April Fools Pak Menteri


Di senja yang jingga dengan semilir tiupan angin sore itu, tiba-tiba Timi menghampiriku sambil berwajah muram. “Un, emang aku tumpul perikemanusiaannya ya?” 

Sontak aku menanyakan asal usul pertanyaannya tersebut. Ternyata eh ternyata, gara-gara ia tak setuju kebijakan pembebasan napi oleh Kemenkumham RI. Pak Menteri Hukum dan HAM Laoly—yang sempat mundur dari jabatan itu periode lalu karena terpilih jadi anggota DPR untuk kemudian mundur lagi karena kembali didaulat jadi Menteri—berujar bahwa "hanya orang yang sudah tumpul rasa kemanusiannya dan yang tidak menghayati sila kedua Pancasila yang tidak menerima pembebasan napi di lapas over kapasitas."

Aku ingin menjelaskan bahwa sebelum Kemenkumham RI membebaskan 30.432 narapidana dalam rangka mengurangi kemungkinan penularan virus korona di lapas dan rutan (per 4 April 2020), Iran, Brasil, dan Amrik juga sudah melakukan hal yang sama. 

Hal itu tak lain untuk mematuhi imbauan yang disampaikan Komisaris UN Human Rights, Michelle Bachelet, agar pemerintah negara-negara dunia membebaskan orang yang rentan terhadap COVID-19, yaitu tahanan lanjut usia serta tahanan yang mengidap penyakit, supaya pada rutan yang over kapasitas dapat dilakukan physical distancing dan self-isolation.

Namun ternyata Timi telah mengetahui hal tersebut. Ia juga sudah tahu bahwa Michelle Bachelet juga mengimbau pemerintah untuk membebaskan orang-orang yang ditahan tanpa dasar hukum yang memadai, termasuk tahanan politik dan yang ditahan hanya karena mengekspresikan pandangan kritis atau perbedaan pendapat. Timi bahkan tahu bahwa Michelle Bachelet dulu adalah presiden wanita pertama di Chile, Amerika Latin.

“Oh iya, mamaku juga risau pembebasan napi ini bisa bikin situasi jadi nggak aman. Karena akan banyak mantan napi berkeliaran.” Timi menambahkan, “Terus mamaku juga tumpul, gitu, perikemanusiaannya? Gimana, Un?” Ia tambah murung. Waduh..!

Kalau sudah seperti ini sebaiknya aku jelaskan sekalian kepada Timi bahwa pola pikir seperti mamanya itu tak lain karena selama ini pidana penjara dimaknai secara retributif. Yakni hukuman dianggap sebagai ‘retribusi’ yang adil bagi pelaku kejahatan demi menebus kesalahannya. Hayo, kamu pun berpandangan seperti itu, bukan? Bahwa atas perbuatannya, wajar kalau pelaku kejahatan harusnya dihukum seberat-beratnya agar setimpal. Ya ‘kan? Ngaku! (Loh, kok kalian malah jadi seperti pelaku kejahatan ya, hehe..)

Padahal, pemaknaan seperti itu bikin sistem pidana penjara jadi makin banyak mudharat-nya, misal mantan napi jadi terisolasi dan sulit kembali ke masyarakat serta meningkatkan kemungkinan untuk kembali melakukan kejahatan. Terlebih, banyak penjara yang malah dijadikan bimbingan belajar, tempat transfer knowledges kejahatan satu sama lain. 

Makanya, semakin ke sini, hukum pidana dibangun agar semakin humanis dengan diorientasikan untuk ‘memperbaiki’ pelaku kejahatan. Tujuannya agar mereka dapat kembali bermanfaat dalam masyarakat. Makanya pula, sejak 1964, istilah penjara diubah menjadi lembaga pemasyarakatan (lapas). Nah, pemidanaan yang seperti itu memaknai hukuman secara restorative alias menyembuhkan. 

“Soal itu aku sudah tahu, Un!” ujar Timi saat aku tengah menjelaskan. “Aku juga sudah tahu bahwa dalam merespon pandemik COVID-19 ini, Kemenkumham menargetkan minimal 35 ribu napi bisa dibebaskan.”

Aku termangu. “Oh..”

“Aku juga sudah tahu bahwa buat mencapai target tersebut, Pak Menteri sendiri yang bilang di raker Kemenkumham dengan Komisi III DPR kemarin Rabu, ada 15.482 napi narkotika, 300 napi korupsi, 1457 napi tindak pidana khusus, dan 53 napi asing yang akan dibebaskan—asal dapat merevisi PP 99/2012.”

Aku tertegun. “Semua statement itu dilontakan Pak Menteri hari Rabu lalu?”

Timi memiringkan kepalanya. “Ya, tanggal 1 April kemarin.”

Aku terkekeh. “Hehehe.. Itu lelucon April Mop aja kali? Persyaratan pembebasan napi narkotika, tipikor, terorisme, dan napi asing itu ‘kan diatur ketat di PP 99//2012. Terlebih buat yang korupsi, kalau syarat-syarat ketat di PP 99/2012 diubah cuma jadi berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani 2/3 masa tahanan, nama-nama kelas kakap yang selnya pernah ‘di-OTT’ Najwa Shihab tempo waktu, bakal dilepas dong? Di tengah badai corona ini!”

Timi terdiam sepersekian detik lalu sumringah. “Ha-ha. Iya juga? April fools Pak Menteri ya..!” 

“Iya beliau ‘kan suka bercanda! Masih ingat ‘kan soal Harun Masiku, belum lagi seterunya dengan Dian Sastro tempo waktu. Kayaknya beliau humoris, tahu?”

Ekspresi Timi makin cerah. Tapi tak bertahan lama dan kemudian kembali muram.

“Lah?”

Sambil tertunduk, ia menggumam. “Tapi tetap saja, soal statement beliau bahwa yang tidak menerima pembebasan napi itu hanya orang yang tumpul kemanusiaannya dan tidak menghayati sila kedua Pancasila itu bukan bercanda ‘kan?"

Aku terbisu, Mencoba mencari penjelasan lain.

“Pak Menteri harusnya tahu ‘kan kalau penolakan itu buah dari keinginannya untuk turut serta membebaskan napi korupsi secara mudah dengan merevisi PP 99/2019?” ujar Timi. “Mereka pikir orang-orang non-hukum seperti kita nggak tahu tentang teori restorative justice hukum pidana? Sombong sekali mereka, ya Shaun?”

“Timi, kayaknya kamu dan mamamu nggak perlu risau kalau dianggap tumpul perikemanusiaannya—” 

Aku hendak mengingatkan Timi, sampai tiba-tiba seekor anjing warna coklat dan empunya yang berkacamata bulat nampak di hadapan. Si anjing menghalau kami untuk kembali ke dalam kandang, menuruti perintah empunya—tiada lain tiada bukan: Pak Menteri..eh, maksudnya, Pak Tani!

Sambil mendengarkan Serenata Jiwa Lara melalui music player kesayangannya, Pak Tani menggerutu: “Domba-domba ini udah mau maghrib masih keluyuran di luar aja!”

Oh, Gembalaku! Aku, Timi, dan mamanya ‘kan cuma domba ternak! Peduli amat statement Yasonna Laoly tentang perikemanusiaan tumpulnya?!

Timi brengsek. Sungguh tumpul perikedombaannya!

Shaun, Timi, dan mamanya (dari kanan ke kiri)

Comments

Popular Posts