Yang Kita Sebut Setan Adalah Kita Sendiri

  Agaknya terlalu imajinatif menjanjikan pahala sama dengan seribu bulan ibadah bagi segelintir manusia. Mereka yang terus-menerus remuk dihantam kerasnya dunia, hingga hampir hancur sekali sentuh, urung peduli dengan keistimewaan yang dijanjikan atas Malam Lailatul Qodar dari balik mimbar ceramah sebelum shalat Tarawih. Pun kita, sudahkah kita benar-benar peduli?
  Meski Jibril sekalipun dikabarkan turun bersama beribu-ribu malaikat untuk mencatatkan doa dan harapan mereka yang beribadah sepanjang malam Lailatul Qodar, sebagian orang merasa berdoa saja belum cukup realistis. Hari raya tinggal menghitung jari, sedang kebutuhan dirasa tak bisa tiba-tiba muncul dan tercukupi begitu saja selepas berdoa. Maka mereka merasa perlu melakukan langkah nyata. Kalau perlu lewat jalan pintas.
  Pahala dan angan-angan surga masih terlampau maya. Ada realita yang jauh lebih nyata. Bila guci jiwamu itu sudah kadung retak dan rentan pecah, kalian bisa apa dengan harapan?


  Pagi ini, selepas sholat Subuh berjamaah di masjid, para jamaah riuh rendah. Mereka saling membicarakan rumah tetangga kami yang setengah tiga pagi tadi disatroni pencuri. Beruntung, ketika si maling sedang memanjat pagar masuk ke rumah korban, tetangga kami yang lain memergokinya. Dikejarlah pencuri tersebut olehnya. 
  Sayangnya, beruntung jugalah buat si maling karena ia berhasil kabur. Lepas bagai belut. Si pencuri yang belum sempat melancarkan niat buruknya itu selamat dari genggaman warga yang ikut mengejar bersama.
  Yang tidak selamat adalah rasa aman kami, penduduk sekitar tempat kejadian perkara. Rumah yang ditembus si maling ini hanya berjarak satu rumah kosong dari rumah saya. Dengan lolosnya si maling, terlebih dengan tangan kosong, tentu kami warga sekitar jadi was-was.
  Memang, secara psikologis dan akal sehat, mana mungkin pencuri itu berani kembali lagi ke tempat ia hampir tertangkap. Tapi semakin kemari, batas antara masuk akal atau tidak, beranjak merancu. Hari raya lebaran tinggal seminggu lagi. Buat kita yang berkecukupan mungkin dengan suka cita kita menantikan pagi hari kita pakai baju koko baru, menyambut tetangga-tetangga yang silaturahmi dengan makanan kecil yang beragam tersaji di meja ruang tamu. Tapi bagaimana buat mereka yang, seperti saya ibaratkan di atas, terlanjur retak dan rentan pecah jiwanya?
  Sambil menangkis rasa takut sekaligus tetap berjaga-jaga karena saya bertanggung jawab melindungi ibu dan dua adik saya di rumah bila ada apa-apa, saya coba mengambil perspektif dari sudut pandang si pencuri ini dan barangkali pencuri-pencuri lain. Mensimulasikan apa yang sekiranya membuat mereka berbuat semacam ini.
  Di sepuluh malam terakhir bulan suci Ramadhan, ketika Tuhan menjanjikan diskon pahala besar-besaran buat umat manusia, yakni ibadah satu malam yang ekuivalen dengan 83 tahun, ada oknum yang lebih memilih untuk menembus kegelapan malam, kerukupan sarung, bukan buat i'tikaf di masjid, namun untuk kemudian memanjat pagar rumah orang dan mencuri harta mereka.
  Ketika Tuhan menjamin bahwa selama bulan suci Ramadhan setan-setan dikerangkeng, tak bisa bebas menggoda dan menjerumuskan manusia ke lubang hitam angkara, rupanya masih ada manusia yang tetap berbuat biadab dan perbuatan tak terpuji lainnya. Bahkan di sepuluh malam terakhir cutinya setan-setan ini, sewaktu Tuhan memerintahkan serdadu malaikatnya buat memenuhi Planet Bumi untuk mencatat doa-doa dan harapan baik umat manusia, ada orang yang memilih untuk berhenti menengadahkan kedua tangan dan mengambil senjata, buat ngemaling rumah warga.

  Jangan bawa-bawa nama setan dalam perkara kali ini. Ia jelas tidak bersalah atas kejahatan di bulan suci sebab jelas-jelas ia sedang dikurung Tuhan biar tidak menganggu manusia. Seperti vampir yang bergeming ditempeli kertas segel. Lalu siapa yang salah? 
  Mari kembali menengok segalanya dari sudut si pencuri yang berhasil lolos dari belut itu. Si pencuri tersebut barangkali punya tanggung jawab keluarga yang mesti dinafkahi, terlebih menjelang hari raya begini, ketika segala-gala secara fantastis berubah primer. Baju baru seolah perlu, pulang ke desa seakan amat mendamba, dan lain-lainnya. 
  Barangkali ia adalah satu dari sekian banyak jiwa yang tidak seberuntung kita. Jiwa yang remuk dan nyaris hancur ditekan godam kehidupan dunia. Janji-janji surga dari Tuhan dirasa terlalu angan-angan. Dibandingkan dengan himpitan keperluan yang memelintir hati dan pikiran mereka. Maka berdoa serasa sia-sia belaka.
  Buat apa menunggu Tuhan menjatuhkan rizkinya ke dunia, jika aku bisa merampasnya saja dari mereka yang lebih berpunya? Bisa jadi pikiran semacam itulah yang diproyeksikan dalam benak mereka yang tak seberuntung kita.
  Atau bisa jadi kita juga tak seberuntung yang kita rasakan. Sebab dalam keadaan seperti ini, ketika setan-setan ciptaan Tuhan untuk sementara diambil hak tanam saham dosa pada diri kita selama beberapa saat, kita urung jua mempergunakannya guna berakselerasi meraih kedamaian sejati: beriman kepada Tuhan setinggi-tingginya. Berhenti berdalih di balik topeng religius dan berhenti menjadi setan buat diri kita sendiri.
  Dan mulai bergerak. Paling tidak membenahi diri, kalau tidak bisa menyembuhkan, supaya terlahirkan jiwa-jiwa baru yang tak rentan rusak meski dihantam kerasnya dunia. Sebab bagaimanapun juga saya percaya, hubungan yang baik dengan Tuhan pasti melahirkan hubungan sosial yang baik pula. Bukan pincang salah satunya.
  Semoga kita bersama-sama dapat mencapai kedamaian hakiki, sebagaimana itulah tujuan kita beragama. Tujuan kita sebagai umat manusia. Amin.


Comments

Popular Posts