
Matamu mengerling. Menggoda. Namun
dua detik berikutnya, topeng ekspresimu itu drastis berganti menjadi setenang
air danau. Justru ketenangan tanpa riak itu yang mencekamku. Sebab aku tak
mampu membacanya.
Tujuh tahun kita berpacaran dan
belum pernah sekalipun kita 'membenturkan jemari tangan kanan dan kiri yang
saling mengerucut' satu sama lain. Ada apa denganmu?
Ruangan ini selalu membawaku
kembali ke Selasa Pon siang sepuluh tahun silam. Bacaan doa yang menggaung
seperti sarang lebah, desau angin yang mengantarkan tangisan, dan dua jasad
dibalik kain batik. Aku tak dapat menahan terjangan memori yang mau tak mau
terpatri dalam ingatan. Hanyut ditelan bagai korban keganasan air bah.
Aku masih ingat bagaimana Liku baru
saja tiba di depan halaman rumah dengan tas gunung di pundaknya dan disambut
dengan kibaran bendera kuning. Berbisik di telinganya gurauan dengan
teman-temannya, yakni "bayangkan
ketika kamu pulang kerumah dan kamu lihat bendera kuning..." dan dilanjutkan dengan "..ternyata bapakmu masuk
Golkar, hahahahaha" di
dalam kemah di Ranu Kumbolo dua malam lalu.
Saat itu juga Liku pasti berharap ada yang baru saja menjadi kader Golkar dirumahnya.
Saat itu juga Liku pasti berharap ada yang baru saja menjadi kader Golkar dirumahnya.
Namun, tidak. Bapaknya tidak pernah
tertarik terjun ke dunia politik. Lelaki itu dan istrinya adalah tipikal yang
menjauhi dunia politik. Dan akhir hidup orangtuanya yang penuh intrik, bukanlah
fakta yang dapat diterima Liku semudah itu.
Malam itu juga, Liku pergi dari rumah. Setelah bapak dan ibunya pindah kediaman, Liku pun mencari kawan. Ia berharap dia mati duluan di Mahameru tempo hari lalu. Terbangun di alam barzakh dengan bapak dan ibunya yang menanyainya, man robbuka?
Malam itu juga, Liku pergi dari rumah. Setelah bapak dan ibunya pindah kediaman, Liku pun mencari kawan. Ia berharap dia mati duluan di Mahameru tempo hari lalu. Terbangun di alam barzakh dengan bapak dan ibunya yang menanyainya, man robbuka?
Aku menggelengkan kepalaku pelan. Sampai kapan ingatan ini
mengangguku?
"Kenapa ndak ngabari kamu pulang
hari ini?" Sebuah suara menyadarkan lamunanku. Pak Gede. Aku ingat betul
aksen Balinya. Dan batu akik di jemari yang menepuk pundakku itu, hmm, mungkin
hanya Tessy yang mampu menandingi Pak Gede.
"Pak Gede! Apa kabar? Baik?
Aku kangen sekali," ujarku sembari menjabat tangan penuh batu akik
itu kuat-kuat.
“Sudah berapa tahun kita ndak
ketemu ya? Pantesan kamu kangen,” jawab Pak Gede kembali menepuk-tepuk pundakku
usai kami berjabat tangan. Sebuah kebiasaan lama yang ternyata tidak hilang.
Ya, mau lama tak bertemu ataupun tidak, Pak Gede gemar sekali menepuk pundak
siapa saja yang ditemuinya.
“Memangnya Pak Gede nggak kangen sama saya?” tanyaku bercanda padanya.
“Wah! Ya tentu saja kangen dong!” Ditepuk lagi pundakku, “Gimana sih
situasi di Pasifik sana? Dimana markasmu.. hmm, Mikronesia?”
“Setenang namanya, Pak. Pacifio.
Lautan tenang.”
“Ah, itu sih Magellan saja yang bodoh.”
“Atau justru mujur! Hahahaha” kataku, lalu tak mampu menahan gelak suara
tawa. Mengingat begitu banyaknya angin puyuh, badai, juga gempa bumi, bahkan
tsunami di samudera terluas sedunia ini
yang telah kusaksikan—terlebih di sisi timur laut dimana Pasifik menciut dan
Atlantik melebar—dan bagaimana Magellan sebegitu mujurnya mendapati Pasifik
terasa tenang.
“Jadi bagaimana Mikronesia?” tanya Pak Gede.
“Hmm, sebenarnya tempatku jauh di sebelah timurnya Mikronesia, Pak.” Aku
baru tahu Pak Gede teramat tertarik pada Mikronesia, padahal markasku bukan di
kepulauan utara Papua Nugini tersebut. Aku sendiri tak tahu pasti masuk negara
mana pulau tempatku bermarkas itu. Aku lebih fleksibel. Aku tak menetap. Aku
sesekali bahkan melancong jauh ke tepi barat Pasifik, ke Gunkanjima. Namun
cerita perjalanan itu terlampau panjang untuk dituturkan, biarkan saja Pak Gede
sebatas tahu Mikronesia-lah tempatku menetap.
“Hawaii dong? Apa bedanya dengan Bali? Gunung Batur mungkin memang tak
semahsyur Mauna Kea, tapi Kebo Iwo cuman ada di Bali” oceh Pak Gede.
Aku hanya tertawa hampa. Sejak aku kecil dulu, Pak Gede tak pernah
bosan-bosannya bercerita tentang legenda Kebo Iwo dan bagaimana terjadinya Gunung
Batur di Bali. Sesekali aku ingin menghantam kepalanya dengan batu supaya
amnesia dan lupa akan dongeng Kebo Iwonya. Hmm, andai saja bisa.
Berbicara tentang gunung, ingatanku kembali pada Liku dan mimpinya untuk
mati di Mahameru. Selepas bapak dan ibunya ditimbun dengan tanah, ditancap
dengan nisan, ditabur dengan bunga, Liku menggendong lagi tas gunungnya,
namun bukan kembali ke gunung. Pokoknya ia meninggalkan rumah, meneruskan distraksinya. Tas di punggungnya terasa lebih berat. Mungkin beban batinnya yang tak muat disimpan dalam hati lalu
dijejalkan ke dalam ransel semakin menambah berat bawaannya.
Dalam setiap langkahnya kembali meninggalkan rumah, Liku berkelahi dengan
ketidakpercayaannya perihal kematian kedua orangtuanya. Bapak orang baik-baik, ibu orang baik-baik, bapak orang baik, ibu orang
baik, bapak, ibu.. aku..
“Bertahun tidak ketemu, Pak Gede punya pertanyaan yang sudah lama
tersimpan buatmu,” Pak Gede lagi-lagi menyadarkanku dari lamunanku. Dengan
tepukkannya di pundakku, tentu saja.
lll
Malam telah beranjak semakin larut. Kafe ini bukannya bertambah sepi
melainkan beranjak ramai semakin malamnya. Namun manusia-manusia ini kemari
bukan lagi demi menuntaskan hasrat dari perutnya, tapi birahi mereka.
Kau pasti juga merasakannya. Lihat sepasang kekasih yang kita bicarakan
tadi. Kini mereka benar-benar saling ‘membenturkan jemari yang meruncing satu
sama lain’ dengan khidmatnya. Begitu juga dengan pengunjung lainnya. Mereka
memilin nafsu seperti semut merubung madu. Perlahan, serentak, bersemangat,
dan.. bikin gatel.
“Whoa, kayaknya kita salah pilih tempat nongki, deh..” kataku sebab aku mulai tak nyaman dengan
binatang-binatang di sekitar kita.
“Indeed. Kita sudah sepakat ‘kan malam
ini akan kita habiskan untuk bicara sains. Bincang intelek. Well, make out is science too, but.. ah,
tau ah” ujarmu bersemangat, lalu padam. Karena kehabisan vocabulary.
Aku hanya menaikkan alisku, mengiyakanmu.
Tujuh tahun kita berpacaran dan belum pernah sekalipun kita merambah
sains ke bidang yang membuatmu kehilangan kosa kata itu. Sedang di tempat ini,
saat ini, berbagai macam pasangan tengah dimabuk nafsu. Hetero, lesbian, homo,
bahkan di belakang sana kudengar ada yang bercinta dengan manekin, namun tidak
kita berdua. Ada apa denganmu?
Liku adalah anak kembar yang tak pernah bertemu dengan kembarannya
sendiri. Ibunya suatu kali bercerita tentang kembaran Liku yang merupakan lawan
jenis Liku, yakni perempuan. Melihat rupawannya Liku sejak dini, ibunda Liku
bilang kembaran Liku begitu cantik. Mengetahui itu, jiwa pejantan Liku
bereaksi. Liku berkeyakinan bahwa kembarannya pastilah diambil dari tulang
rusuknya. Liku mau menikahi kembarannya bila sudah dewasa nanti.
Ibunda Liku bilang itu namanya inses. Liku bilang itu adalah panggilan
jiwanya. Bapak Liku bilang ibunda Liku gila. Kata bapak Liku, kembaran Liku
sudah lama meninggal. Mana mungkin Liku dapat menikahinya. Lagipula, apakah
masih disebut inses bila menikahi mayat, meskipun saudara sendiri?
“Siapa namanya, Bu?” tanya Liku.
“Namanya
Lika,” jawab ibunda Liku.
“Lika dan Liku. Kalian buah hati kesayangan Bapak dan Ibu.” Ayah Liku
menambahkan, sembari mengelus kepala Liku.
“Kenapa Lika meninggal?” Liku penasaran.
Tapi pertanyaannya tak pernah terjawab. Bukan karena hari Selasa Pon
selepas Liku mendaki Mahameru itu keburu datang. Melainkan karena bapak dan ibu
Liku masing-masing memiliki jawaban yang berbeda. Bapak meyakini Lika telah
tiada, namun sebaliknya ibunda Liku.
Pertanyaan itu terus menjadi misteri bagi pribadi Liku. Menyadari ia
sebenarnya memiliki kembaran, namun dengan nasib yang tak jelas terkabar.
Setiap Liku bertanya mengapa kembarannya meninggal pada bapaknya, ia selalu
bungkam. Sedang setiap Liku bertanya dimana kembarannya saat ini berada, ibunya
tak bisa tunjukkan. Liku kesal.
“Kamu lupakan sajalah soal itu. Jangan dipikirkan. Kamu anak yang
pintar, jauh lebih cerdas dari anak seumuranmu. Jangan kotori pikiranmu dengan
pencarian saudara kembar yang tak jelas rimbanya itu” kata salah satu guru di
sekolah Liku, ketika Liku mendiskusikan hal yang menganggu benaknya.
“Kayaknya bapak dan ibu kena skizofrenia. Saya yakin begitu,” Liku
tiba-tiba mencetuskan dugaan tersebut.
Guru itu cukup terkejut, namun tetap meladeni dengan bijak. “Kenapa kamu
bisa mikir begitu?” tanya guru itu benar-benar heran.
“Ya.. Habis lama-lama mereka jadi tampak mengada-ada. Saya yakin mereka
kena skizofrenia. Saudara kembar saya, Lika, sebenarnya tak pernah ada. Saya..
Hmm, saya rasa saya juga tak pernah ada.”
Guru itu mengeryitkan dahinya. “Kalau begitu, berarti saya juga kena skizofrenia.
Begitu?”
Kini giliran Liku yang mengeryitkan dahinya. Terjebak dalam paradoks
ucapannya sendiri. “Kalau begitu, ini sama saja seperti eksperimen Kucing
Schrodinger. Saya dan Lika adalah kucingnya. Saat ini, kami berdua ada,
sekaligus tidak ada. Paradoks! Iya! Kami adalah kucing Schroding—“
“Cukup” Guru itu tak sampai hati melihat Liku terombang-ambing dalam
ucapannya yang tak berpendirian. “Kamu ikut tim Pecinta Alam ke Mahameru bulan
depan.”
Liku bingung. “Hah? Maksudnya?”
“Kamu butuh distraksi, Liku. Pergilah berpetualang”
“T..tapi
di teori Schrodinger nggak ada unsur penganggu—“
“Ini
ndak ada hubungannya sama
Schrodinger. Kamu hanya butuh petualangan,”
“Kenapa?”
“Karena kamu adalah petualang” kata guru itu cepat.
Mata Liku memicing. Tak puas dengan jawaban gurunya tersebut.
“Dongeng apa yang terakhir aku ceritakan ke kamu?” ujar guru Liku
mengantisipasi tatapan tak percaya Liku.
“Kebo Iwo. Gunung Batur. Selalu itu, Pak,” jawab Liku dengan kekesalan
tersirat di dalamnya.
“Mahameru jauh lebih dewata daripada Gunung Batur. Percayalah. Bulan
depan, ikutlah tim Pecinta Alam ke Mahameru,” Gurunya menepuk pundak Liku.
Liku termenung. Bila saran dari gurunya ini memang dapat mengalihkan
perhatiannya dari paradoks ucapannya sendiri, pikir Liku, mungkin tidak ada
salahnya ia ambil tawaran tersebut. “Baiklah, kalau Pak Guru bilang begitu,”
“Mulai sekarang panggil aku Gede. Pak Gede.”
Alis Liku terangkat. Heran.
“Aku bukan gurumu. Aku bahkan ndak
pernah jadi guru di sekolah ini. Dan kamu? Kamu ndak perlu lagi jadi murid disini. Dunia adalah guru besarmu.
Berpetualanglah!” ujar Pak Gede dengan mata yang menyinarkan binar berbeda. Binar
yang belum pernah ia tampakkan.
Sambil tetap pasrah ketika bahunya ditepuk-tepuk gurunya ini, Liku hanya menatap heran. Sejak pertama kali mengenal gurunya ini,
Liku sudah mengira lelaki beraksen Bali ini sedikit gila. Sebab suka sekali
mengulang-ulang cerita yang sama, dongeng Kebo Iwo dan Gunung Batur. Kini ia
semakin meyakini hal itu.
lll
“Ceritakan padaku soal Mikronesia! Aku selalu penasaran,” pintanya
sembari kembali menepuk pundakku. Kini kami berada di serambi rumahnya yang tak
jauh dari tempat kami bertemu tadi.
“Err…” Aku bergumam. Bingung harus menjelaskan bagaimana. Aku,
sebenarnya, tidak menetap di Mikronesia seperti yang selalu kubilang pada Pak
Gede. “Saya… Sebenarnya saya keliling Pasifik, Pak. Jadi nggak melulu di
Mikronesia saja. Kadang saya ke utara sampai perbatasan Arktik, kadang saya ke
selatan sampai ke perbatasan Atlantik. Sesekali saya main ke tepi barat
Pasifik, mampir di Jepang. Pokoknya setiap penjuru Pasifik saya eksplor,”
jelasku.
Pak Gede manggut-manggut. “Kalau begitu, kamu tahu betul dong
kisah-kisah di Pasifik apa saja. Ndak bisakah
kamu ceritakan satu yang paling mistis buat Pak Gede ini?” lanjut Pak Gede
dengan tatapan matanya selayak anak kecil minta diceritakan dongeng
menyeramkan.
Aku mengeryitkan dahiku. Sejak
kapan Pak Gede tertarik sama hal-hal begituan?
“Buat
saya sih yang paling mistis, ya, bagaimana Magellan bisa kasih nama Pasifik
untuk samudera itu, Pak,” jawabku dilanjut tawa sekenanya.
Tapi Pak Gede justru tersenyum. Seolah-olah maklum bahwa aku tidak paham
apa maksud pertanyaannya tadi. “Pasifik diberi nama Pasifik karena nama itu
memang hanya untuk Pasifik,”
Dahiku tambah mengeryit. Ada apa
dengan Pak Gede?
“Begini,”
Pak Gede tampaknya dapat membaca keherananku. “Kamu tahu ndak, ada satu makhluk misterius di lautan Pasifik? Seekor paus soliter
yang menyusuri samudera sendirian.”
Aku menggeleng. “Bukannya semua paus itu soliter? Gak kebayang, Pak,
hewan sebesar itu berkoloni. Apalagi paus biru. Berkoloni? Hmm..”
Pak Gede mengacungkan jarinya. “Loh, kudengar di Sri Lanka ada koloni
paus biru. Tapi, bukan itu intinya. Yang mau Pak Gede sampaikan itu justru
misteriusnya paus ini.” Pak Gede berujar, “Kamu pasti tahu paus terkenal akan
nyanyian bawah airnya ‘kan? Vokalisasinya untuk saling berkomunikasi?”
Aku mengangguk.
“Kamu tahu berapa frekuensi suara mereka?”
“Hmm.. Dibawah 20 hertz?”
“Paus sirip sekitar 20 hertz. Paus biru..kira-kira 10-39 hertz mungkin,”
timpal Pak Gede.
“Pak Gede tahu betul ternyata tentang begituan” komentarku, tidak
menyangka Pak Gede cukup tahu tentang vokalisasi paus. Kupikir beliau hype pada dongeng Kebo Iwo saja.
“Tapi paus misterius ini ndak
seperti paus-paus lainnya. Nyanyiannya berada di rentang frekuensi 52 hertz.
Bahkan lebih tinggi dari vokalisasi paus biru. Ndak ada panggilan paus dalam frekuensi seperti paus ini. Karena
perbedaan frekuensi suaranya ini, ilmuwan memprediksi paus lain tak dapat
‘mendengar’ panggilannya,”
Tunggu dulu. Deja vu. Rasanya
aku pernah mendengar bahasan tentang paus yang tak didengar ini sebelumnya.
“Si Paus Misterius tak pernah mendapatkan jawaban. Sepanjang hidupnya ia
mengirim pesan, tanpa ada balasan. Ia sendirian, di lautan lepas…” Pak Gede
melanjutkan, “Membawa pertanyaan, yang tak pernah ada jawabnya. Seperti kamu, Liku.”
Heuh. Aku disamakan dengan paus aneh itu? Jangan-jangan Pak Gede…
lll
Desah para sejoli yang tak mampu lagi menahan nafsu bercinta bergemuruh
di kafe ini. Beberapa bahkan sudah menghilang dari tempat ini. Check in, mungkin. Menghabiskan malam
dengan memadu cinta bersama kekasih adalah aktivitas menanti pagi paling
menyenangkan di muka bumi.
Sedangkan kita berdua masih anteng
di meja ini, sedari tadi. Berdiskusi sains lagi. Lama-lama kau dan aku menjelma
saintis, bukan lagi sepasang kekasih. Bibirmu yang terus bicara topik-topik
intelektual itu bahkan belum pernah kusesap, dalam-dalam, semenjak tujuh tahun
kita jadian. Namun bagaimanapun juga, aku tetap tak bisa tidak mengakui nyamannya
mendengarkanmu bicara tentang… apa itu, Paus 52-Hertz? Ya, makhluk paling
kesepian di bumi, katamu. Ah, paling tidak paus itu betulan sebatang kara di
luar sana. Bukan pemilik rusuk semesta yang tak bisa mencicipinya.
“Aku nggak suka, lho, kalau aku sodorkan topik berat begini, tapi kamu
malah feedback aku dengan diriku yang
ditelanjangi pikiran cabulmu itu,” Kau tiba-tiba menamparku dengan sebuah
telapak tangan dari kata-kata.
“Maksudnya? Aku dengarin ocehanmu dengan seksama, kok. Paus 52-Hertz.
Itu menarik,” jawabku membela diri.
“Ocehan! Huft…” Kau melipat kedua tanganmu di dada, menekuk raut muka,
lalu mengerucutkan bibir. “Tujuh tahun kita pacaran. Kamu masih saja penasaran pengen mencobaku?”
Aku tak mengerti. Bukankah seharusnya begitu? Bukannya wanita justru
bahagia bila kekasihnya masih tertarik padanya, bahkan setelah sekian lama? Ada
apa denganmu?
lll
Liku
keluar dari tenda sambil terbahak-bahak. Guyonan ‘bayangkan ada bendera kuning di depan rumahmu’ yang dilontarkan
teman-teman Pecinta Alam berhasil merangsang endorphin di kepala Liku.
“Eh, resleting tendanya tutup lagi dong, Lik. Dingin nih!” seru salah
seorang kawan Liku dari dalam tenda ketika badan Liku sudah keluar sepenuhnya.
Liku yang telah mengambil langkah ancang-ancang pun berbalik dan menutup
resleting tenda. "Dingin banget ya, brr.." gumam Liku menggigil.
"Namanya di gunung, ya dinginlah! Tenang aja, besok kita pulang!" jawab temannya di dalam tenda yang rupanya mendengar gumaman Liku.
Liku tak menanggapi jawaban temannya namun bersorak dalam hati. Hari ini Sabtu Kliwon, besok pendakian ke Mahameru ini bakal selesai. Liku menanti sekali datangnya hari esok, akhir dari distraksinya, seperti yang Pak Gede amanatkan.
Setelah resleting pintu tenda tertutup sempurna, Liku langsung berlari menjauh dari tenda guna menuntaskan niatnya.
"Namanya di gunung, ya dinginlah! Tenang aja, besok kita pulang!" jawab temannya di dalam tenda yang rupanya mendengar gumaman Liku.
Liku tak menanggapi jawaban temannya namun bersorak dalam hati. Hari ini Sabtu Kliwon, besok pendakian ke Mahameru ini bakal selesai. Liku menanti sekali datangnya hari esok, akhir dari distraksinya, seperti yang Pak Gede amanatkan.
Setelah resleting pintu tenda tertutup sempurna, Liku langsung berlari menjauh dari tenda guna menuntaskan niatnya.
“Hati-hati ya, Lik! Jangan kencing di danaunya!” seru kawannya lagi,
mengetahui Liku yang langsung terbirit.
Haduhh, siapa sangka endorphin juga
merangsang kebelet kencing begini… Kirain rasa bahagia saja yang bisa
teraktivasi, Liku bergumam dalam hatinya.
Entah endorphin atau memang udara Ranu Kumbolo yang begitu dingin, yang
pasti Liku mesti menuntaskan kebutuhan jasmaninya itu secepatnya. Dijauhinya
danau dan ia masuk jauh ke pepohonan. Menebus kabut dan kegelapan Mahameru.
lll
Sejak pertama kali bertemu dengan dirimu, sudah kuakui kau berbeda.
Jauh berbeda dari wanita-wanita lain yang pernah kutemui dalam perjalananku.
Sesungguhnya perjalananku pun hanyalah untuk menemukanmu. Maka ketika kutemukan
dirimu di antara hingarnya Gunkanjima, tujuh tahun silam, aku anggap hari itu
adalah saatnya kubisikkan kata “akhirnya…” dalam perjalananku.
Entah bagaimana, kau pun berkata bahwa akulah yang selama ini engkau
cari, ketika aku menyampaikan perasaanku padamu. Saat itu, kuanggap ucapanmu itu
hanyalah metafora dibawah pengaruh cinta. Ternyata bukan. Kita berdua
benar-benar saling mencari.
Kita seperti Adam dan Hawa. Dan meski tak diriwayatkan dalam kitab suci
manapun, setelah dua manusia itu bertemu sesudah pencarian panjang mereka,
kuyakin Adam dan Hawa langsung bercinta malam itu juga. Menuntaskan kerinduan
mereka.
Dalam hal itu, kita tidak seperti Adam dan Hawa. Kau mungkin bahkan tak
pernah memikirkannya. Tapi aku, meski tak pernah sekalipun memaksamu, bukan
berarti tak menginginkannya. Kerinduan ini harus dibayar lunas.
“Mencumbu bibirku takkan mengubah apapun. Merengkuh tubuhku takkan
kaurasa sedikitpun. Kau dan aku adalah satu. Ganjil yang telah tuntas
digenapkan.” Kau mengelus perlahan pipiku.
“Kamu sama saja seperti ibu,” ujarku padamu.
Kau berusaha mencitrakan sebuah wajah dalam memorimu, tapi tak bisa.
Dirimu belum sempat bertemu dengan wanita yang kupanggil ibu.
“Sedih rasanya, mengetahui kamu adalah bukti konkret bahwa ibu nggak
gila ataupun skizofrenia, namun kamu justru nggak tahu siapa itu sosok ibu.”
Aku meratap.
“Memang apa yang bikin aku sama saja seperti ibu?” tanyamu.
“Tentang
inses,” desisku, yang lalu memicu sinar matamu. “Bagiku itu cuma bersifat
sosio-antropologis saja.”
Bibirmu menyungging senyum beberapa detik kemudian, sambil berkata:
“Buatku itu lebih bersifat psikologis.”
“Apa hubungannya?”
“Kamu memang belum mengerti,” katamu makin menunjukkan senyuman. “Biar
aku lanjutkan sedikit ceritaku tentang Paus 52-Hertz itu ya, supaya kamu paham
maksudku.”
Aku mengiyakan permintaanmu.
“Paus 52-Hertz ini memiliki sikap pergerakan mirip kayak spesies paus
biru, tapi timing-nya lebih seperti
paus sirip. Beberapa ilmuwan yakin bahwa Paus 52-Hertz ini hasil persilangan
antara kedua spesies paus berukuran paling besar itu. Semacam hybrid. Inilah yang mempengaruhi
perbedaan frekuensi nyanyiannya menjadi 52 hertz, jauh di atas para paus biru.”
Kau melanjutkan, “Tapi menurutku, kalau memang paus kesepian ini hibrida dari
dua spesies paus normal, bagaimana bisa nyanyiannya nggak didengar paus-paus
lain yang akhirnya bikin dia jadi kesepian? Paus-paus lain pasti bukan tidak
mendengar panggilan Paus 52-Hertz ini—“
“Tapi?”
“Paus-paus lain tidak peduli dengan panggilan itu. Dalam kehidupan bawah
laut, dimana dimensi komunikasi makhluk raksasa itu mulai terdistorsi oleh
gelombang dengan berbagai macam frekuensi seperti alat sonar dan sebagainya,
opsi untuk menanggapi panggilan Paus 52-Hertz sama saja seperti menanggapi
frekuensi sonar dari kapal selam Soviet dan AS yang menganggu Pasifik.”
Aku paham bagaimana Paus 52-Hertz itu benar-benar kesepian. Poin yang
kudapat adalah sebenarnya kita, para manusialah, yang sejatinya membuat
panggilan Paus 52-Hertz itu tak dapat jawaban.
“Terus apa hubungannya dengan inses-psikologismu itu?” tanyaku belum
puas.
Kau tersenyum seolah berhadapan dengan bocah bodoh, lagi-lagi. “Padahal
bertahun-tahun, lho, kamu jelajahi Pasifik…”
Aku tambah tak mengerti. “Hubungannya dengan Pasifik?”
Perlahan-lahan,
kau mendekatkan kepalamu ke arahku. Aku tak bisa melawan medan gravitasi itu,
aku pun turut mencondongkan tubuhku ke arahmu. Kini bibirmu telah berada tepat
disamping telingaku.
“Kamu adalah Paus 52-Hertz itu,” bisikmu begitu pelan. “Kita adalah Paus
52-Hertz itu. Kembalilah ke tempat sebelum hilangmu di Mahameru.” Suaramu
perlahan semakin pelan hingga tereliminasi dari batas ambang pendengaran.
Kemudian kau dekapkan kedua tanganmu ke rahangku dan kau kecupkan
bibirmu itu kepadaku. Perlahan… Khidmat… Dan hilang.
Hanya ada aku. Bersama sensasi ciuman yang tujuh tahun lamanya kunanti.
Rasanya hampa. Seperti mencumbu dirimu sendiri di depan cermin.
“Pak Gede adalah Lika!” Aku berseru sambil beranjak kaget dari kursi
tempatku duduk. Kenyataan ini terlampau mengejutkan..bukan, mengerikan
tepatnya, buatku. Mana mungkin bibir lelaki Bali ini adalah bibir yang
mencumbuku di kafe waktu itu. Mana mungkin ciuman darinya kunantikan tujuh
tahun lamanya.
Kini giliran raut wajah Pak Gede yang menekuk. “Dasar orang gila!”
Aku tidak terima. “Enak aja! Biar Pak Gede yang bilang, saya tetap nggak
terima dibilang orang gila!”
Pak Gede justru berubah tenang. “Ndak
apa-apa. Marahlah kepada saya.”
Mendengar ucapannya itu, aku berbalik merasa bersalah. Pak Gede tidak
mungkin betulan menganggap aku orang gila. Pasti itu hanya sikap ekspresifnya
saja.
“Sudah sejak lama, Pak Gede menganggap kamu orang gila” kata Pak Gede,
seolah-olah dapat membaca apa yang barusan aku pikirkan.
“A..apa, sih, Pak? Saya nggak marah kok, Pak. Saya cuman bercanda,” kataku
mengutarakan rasa bersalahku. Tak kusangka Pak Gede menanggapi dengan serius.
Aku tepuk-tepuk pundaknya sebagaimana ia sering menepuk pundakku guna
mencairkan suasana.
“Tepukanmu di pundakku itu sama sekali ndak kerasa apa-apa” ujar Pak Gede.
Aku mengerucutkan bibirku, mangkel.
Setelah menuding aku orang gila, sekarang Pak Gede menganggapku lemah?
“Frekuensimu beda,” jawab Pak Gede.
“Maksudnya, Pak?”
“Kamu
sudah mati” lanjut Pak Gede.
Sontak, aku perlahan menjauhi Pak Gede. Ada apa sebenarnya ini? Pak Gede
yang tadinya maniak legenda Kebo Iwo dan Gunung Batur, kemudian berubah jadi
pemerhati paus, dan kini setelah menuding aku gila, ia bilang aku sudah mati!
Oke, aku ingin membenturkan batu ke kepalanya sekarang juga.
Pak Gede beranjak dari tempat duduknya. Menangkap pergelangan tanganku
sehingga pergerakanku menjauhinya jadi terhenti. Matanya nyalang dan menatapku
tajam. “Marahlah padaku! Marahlah!” serunya.
Aku justru gemetaran. Kalian boleh sebut aku penjelajah Pasifik, namun menghadapi
Pak Gede yang seperti kerasukan setan ini aku menyerah. Matanya yang biasa
teduh, kini nyalang dan… berlinang. Rapuh.
Aku terenyuh. Kutepuk pundak Pak Gede meski katanya tidak berpengaruh
apa-apa buatnya. “Ceritakan lagi legenda Kebo Iwo dan Gunung Batur itu, Pak.”
lll
Liku tak kembali lagi semenjak pergi untuk buang air kecil, semalam.
Teman-temannya dalam tim Pecinta Alam tak pernah melihat batang hidungnya lagi
setelah guyonan ‘bayangkan ada bendera
kuning di depan rumahmu…’ malam itu.
Setelah tiga hari pencarian oleh tim SAR, jasad Liku akhirnya ditemukan.
Pada hari yang sama, tubuh tanpa nyawa yang terperosok jatuh ke dalam jurang
saat malam berkabut itu dibawa ke rumah duka. Bertemu dengan sosok tanpa nyawa
lainnya yang meninggal karena bunuh diri.
Di
rumah duka itu, teman-teman Liku disambut oleh bendera kuning. Namun mereka
semua tahu tidak ada satupun penghuni rumah duka yang telah terjun ke dalam
partai politik serba kuning itu, sebab semua penghuninya telah tiada.
Ruangan itu menggemakan lantunan doa yang dibacakan para pelayat. Dua
jasad ditutupi dengan kain batik. Bagi mereka yang masih menempati raga
manusia, dua jasad itu telah menjadi seonggok mayit. Dan bagi mereka yang masih menempati raga manusia, topik ini
akan hangat diperbincangkan hingga beberapa minggu kedepan. Seorang pengidap skizofrenia
dan ayahnya mati mengenaskan.
Bisik-bisik lingkungan tetangga akan dipenuhi dengan
pertanyaan-pertanyaan. Kenapa, ya, Pak
Gede membiarkan anaknya yang gila mendaki Mahameru? Jangan-jangan dia sengaja
mau membuang Luki? Pantesan Pak Gede gantung diri, pasti merasa bersalah ya?
Apalagi selama hidupnya, Luki yang sakit jiwa itu tetap disekolahkan di sekolah
biasa. Bagaimanapun juga anak sendiri, kenapa bisa setega itu ya? Apa
sebenarnya Pak Gede ingin anaknya diperlakukan seperti anak normal lainnya ya?
Bagaimana sih rasanya punya anak skizofrenia? Aduh, nggak kebayang…
Dan lain-lain, banyak lagi.
lll
Kebo
Iwo sesungguhnya hanya menjalani identitasnya sebagai Kebo Iwo. Sama seperti Pasifik
yang diberi nama Pasifik karena nama itu memang hanya untuk Pasifik. Sesuatu
yang semestinya.
Kebo Iwo tidak pernah menjadi pengkhianat sebagaimana dirinya yang
justru ditusuk dari belakang oleh para penduduk desa yang mengubur Kebo Iwo
dalam sumur buatannya sendiri.
Selama hidupnya Kebo Iwo kerap mengamuk, meluluhlantakkan desa, bahkan
memakan hidup-hidup para penduduk desa sebab memang itulah esensinya sebagai
seorang raksasa. Justru ketika tidak berlaku seperti seharusnya raksasa, saat
itulah Kebo Iwo mengkhianati perannya.
“Orang suka ndak mengerti dan ndak mau mengerti,” Pak Gede menambahkan
kesimpulanku.
“Sejak lama Pak Gede menceritakanku legenda Kebo Iwo, baru kali ini aku
paham maksud Pak Gede” sesalku.
“Mungkin karena kamu, pada akhirnya berdamai dengan resonansimu.”
“Maksudnya?”
“Sama seperti Si Paus Misterius yang suaranya beda frekuensi dengan
paus-paus lainnya, kamu juga punya frekuensi yang beda dari teman-temanmu
lainnya,” kata Pak Gede. “Setelah perjalanan pertamamu ke Mahameru, kamu pun
melanjutkannya dengan menjelajahi penjuru Samudera Pasifik. Kamu hanya terus
menjelajah sebagai upaya distraksimu. Begitu juga dengan Si Paus Misterius yang
tetap bernyanyi semenjak tahun 1989 hingga 2004—kalau ndak salah,”
Aku dengan seksama menanti konklusi dari persamaanku dengan Paus
52-Hertz yang terus diceritakan Pak Gede.
“Kamu tahu ‘kan, seluasnya-luasnya Samudera Pasifik, pasti tetap ada
ujungnya. Lalu, paus-paus selalu bermigrasi atau menjelajah dalam jalur yang
tetap.”
Aku mengangguk setuju.
“Si
Paus Misterius terus berusaha berkomunikasi dengan nyanyian, hingga tanpa sadar
nyanyiannya itu memantul ketika menghantam ujung samudera. Dengan terus
mengirim pesan dengan frekuensi 52 hertz-nya, pada suatu ketika Si Paus
Misterius itu akan dihampiri oleh pantulan nyanyiannya sendiri. Tanpa ia tahu
bahwa itu berasal darinya sendiri, ia merasa ada paus lain yang menjawab
pesannya.” Pak Gede lalu melanjutkan, “Lihat betapa kesendirian dan penantian
panjang dapat mempengaruhi naluri.”
Aku kembali mengangguk. Membayangkan betapa mengerikannya apa yang Paus
52-Hertz itu alami.
“Tapi
itu ndak bakal berlangsung lama, Pak
Gede yakin. Semenjak nyanyian 52 hertz itu terakhir terdeteksi pada tahun 2004,
hingga kini kabarnya tak terdengar lagi. Pun nyanyiannya.”
“Paus
malang itu mati?”
“Karena
kesepian? Barangkali. Ia mamalia sama seperti kita. Tapi yang kemungkinan
terjadi adalah dia akhirnya berdamai dengan resonansinya. Sadar bahwa suara
yang ia rasakan, yang senada dengannya, adalah dirinya sendiri. Ia menerima
kesendiriannya.”
“Makanya
dia berhenti bernyanyi…”
“Dia
berhenti bertanya.” Pak Gede menggenapkan jawabanku. “Begitu juga kamu, yang
pada akhirnya berdamai dengan resonansimu.”
Mendengar ucapan Pak Gede, aku sontak terguncang. Kaleidoskopku terlempar
menuju kafe di malam itu. Semua ucapan Lika yang menyiratkan makna juga ketika
ia akhirnya mencumbu bibirku, setelah tujuh tahun lamanya penantianku. Satu
ciuman yang terasa hampa. Seperti mencumbu diri sendiri di depan cermin.
Benar juga. Selama ini seluruh penjelajahanku adalah sebuah distraksi
untuk mengalihkan pertanyaanku tentang perbedaan pendapat bapak dan ibu akan
eksistensi kembaranku, Lika.
“Tunggu dulu.. Kalau begitu, Lika
sesungguhnya tidak pernah ada? Berarti bapak dan ibuku memang mengidap
skizofrenia?”
“Lika bukan soal ada atau ndak ada. Tapi beresonansi atau ndak,”
Aku tidak puas dengan jawaban itu.
Lalu apakah bapak dan ibu mengidap skizofrenia atau tidak semasa hidupnya? Atau
hanya salah satu dari mereka yang sebenarnya gila? Pertanyaan-pertanyaan
semakin banyak muncul dalam benakku. Benarkah aku telah berdamai dengan
resonansiku?
Aku
mengeryit bingung. Tiba-tiba memori menghantam kesadaranku, mengingatkanku pada
ucapan Lika sesaat sebelum mencumbu bibirku. Kembalilah
ke tempat sebelum hilangmu di Mahameru…
“Lika bicara tentang Mahameru. Ada
apa dengan Mahameru, Pak?” Aku memastikan.
“Kamu masih ingat ndak, hari apa seharusnya kamu selesai
mendaki dari Mahameru?” Pak Gede justru balik bertanya.
“Minggu
Legi?” Aku tak bisa melupakannya. Hari dimana distraksiku mestinya usai. Jika
saja tidak ada bendera kuning yang menyambutku ketika sampai dirumah pada hari…
“Selasa Pon?”
“Kamu
jatuh ke jurang malam sebelum kamu pulang. Jasadmu ditemukan dua hari setelah
hilangmu.”
Aku mengacungkan jemariku, menghitung rentang waktu antara malam ketika
aku, katanya, jatuh ke jurang hingga ditemukan. “Sabtu, Minggu, Senin, Selasa..”
“Selasa
Pon,” tambah Pak Gede.
“Tunggu..
Selasa Pon itu waktu bapak dan ibu meninggal, Pak.”
“Kamu
yakin?” Pak Gede menghantam batinku dengan pertanyaan itu. “Apa kamu sempat
membuka kain batik yang menutupi jasadnya?” lanjut Pak Gede, seolah pukulan
gada terakhir yang meluluhlantakkan jiwaku. Entah wajah siapa dibalik kain
batik itu, jika bukan bapak dan ibuku. Mana mungkin aku!
“Itu
pasti Lika ‘kan, Pak?” Aku melontarkan segala argumen guna memastikan jasad
siapa dibalik kain batik itu. “Tidak.. Tunggu. Lika nggak nyata. Dia
resonansiku,” gumamku pada diriku sendiri.
“Marahlah…
Marahlah pada Pak Gede.”
Aku tak menghiraukan ucapan Pak Gede. Aku hanya mencoba memahami segala
ketidaknormalan ini. Semuanya berada diluar akal sehat. Tak ada logika sama
sekali. Aku pasti dikerjai Pak Gede!
“Nggak
usah bercanda deh, Pak” Aku menepukkan tanganku ke bahunya. “Kalau jasad itu
bukan bapak dan ibu saya, kenapa rumah kami yang dijadikan rumah duka?
Seharusnya bapak dan ibu saya disana. Mereka pasti hadir. Mereka orang baik!”
“Jasad
itu adalah kamu, Luki! Harusnya ndak
perlu Pak Gede sampai terang-terangan memberi tahumu!” bentak Pak Gede tanpa
kusangka. Ini sudah kelewatan. Pak Gede betulan gila!
“Cukup,
Pak! Pulang dari Pasifik, saya kira saya bakal merasa bahagia bertemu Pak Gede.
Ternyata kerinduan Pak Gede hanya sebatas omong kosong! Dulu Pak Gede nggak
kayak begini! Ada apa dengan Pak Gede?” Aku balas membentaknya. Dia tak tahu
berapa lama waktu yang kuhabiskan di lautan. Aku bertambah keras, jauh daripada
sebelumnya.
“Kamu
sadar selama ini di Pasifik, tapi ternyata kamu ndak sadar!”
Aku
tertegun tak mampu mencerna maksud timpalan Pak Gede. Sadar-nggak sadar? Teori Kucing Schrodinger?
“Kamu
pikir selama kamu di Pasifik, kakimu napak
di atas air? Hah? Dirimu sudah ndak
terikat hukum fisika dari jasadmu lagi! Semua angin topan, badai, ombak pasang,
tsunami, bahkan gunung bawah laut yang kamu saksikan itu sudah merenggutmu
kalau kamu masih bisa direnggut! Kamu bisa kesana-kemari di penjuru Pasifik
secepat suara, memangnya kamu naik kendaraan supersonik!?”
Aku tak percaya. Sekaligus tak dapat menyangkal.
“Dan,
ingat! Dimana kamu ketemu dengan resonansimu, Si Lika itu? Pulau Gunkajima ‘kan?
Kecuali kamu makhluk astral, mana mungkin kamu bertemu Hawamu itu disana?”
Aku menggeleng, tak bisa menerima fakta aneh itu. Namun aku juga tak punya
argumentasi guna menyangkal bahwa Gunkajinma ternyata memanglah pulau tanpa
penghuni. “Kalau begitu saya sudah mati, Pak?”
“Kamu
memang sudah mati!” seru Pak Gede pada akhirnya.
Aku menunduk. Memeriksa apakah benar kaki yang menapak tanah hanya milik
para jiwa dalam jasad.
“Pak
Gede tidak menyangka perlu bertahun-tahun untukmu menyadarinya. Keliling ke
penjuru Pasifik. Sampai harus mendompleng eksistensi Si Paus Misterius segala.
Kamu, androgyny-mu, dan Paus Misterius
itu benar-benar kesepian, hingga sukar untuk sadar!”
Aku diamkan ocehan Pak Gede. Aku terus fokus memeriksa apakah untuk agar
aku bisa menapak tanah lagi, aku mesti kembali ke jasad dibalik kain batik pada
Selasa Pon itu? Menatap lagi bendera kuning yang bukan bendera partai?
Memandang kosong lagi ke dua jasad dibalik kain batik itu… Tunggu, dua jasad?
Siapa jasad satunya lagi?
Sebentar
dulu. Bila segala konsep tentang Paus 52-Hertz itu hanyalah interpretasi
kesadaranku dari pengalaman menjelajah Pasifik guna membawaku ke informasi
bahwa sejatinya aku telah mati, bagaimana bisa turut Pak Gede membahasnya?
Bahkan menyampaikannya padaku!
Jika Pak Gede bukan citraan dari kesadaranku selain sosok Lika, maka siapa dia sesungguhnya?
Jika Pak Gede bukan citraan dari kesadaranku selain sosok Lika, maka siapa dia sesungguhnya?
lll
referensi:
https://en.wikipedia.org/wiki/52-hertz_whale (hear the loneliest whale's song here!)
http://www.bbc.com/earth/story/20150415-the-loneliest-whale-in-the-world
http://yogasastra.blogspot.co.id/2012/09/cerita-rakyat-dari-bali.html
gambar dipinjam dari google. I don't own those pictures in this post.
Comments
Post a Comment