Empat Bulan Pulang dan Satunya Berkembang

Jika setelah membaca judulnya Anda teringat pada salah satu fragmen dalam buku tulisan Elizabeth D. Inandiak Centhini: Kekasih yang Tersembunyi yang berjudul "Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan" (versi aslinya berjudul Les Chants de l’ile a dormir debout le Livre de Centhini), maka Anda tidak salah karena saya memang terilhami karya sastra penulis Prancis akan Suluk Tambangraras asal Jawa dengan 4000 halaman tersebut. Terilhami adalah kata yang lebih sopan dari menjiplak.


"Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan" mengisahkan betapa Amongraga dan istrinya, Tambangraras, adalah pembelajar sejati. Sebab setelah kelar berpinang sebagai suami istri, bukannya ber-ratum et consumatum, mereka justru memupuk pelajaran terlebih dahulu. Mengarungi tujuh lautan untuk kemudian dapat menepiskan kegugupan -- halangan sanggama. Dan sepasang sejoli ini, siapa lagi di abad modern ini yang dapat mengapresiasi bercinta sebegitu tinggi hingga harus empat puluh malam mereka persiapkan dengan Amongraga sebagai haluan dan Tambangraras sebagai buritan -- hanya untuk bercinta? Selepas itu pun Amongraga pamit untuk kembali pergi mengembara mencari kedua adiknya -- tujuan awalnya.

Hal inilah yang, menurut saya, membatasi hubungan seks antar manusia maupun mamalia lainnya meski sama-sama anggota dalam kingdom vertebrata. Perlu 450 juta tahun dari sekarang (akhir masa Ordocivius) semenjak titik balik pembuahan eksternal, akibat migrasi dari samudera ke daratan, guna menjaga transfer sel sperma ke sel telur tetap hidup dalam medium cair, menjadi pembuahan yang sekarang. Atas historikal dari kenikmatan tersebut tentu butuh suatu pengantar yang indah lebih dari sekedar percumbuan guna mencapai titik sakral itu.

Dan bagi saya pribadi, kisah Amongraga dan Tambangraras adalah petunjuk bagaimana manusia semestinya dapat mengapresiasi lebih tinggi suatu kopulasi dengan akal budinya. Karena bercinta tidak sekedar bercinta. Lebih luas daripada sekedar persetubuhan, buat saya mesti ada pelajaran panjang terlebih dahulu dalam perjalanan panjang bernama cinta. Meliputi kekaguman, kebencian, kerinduan, hal-hal remeh temeh seperti cemburu dan pelukan, filosofi, pengalaman, dan pengamalan.

Demi suatu apresiasi.

Empat Bulan Pulang dan Satunya Berkembang
Jauh sebelum bertemu dengan dirinya, saya sudah mendamba untuk melanglang buana keliling dunia. Masa kecil saya pun hampir habis untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya: lahir di Kebumen, pindah ke Sleman, lalu ke Kotagede, ke Ambarawa, ke Mangkang, ke Kudus, ke Cirebon, ke Bekasi, dan balik lagi ke Jogja, kemudian kini berpindah ke Tembalang.

Persis seperti Jayengresmi alias beken dengan nama Syekh Amongraga yang berkelana ke banyak tempat seperti Sidacerma, Ranu Grati, kaki Gunung Tengger, Argopuro, Banyuwangi, Prau, sampai Pekalongan, dan banyak tempat lainnya sebelum akhirnya bertemu dengan Tambangraras.

Semenjak kecil saya telah diajari untuk tidak berdiam diri di satu tempat yang sama. Dan bertahun-tahun tinggal di Jogja yang lebih lama daripada ketika di banyak kota sebelumnya telah mempertemukan saya dengan sebuah tembang. Entahlah akan jadi semerdu atau raras selayak istri Amongraga atau tidak, yang jelas kekaguman yang saya rasakan sejak kali pertama mendengar lagu ini berdendang terasa berbeda.

Hitam dan putih adalah kami sedari awal tangan tak terlihat melekatkan kami berdua dengan perekat berbentuk novel Supernova yang ditulis Dewi Lestari. Sebagaimana segala relativitas yang jadi bumbu dalam seri pertamanya, Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh, hitam dan putih yang meliputi kami adalah relatif. Hitam tak selalu berarti salah, dan begitu juga putih bukan berarti tidak benar. Sehingga di era menyatakan cinta dapat melalui berbagai macam cara ini, menggunakan jalan konvensional dengan menyelipkan surat cinta di buku yang dipinjam dapat dibenarkan. Dan dianggap romantis. Juga tidak murahan.

Saya tidak akan pernah lupa hari itu. Dua tahun lebih satu hari yang lalu. Tepat tanggal 20 Januari, di hari ulang tahun Dewi Lestari, saya diam-diam mengembalikan dua seri novel Supernova-nya, Akar dan Petir, kepada sang pemilik. Di tengah hiruk-pikuk kejutan yang teman-teman sekelas siapkan buat kawan saya Adib, yang juga sedang ulang tahun, tangan panjang saya bekerja pada tas ranselnya. Bukan mengambil barang bawaan saya justru menambahkannya. Yang coba saya curi adalah hatinya.

Rupanya berhasil. Keesokan hari, tanggal 21 Januari tengah hari, ada satu bagian dari lagu ini yang begitu merdu. Sebuah jawaban. Antara dua pilihan iya dan tidak, wanita ini memberikan yang pertama kepada saya. Dan sejak saat itu, kami sepakat kami adalah lebih dari teman. Bisa jadi sahabat, bisa jadi rival. Yang jelas banyak yang berubah setelah itu.

Masa-masa Sekolah Menengah Atas adalah satu bagian yang terindah. Kerjaan kami sebagai sepasang kekasih adalah sebagai pelajar. Full-time lover. Pagi hingga siang berjumpa di kelas yang sama, duduk di bangku yang sama, pulang ke tempat parkir berdua, bahkan study tour ke Pulau Dewata dalam bus dan kursi yang sama dan sisanya kami tetap stay in touch meski tak berjumpa. Selanjutnya intensitas seruangan mulai berkurang, namun kami tetap meluangkan waktu untuk bertemu di koridor sekolahan, keluar makan berdua, bertemu-berpeluk-bercumbu, menuntut ilmu buat sangu masuk perguruan tinggi, les Fisika berempat bersama Maria dan Melia, bahkan tempat kami menempuh SBMPTN pun sama-sama di Fakultas Peternakan UGM, di gedung yang sama hanya ruangan yang berbeda.

Lalu sebagaimana setiap lagu favorit pasti memiliki bagian yang tidak mengenakan, entah itu intronya, atau solo gitarnya, suara additional effect-nya, atau justru akhir dari lagu itu sendiri, begitu pula pujaan hati saya ini. Akan ada saat-saat dimana saya bisa sangat-sangat membencinya. Buat saya itu wajar-wajar saya. Tiada cinta yang lebih kuat daripada yang disulut dengan sedikit ketidaksukaan. Justru ikhtiar melampaui ketidaksukaan itu yang dinamakan sejati.

Namun yang paling membuat saya benci justru diri saya sendiri. Keputusan untuk pergi, pada saat-saat awal, adalah hal yang paling membuat saya dilema. Kota Jogja sudah tidak lagi menerima saya menjelang masa kuliah saya. Bahkan jauh sebelum itu, sebetulnya saya ingin menuntut ilmu di Jalan Ganesha. Lalu dengan segala balutan kebencian, rupanya takdir menempatkan saya di sudut kota Semarang. Sebuah tempat dimana Diponegoro muda menuntut ilmu -- dan menutut dihapuskannya UKT dan SPI.

Sedari awal saya tahu akan menghabiskan tiga setengah sampai empat tahun di Tembalang, saya merasa begitu melankolis. Menulis banyak puisi perpisahan, meronta dalam sekotak dunia maya, bahkan menulis surat tentang betapa picisannya saya ketika melewati gedung tempat ia berkuliah di Jogja. 

Kemudian perkuliahan dimulai dan hati saya inersia. Setiap kali ada akhir pekan yang bebas dari perkuliahan, saya memilih untuk melarikan diri dari kegiatan dan pulang ke Jogja. Bertemu dengan keluarga adalah kedok paling sempurna. Yang sebetulnya ingin saya lakukan adalah menyumpal kembali kedua telinga saya dan mendengarkan lagu favorit saya ini dengan volume maksimal. Saya rela merusak organ rungu saya dan saya tersadar:

Tiada lagi yang seperti dulu.

Kita tumbuh dewasa dan tidak bisa tetap berpijak pada tempat yang sama. Duduk berjajar di lantai lalu berpegangan tangan di koridor sekolah hingga jelang pukul lima mungkin menyenangkan, namun tiada lagi sepasang remaja dalam balut seragam SMA. 

Saya berkembang. Dia berkembang. Kita semua berkembang dari apa-apa yang pernah menjadi kita dan apa yang akan kita jadikan. Dia mulai membuka diri demi banyaknya eksistensi pengalaman pada selembar CV-nya dan saya rasa jalan terbentang untuknya. Semoga. Namun sungguh radikal hati kecil saya yang masih kerap inersia.

Agustus 2016, dan saya begitu menanti bulan Desember untuk kemudian saya pulang dan sepanjang liburan dapat saya gunakan buat pacaran.

Kemudian semesta mempertemukan saya dengan Serat Centhini. Cermin dalam lembaran asli sebanyak 4000 halaman tersebut merefleksikan diri saya pada sesosok Jayengresmi yang berkelana untuk mencari kedua adiknya setelah hancurnya Giri oleh Mataram. Kedua adik yang harus saya temukan adalah impian dan asa yang saya miliki dalam benak hati kecil saya nan inersia ini.

Lalu, kenapa harus "Empat Bulan Pulang dan Satunya Berkembang"?
Pertanyaan ini menyeret saya kepada suatu ketika dimana tembang yang saya kagumi ini mengeluhkan: ia telah berencana untuk meluangkan waktu liburan ini dengan saya, namun saya justru pergi.

Ya, liburan pertama saya di perguruan tinggi ini saya habiskan untuk mengabdi sebagai guru di Thailand. Selama 6 minggu di negeri orang, 12 Januari hingga 26 Februari 2017. Saya seolah melupakan 'penantian' saya akan Desember alias liburan untuk dihabiskan dengan mendengarkan tembang ini lagi lebih intens. Entah tiba-tiba irasional atau apa, namun dengan sadar saya menukar 'masa libur' kami terpisah dari Jogja dan Tembalang dengan terpisah dari Indonesia dan Thailand. Dan kami melewati hari jadi kami yang kedua tahun di dua tempat yang berbeda: saya di Khang Khoi, Saraburi sedangkan ia di Jogja, DIY.

Namun kemudian, saya menyelaraskan segala ini dengan "Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan" dalam lembaran kisah Amongrogo dan Tembangraras. Di lepasnya mereka sebagai sepasang suami-istri, mereka dapat saja segera bersanggama sejak malam pertama. Toh di keempat puluh malam itu pun baik Amongrogo dan Tembangraras telah sama-sama telanjang bulat.

Tapi, tidak. Ada apresiasi yang lebih tinggi daripada sekedar roleplay dengan bercumbu dan segala pengantar kepada persanggamaan. Sebab untuk benar-benar 'telanjang bulat' jiwa dan ragamu, perlu suatu pelajaran yang panjang terlebih dahulu. Dan lebih daripada itu, segalanya filosofis. Mendasar. Tidak cuma awang-awang seperti orang berimajinasi.

Berangkat dari titik itulah, saya memantapkan diri bahwa perjalanan yang kami berdua tempuh ini bukan kisah teenlit yang selalu 'mudah'. Supernova yang menjebol batas antara karya fiksi dan non-fiksi telah menjadi awal perjalanan, maka kisah kami dari Jogja tidak boleh hanya sekelas Raksasa dari Jogja. Setidaknya mencoba nyama-nyamain Amongraga dan Tambangraras dalam Suluk Tambangraras, maka ada banyak yang harus dipelajari: menahan rindu, merelakan waktu, kendali cemburu, bahkan merayakan hari jadi tanpa hadirmu.

Namun sosokmu selalu disini.

Sepasang kita adalah Amongraga dan Tambangraras bagi setiap diri kita. "Empat Bulan Pulang dan Satunya Berkembang". Terakhir pertemuan kita adalah empat bulan kepulanganku esok diantara segala kepulangan dan ketika aku kembali menapakkan kaki di Jogja (sejenak) nanti, adalah satu momen pertemuan untuk merayakan perkembangan.

Dan aku akan selalu mengingat bahwa setelah penantian panjang empat puluh malam itu pun, Jayengresmi tetap dirinya yang dulu. Ia tetap melanjutkan pengelanaannya mencari dua adiknya. Begitu pun setiap Amongraga dalam diri kita.

Tolong diingat. Sebagaimana aku tidak pernah lupa di halaman 146 novel Supernova episode Akar aku menyelipkan surat cinta itu.

Dua tahun lalu.


**




Khang Khoi, Saraburi, Thailand

21-22 Januari 2017.

Comments

Popular Posts