Bagaimana Cara Menyambut 2017 dengan Baik?



"The past is only the future with the lights on" (Baby, Come on - +44)


Bila ditanya, apa yang kamu pikirin soal tahun 2016, maka yang pertama kali muncul dalam pikiran saya adalah tudingan dari para kakak kelas semasa saya SMA sebagai bagian dari angkatan 2016.

Ya, di jaman SMA tempo waktu, angkatan 2016 bisa dibilang memikul beban yang cukup berat. Yakni angkatan kamilah yang punya tanggung jawab terkait rangkaian event dalam rangka memperingati 50 tahun sekolah kami. Juga, yang menggenggam panji Lustrum ke-X. Atas semua warisan tersebut maka sejak awal kami seringkali diperingatkan pada hal tersebut. Saya lebih merasa seperti dihantui. Tak heran saya pernah berada di fase sebenci-bencinya pada instansi naungan sendiri. Baik itu budaya ciri khas sekolah saya, setiap individu kakak kelasnya, dan lain-lain. Segala aspek lah pokoknya. Jadi sebelum ini, saya pernah sekali benci segalanya. I was the part of anti social social club before it was cool. Heuheuheu.

Apa lagi?
Kurikulum juga merupakan musuh bebuyutan kelahiran '98 -- para prajurit angkatan 2016. Dengan variasi pelajaran wajib dan peminatan, yang PMIIA dapat dua matematika dan yang PIIS dapat dua sejarah (sounds cool), makin seru, deh, cerita dibalik angka 2016 ini. Oh iya, sistem berbasis komputer dan lembar ujian kertas biasa dalam UN juga jadi hal menarik yang kami alami. Semesta memberkati betul, peserta UNBK bisa dapat bocoran soal dari 'peserta kertas' berkat jadwal ujian yang berbeda. Yap, Ujian Nasional yang sangat nasional: beda zona waktu. Hehehe. Dan, semoga rahmat selalu tercurahkan pada siapapun orang dibalik web Pak Anang dot com.

Yang disebutkan di atas tadi adalah memori bersama. Kalau memori pribadi?
Bagi saya, 2016 adalah salah satu plot twist terhebat yang pernah saya alami dalam hidup saya. Tahun kabisat dimana Indonesia disambangi gerhana matahari ini menjadi tahun dimana ungkapan pengalaman adalah guru terbaik betulan saya rasakan. Sebab tiada pelajaran hidup yang 2016 ajarkan pada saya, yang saya dapatkan di bimbel Neutron. Nggak tahu kalau di Ganesha Operation ya. Hehehe.. Dasar bocah les-lesan.

Secara pribadi, saya merasakan diterbangkan tinggi, kemudian dihempaskan, lalu tiba di tempat yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya pada tahun 2016. Bagaimana saya mendamba bisa kuliah di Institut Teknologi Bandung jurusan Teknik Fisika; kemudian mesti berkompromi dengan rekam prestasi ketika memilih prodi di SNMPTN, jadinya memilih Teknik Fisika UGM saja, yang akhirnya gagal juga; bertarung bersama kekasih dan sahabat tercinta di SBMPTN dimana saya kembali nekat pilih Teknik Fisika ITB jadi pilihan pertama, lagi (gila kan); gagal lagi padahal pacar saya keterima di UGM fakultas Biologi; benar-benar depresi, apalagi dengan kondisi keluarga yang sedang tidak kondusif, mendaftar berbagai macam ujian mandiri -- UM UGM, UM UNDIP gelombang 1, dan universitas lain seperti UNS, ITS, UPN dkk (saya masih simpan kartu ujiannya, hehe) -- dan hasilnya penolakan semua; saya sudah sempat berpikir akan jadi penumpang gelap touring-nya Cak Nun dan Kiai Kanjeng saja kalau harus mengulang tahun depan; menurunkan mimpi dengan ndaftar universitas swasta, itu saja masih gengsi, yakni Telkom prodi Teknik Fisika; iseng mendaftar UM UNDIP gelombang 2 di jalur Soshum gara-gara naskah ujian UNDIP nggak ada soal TPA-nya jadi kalau ngerjain Saintek otak saja bisa ngebul kayak dapurnya Bill Gates; ternyata saya keterima dua-duanya!! And guess what, saya mengenyampingkan impian saya sejak lama jadi mahasiswa Teknik Fisika di kota romantis bernama Bandung dan lebih memilih Fakultas Hukum di kota yang saya sungguh hindari (karena panas, cuk). Semuanya berkat titah ibu saya di suatu sore, sehari setelah saya keterima di Telkom, di hari pengumuman online UM UNDIP yang mundur sebulan. Saya hampir tidak membuka pengumuman kalau bukan paksaan dari Om Adi yang sedang berkunjung. Ya gara-gara saya sudah keterima di jurusan impian saya sejak lama. 

Saya ingin jadi physic engineer. Alasannya, saya ingin merawat sifat anti sosial saya, mengurung diri dan asyik dengan teorema serta rumus fisika, menjadi sosok-sosok yang direka film Interstellar dan The Martian, menemukan rahasia dari waktu, mengeksplor segala hal tentang alam semesta -- mengangkasa.

Siapa yang kira sekarang saya berada di posisi saya kini? 
Menjadi satu dari ratusan ribu mahasiswa yang berfokus pada dogma yang mengikat antar manusia, bersemangat buat aktif, ikut kegiatan-kegiatan, dan bermimpi untuk bisa mengabdi -- membumi. Oleh karena itulah, saya suka berpikir jangan-jangan setiap kegagalan yang saya temui di tahun 2016 kemarin adalah upaya Tuhan untuk mendaratkan diri saya yang sudah mengangkasa. Kita boleh saja menengadah menerawang ke galaksi paling jauh di alam semesta ini, namun jangan pernah melupakan eksistensi kita di planet ini adalah guna merawat dan membumi.

Sebelum memandang jauh keluar dari tata surya, dari Bimasakti menuju Andromeda, dari teorema pytagoras ke rumus revolusi suatu planet mengelilingi Matahari, ada baiknya menguasai dengan tepat terlebih dahulu hubungan horizontal dengan sesama manusia, dengan tetangga dan rakyat semua, dengan segenap lapis masyarakat dan konflik sosial dalam hubungannya. Caranya? Buat saya, usaha itu bisa ditempuh dengan mempelajari betul hukum yang mengatur secara menyeluruh setiap gerak-gerik semua manusia ini.

Kalau mau dibawa ke ranah yang lebih luas (dan sedikit sufistik), ini selaras dengan kebenaran mutlak bahwa hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhlukNya pastilah berbanding lurus. Dalam agama Islam difirmankan oleh Allah SWT pada Al-Ankabuut ayat 45, bahwasanya mendirikan shalat -- yang merupakan salah satu ibadah primer Muslim -- sesungguhnya dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Mencegah seorang Muslim dari berbuat yang tercela dan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Pandangan ini menyiratkan dengan jelas, bahwa hubungan yang baik dengan Tuhan (habluminallah) jelas membawa kebaikan pula pada sikap kita dalam hubungan baik dengan sesama manusia (habluminannas)

Jadi, buat saya tahun 2016 ini adalah wahyu dari Tuhan buat saya. Suatu ilham. Biar saya tidak keblinger dengan segala kebohongan manis yang kerap dibisikkan dan mengendap dalam diri saya. Suatu pendewasaan.

Salah satu musisi favorit saya, Mark Hoppus, pada salah satu lagu dalam album bersama band side project-nya +44 (dibaca Plus 44, red) yang berjudul Baby, Come On bertutur: "The past is only the future with the lights on." Mengguncang bukan? Nilai intrinsik yang terkandung dalam bait lirik tersebut saya ingat-ingat sampai sekarang. Masa lalu hanyalah masa depan dengan lampu yang menyala.

Visi adalah saklar lampu yang dapat ditekan biar menyala terang lampunya. Kesimpulannya, apapun yang terjadi selama 2016, kegagalan ataupun keberhasilan, jadikan saja semuanya pelajaran buat membangun visi biar menyala terang lampunya, biar kelihatan jalannya.

Karena masa lalu dan masa depan adalah ruangan yang sama dengan lampu yang mati atau menyala (kalau mau kita teruskan pembicaraan tentang waktu dan ruang ini lebih lanjut dan lebih fisika, japri aja saya!), maka mari jadikan ladang tahun 2017 yang bakal jadi masa lalu untuk diri kita di tahun-tahun berikutnya ini sebaik-baiknya pengalaman. Because, yeah, the past is only the future with the lights on.

N.B.
untuk teman-teman the class of '98 (lulusan rimba plasenta tahun '98, biar kayak film The Class of '92-nya MU, hehe)
Brace yourself. The past is only the future with the lights on. Kondisi yang selalu kita keluhkan, seperti lahir di masa gejolak reformasi, dapet kurikulum yang semrawut, dan segala macam kesulitan yang sering kita elu-elukan biar kelihatan tangguh, sesungguhnya cuma masa depan dengan lampu menyala. Ada tantangan yang selalu lebih besar, yang menanti kita di depan sana.

Sampai jumpa.


"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah.
Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri"

kata Bung Karno, Presiden pertama Indonesia.

Comments

Popular Posts