Mari Bercinta


Tadinya tulisan ini mau saya beri judul Mari Bersetubuh tapi setelah pikir-pikir lebih lanjut sepertinya lebih baik saya urungkan niat tersebut. Karena terlalu vulgar? Ya, barangkali. Tidak semua calon pembaca saya (seakan-akan bakal dibaca) siap merespon hal tersebut. Karena terlalu persuatif? Saya pikir, tidak. Karena niat saya memang hendak mengajak kalian semua untuk 'bersetubuh'.

Lho?

Jangan suudzon dulu dalam menanggapi ajakan untuk 'bersetubuh' itu. Sebab suudzon alias berprasangka buruk terkadang memang lebih banyak mudharatnya daripada berprasangka baik atau husnudzon. Namun suudzon belum tentu sepenuhnya buruk sebab di era yang penuh imitasi ini, baik itu barang impor, senyuman seseorang, sampai dengan masalah taksi, semuanya banyak yang palsu. Jadi barangkali terlalu naif juga kalau pikiran ini husnudzon melulu. Pintar-pintarlah menjadikan suudzon atau husnudzon dari alam pikiran. Asal jangan menjadi fadlizon yang tidak punya pikiran.

Salah satu top komentator di Line Today mengemukakan hal tersebut, menggelitik saya untuk tersenyum dan berpikir. Topik yang dikomentari user tersebut adalah tentang 'kawan' Donald Trump tersebut yang menyelenggarkan lomba baca puisi. Namun ini bukan lomba baca puisi biasa yang menggelontorkan puisi-puisi Chairil Anwar ataupun Rendra untuk dibaca. Ah, sudah ketinggalan jaman semua itu. Karawang-Bekasi itu sudah kuno. Cuma cocok buat mereka yang kini terbaring serta tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.  Gak kekinian blas. Puisi jaman sekarang, ya, tentu saja yang memprotes tukang gusur-tukang gusur. Kurang kekinian apalagi? Lomba baca puisi ini dilakukan dengan cara para peserta tinggal mengunggah video saat membaca puisi ke akun Youtube. Pemenangnya dijanjikan hadiah 10 juta rupiah. Lumayan uangnya bisa buat beli kamera yang bagus, modal untuk bikin vlog hits besok-besoknya. Lagipula lomba baca puisi ini juga sangat nasionalis. Dimana pemenangnya bakal diumumkan pada Hari Pahlawan dan puisi ini juga buatan wakil rakyat Indonesia tentang sepetak kota Jakarta dan dinamika politiknya.

Mungkin kawan sastrawan kita yang satu ini terlalu sibuk menerima aspirasi masyarakat sampai lupa bahwa Indonesia tidak sekedar ibukota dimana gedung DPR itu berada. Tidak cuma kota kemana Koes Plus akan kembali itu saja yang sebentar lagi akan melakukan pilkada. Jangan cuma kota dimana White Shoes and the Couples Company memiliki kisah saja yang dikhawatirkan. Ada 100 daerah lainnya yang sama-sama akan melakukan pilkada serentak. Tiada dari semuanya itu yang terlepas dari potensi rawan konflik. Maka bukankah terlalu sempit bagi seorang wakil dari seluruh rakyat Indonesia untuk hanya berfokus pada ibukota saja? 

Maksud saya, bukannya lebih baik bagi seorang yang berposisi strategis seperti ayah teman saya, Shafa Sabila Fadli, agar mengambil sikap mengajak kepada seluruh elemen dalam pilkada serentak supaya menjaga persatuan, menghindari konflik-konflik yang rawan, menghimbau agar kita tidak mudah terpecah belah oleh isu-isu berkedok SARA.

Tapi, ya bagaimana lagi, memang sulit memberi tahu pada ikan untuk tidak berenang.

Saya heran betul mengapa selama 70 tahun lebih Indonesia mengaku telah lepas dari belenggu penjajahan, kita masih belum mampu meninggalkan warisan dari para kolonial. Selain KUHP yang dinasionalisasi dari Wetboek van Strafretch melalui Pasal II UUD 1945 ya. Sebab katanya RUU KUHP bakal disahkan. Nggak tahu kapan. Namun warisan dari para londo yang saya maksud adalah perpecahbelahan.

Dari dulu saat konsep Indonesia belum dicetuskan hingga kini anak-anak sekolah sudah jengah pada pelajaran Kewarganegaraan, insan-insan Nusantara masih saja mudah terpecahbelah oleh faktor-faktor agama, ras, antargolongan, dan suku bangsa. Mulai dari Sultan Agung Tirtayasa yang diadu dengan putranya sendiri, pemisahan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta, hingga kini perpecahbelahan antara partai ini dan partai anu, agama A dan agama B, ras merah dan ras ungu, suku sana dan suku sini. Macam-macam.

Cakupannya pun sebenarnya tidak selalu sebesar negara. Kalau mau jujur-jujuran, dan ini memang suatu fakta di lapangan, kehidupan kampus dimana dari sanalah berasal para mahasiswa-mahasiswa yang lantang menyuarakan pemerintah agar tidak berintrik politik melulu, kondisinya pun seperti itu. Sama seperti ketika suatu daerah hendak melakukan pilkada, pasti masyarakatnya terpisah-pisah menjadi berbagai macam kubu. Dalam kampus juga begitu. Kenyataan bahwa menjelang pemilihan seorang pemimpin pasti diikuti dengan terciptanya kubu-kubu tidak bisa kita pungkiri. Dulu waktu Nabi Adam ditunjuk sebagai khalifah, Iblis ex Al-Aziz saja membangkang. Bedanya, dulu golongan yang enggan bersujud dan yang menurut untuk bersujud kepada Adam tidak memiliki kepentingan. Iblis bukannya sedang bermanuver politik waktu memutuskan tidak mau sujud. Ia memang tidak mau saja. 'Kan aku lebih suci daripada Adam. Sombong. Itu saja. Dan malaikat bukannya sedang pencitraan pada Tuhan waktu menurut untuk sujud di depan Adam. Tidak, sama sekali tidak.

Namun, sekarang kondisinya berbeda. Masing-masing kubu yang tercipta bergerak atas dasar kepentingan. Kepentingan partai yang mendukungnya, kepentingan organisasi ekstra kampusnya, kepentingan lain-lain yang bukan merupakan a noble quest for a good order and justice (usaha untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan) sebagaimana ujar Peter H. Merkl dalam bukunya Continuity and Change. Jangan tanya saya siapa beliau sebab saya juga cuma menyadur kutipannya dari Dasar-Dasar Ilmu Politik-nya Prof. Miriam Budiardjo. Hehehe..

Saya melanjutkan langkah ke halaman berikutnya dan bertemu dengan penulis buku Introduction to Political Analysis, David E. Apter. Kami pun ngobrol-ngobrol:

"Lho, kalau tujuannya adalah tatanan sosial yang baik dan berkeadilan, terus kenapa kita terpecahbelah karena SARA kek gitu?" tanya saya.

"Politik itu sebenernya mencerminkan tabiat manusia, bor. Perasaan manusia itu macem-macem dah pokoknya, sangat mendalam dan sering saling bertentangan" jawab David E. Apter.

"Jadi wajar dong ya kalo tiap hari kita disuguhkan kegiatan politik yang seringkali berorientasi sama harta, tahta, dan wanita..eh, kuasa. Benar?" tanya saya, lagi.

"Yoman..! Yang penting nggak pake narkoba" Saya sejenak berpikir yang saya ajak bicara ini David E. Apter atau Young Lex? Sebab setelah itu saya dengar ia berkata-kata kasar, tapi masih dalam batas wajar, sih.

Sampai pada paragraf ini, Saudara boleh saja mencaci maki saya sebab mengawali tulisan dengan bahasan yang vulgar hingga sampai pada penyuguhan kutipan dari para ahli yang saya kreasikan dengan imajinasi seenak udel saya.

Terserah saja. Sebab saya menulis ini bukan untuk menjadi tulisan akademik. Bukan untuk meraih suatu gelar akademik tertentu. Namun untuk menumpahkan pemikiran saya yang sebenarnya, tanpa kepentingan tertentu. Dari sini saya ingin mengajak teman-teman semua, bahkan yang tadinya enggan membaca topik-topik berat yang butuh sitasi dari bukunya Prof. Miriam Budiardjo, atau kalau memang aksesnya mengijinkan, kepada para mereka yang biasa diberi iming-iming 50 ribu untuk berbuat chaos, bahkan kalian para suci (aku penuh dosa) yang bergerak atas nama agama, atau kepentingan mulia lainnya untuk 'bersetubuh'.

Saya heran dengan kalian yang mengutuk sepasang mahasiswa yang kepergok bercinta di kamar kos dengan berlagak sok suci tapi tidak berhasil mendapatkan pencerahan seperti, "Eh, bener juga ya. Sepasang kekasih ini saja bela-belain melanggar norma, diam-diam di kamar kos saling bercumbu-bersetubuh atas dorongan nafsu belaka. Kita, kok, nggak mau bersetubuh juga, atas nama persatuan rakyat Indonesia."

Bersetubuh jangan diartikan secara seksual saja. Itu benar, tapi terlalu sempit. Seperti kata Sujiwo Tejo, "Jancuk is not the fucking at all." Bersetubuh jangan dimaknai sebagai kegiatan seksual dua orang manusia saja. Sekarang banyak 'kan yang melakukannya berjamaah? Apa sebutannya? Mirip-mirip judul lagunya Ariana Grande, Jessie J, dan Nicky Minaj. Apapun itu, bersihkanlah pikiran Saudara sekalian, sebab dengan kondisi menjelang Pilkada serentak semacam ini, kita rakyat Indonesia butuh 'bersetubuh', sebab dalam suasana menjelang Pemira khususnya di kampus tempat saya bernaung ini, kita para civitas perlu 'bersetubuh'.

Bersetubuh, menurut pengalaman menjadi jamaah Sujiwo Tejo sejak 4 tahun lalu makanya otak saya jadi ngawur begini, adalah ketika kita tak mampu lagi membedakan mana yang bagian tubuh kita dan mana yang bagian tubuh pasangan kita. Konsep yang agak susah dibayangkan ya, apalagi bagi kita insan muda harapan bangsa yang aktivitas seksualnya sebatas main dengan tangan sendiri saja. Heuheuheu...

Mmm, kalau begitu, saya sederhanakan konsep 'bersetubuh' ini menjadi 'berpelukan' saja. Bagaimana, sepakat? Teletubbies berpelukan, jadi saya anggap konsep seperti ini akan lebih mudah dipahami secara luas, ya? Sip.

Berpelukan adalah engkau merangkulku dan aku merangkulmu. Lengan kita saling memeluk pundak satu sama lain. Bagian depan tubuh kita saling menyatu. Kepalaku bertumpu pada bahumu dan kepalamu bertumpu pada bahuku. Berpelukan memproduksi dopamin dan melepaskan hormon serotonin, yang mana berguna untuk mencegah depresi dan membuat bahagia. Ketimbang bertato dan pakai narkoba untuk menstimulasi dopamin dan serotonin, lebih baik kita saling berpelukan. Memeluk Young Lex, AwKarin (ini gimana nulisnya sesuai EYD) yang bertato tapi nggak pake narkoba, beserta mereka-mereka semua yang engkau sering caci maki tapi tidak engkau ajak jadi lebih baik lagi.

Waktu berpelukan, kita saling membagikan kehangatan. Berpelukan juga, jujur saja, menenangkan dikala risau melanda. Saat berpelukan, engkau tak mampu lagi bedakan yang engkau rasakan berdegup di dada, apakah jantungmu atau jantung pasanganmu. Saling berpelukan, berarti saling menyatu. Berpelukanlah hingga tak mampu kita bedakan lagi mana yang kepentinganku dan mana yang kepentinganmu. Berpelukanlah bukan karena engkau biru dan diriku kuning, berpelukanlah karena kita ingin saling berpeluk.

Lakukan semuanya atas nama cinta.

Terlepas dari konsep 'bersetubuh' atau 'berpelukan', pada akhirnya saya menemukan satu kata yang lebih tepat untuk menghubungkan keduanya dan tanpa satu istilah ini, 'bersetubuh' atau 'berpelukan' hanya akan menjadi istilah yang tidak senonoh untuk dituliskan.

Bersetubuh tanpa kesepakatan antara masing-masing pihak bukanlah bersetubuh. Bersetubuh butuh cinta. Berpelukan tanpa kesepakatan antara masing-masing pihak bukanlah berpelukan. Tanpa cinta, keduanya hanya bakal menjadi, maaf, pemerkosaan dan perbuatan cabul. Tanpa hasrat dan keinginan atas nama cinta, Saudara sekalian memenuhi unsur dalam Pasal 285 dan Pasal 294 KUHP dan diancam pidana. Maka, bercintalah.

Dalam kondisi menjelang Pilkada serentak seperti kali ini, masyarakat Indonesia perlu saling 'bercinta'. Dengan suasana menuju Pemira saat ini, segenap civitas kampus butuh untuk 'bercinta'. Mesra dan hangat sampai tak membayangi lagi kepentingan partai yang kau kaderi, organisasi yang mendukungmu, atau golongan dari mana dirimu berasal. 

Mari 'bercinta' sampai rancu milik siapa bagian tubuh yang engkau rasa, milikku atau milikmu. Mari 'bercinta' hingga bias jantung siapa yang kita rasakan berdegup, jantungku atau jantungmu. Mari 'bercinta' hingga sama-sama kita rasakan perih ketika salah satu dari badan kita disakiti. Mari 'bercinta' dengan sadar bahwa tangan itu tetap milikku, dan bibirmu tetap bibirmu. Masing-masing dari kita bersatu namun tidak hilang dalam leburan. Manunggal.

Bercinta kita Bhineka Tunggal Ika, Kekasih..

Comments

Popular Posts