Dari Ruang Tunggu Puskesmas

Tahukah apa yang paling membuatku ingin menangis, Kekasih? Bukan, bukan tentang engkau. Bukan tentang engkau yang sehidup semati aku kagumi namun selicin belut genggamanku akan sukmamu. Bukan tentang kesedihan kita, Kekasih.

Dari ruang tunggu puskesmas ini, laraku dirangkai. Aku bisa kapan saja memecahkan air mata ini kalau ini semua semakin memuncak. Ini semua tidak kau saksikan dari laboratorium tempatmu praktikum. Tidak juga tertampak dari ruang-ruang kuliah para mahasiswa yang gencar meneriakkan: "Hidup Rakyat Indonesia!"

Dari ruang tunggu puskesmas ini, aku ingin menangis bersama jerit seorang bocah yang meminta balon pada ibundanya--yang barangkali sedang kebingungan berkaitan dengan alasan ia pergi ke puskesmas ini. Bisa jadi suaminya yang sakit, bisa jadi anak laki-lakinya yang sakit, barangkali justru bocah yang meminta balon itu yang sakit, atau ia sendiri yang sakit. Kalau suaminya yang sakit siapa pula yang akan menafkahinya sampai kelak sang suami sehat kembali? Kalau anak laki-lakinya sakit nanti bagaimana? Kalau.. kalau.. kalau..
Puskesmas ini berlimpah 'kalau', Kekasih. Sama tidak pastinya dengan engkau, bahkan jauh lebih bias. Mau BPJS atau apapun tidak menjamin siapa yang nanti akan mencari uang kalau suami ibu ini sakit. Atau siapapun yang sakit. Sakit tidak untuk orang-orang yang datang ke puskesmas, Sayang. Sakit hanya alat buat para terdakwa untuk menghindar dari ruang sidangnya. Orang-orang disini tidak butuh jaminan, Sayang, tapi butuh harapan. Namun dari ruang tunggu puskesmas ini aku tahu ada yang jauh lebih tangguh daripada aku dalam merespon harapan yang oleh realita didebur.

Dari ruang tunggu puskesmas ini, aku ingin meminang wanita tua bungkuk yang barusan menatapku heran, yang bertanya-tanya apa gerangan yang membuat lelaki sepertiku menitikkan airmataku di tempat ini. Sebab justru ia yang membutuhkan kawan, Kekasih, bukan engkau. Entah apa yang dideritanya hingga mesti datang ke puskesmas ini, sendirian. Kemana teman hidupnya? Dimana buah hatinya? Terkadang cinta terlampau tidak adil bagi orang-orang di ruang tunggu puskesmas ini. Sedangkan engkau dan aku diluar sana dimabukkan seolah dunia ini milik kita berdua. Padahal badan ini pun bukan kepunyaan sukma yang bernafas. Badan ini, tanah, dan seluruh kekayaannya dikuasai oleh negara, yang kemudian menyekati para penunggu di ruang tunggu puskesmas ini antara kesehatan dan kehidupan. Pertanyaannya bukan tentang kalau mereka ini sakit apakah ada jaminan untuk berobat tapi tentang kalau mereka ini sehat apakah ada harapan buat mereka semua? Apakah negara mau kasih lapangan pekerjaan? Apakah negara mau menjamin keadilan? Apakah negara mau tahu ada wanita tua yang bungkuk, menenteng payung dan tas tenteng kecil di tangan kiri, pulang-pergi puskesmas sendirian karena negara hanya menilik kesehatan bukan kesepian.

Dari ruang tunggu puskesmas ini, aku tersentuh oleh lelaki cacat dan istrinya di kursi roda. Lelaki itu, telapak kakinya tak sempurna, seolah tidak bertulang. Entahlah kenapa. Namun siapa peduli dengan Rizky Febian atau Kesempurnaan Cinta miliknya jika cinta yang sempurna justru yang tidak sempurna. Persetan segala hal karena yang aku saksikan disini adalah lelaki itu dengan sabar merawat istrinya di atas kursi roda. Mengambil nomor antrian, mengurus administrasi pengobatan, dan lain-lain yang lebih manis daripada sekelopak mawar yang kau berikan dengan ciuman, Kekasih. Bukan aku tidak peduli dengan probabilitas bahwa bisa saja mereka berdua disatukan karena, yah, pasrah sama-sama tidak sempurna. Tapi cinta mana yang lebih agung dan suci ketimbang cinta yang berawal dari kesadaran akan ketidaksempurnaan?
Semoga Yang Maha Cinta memberkati mereka dengan cinta seisi semesta. Menuaikan harapan yang rahmatan lil alamin.

Lalu tanyakan padaku, Kekasih, masihkah aku menangisimu? Kemarilah, ikut aku ke ruang tunggu puskesmas ini, keluar dari ruang kuliah yang membuatmu dan teman-teman merasa megalomania dengan gelar mahasiswa. Atau intelek muda. Atau apa-apa saja yang sebenarnya bila kau duduk disini, menatapi kegelisahan di ruang tunggu puskesmas ini, membuatmu hanya ingin bilang bajingan.

Lalu kita akan menangis. Menangis sebab negara ini terlampau sibuk dengan apa yang buat rakyatnya tidak penting. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif bernegara dengan getol mengikuti panjang gelar mereka hingga lupa yang dibutuhkan orang-orang dalam ruang tunggu puskesmas ini hanyalah kebahagiaan.

Kita akan bercinta dengan bersetubuh bersama kesedihan dan sendu mereka semua. Menyatu karena sakit di satu sendi, menghancurkan seisi tubuh ini. Bhineka tunggal ika.

Comments

Popular Posts