Lembar Kosong yang Perlahan Koyak


Menonton Eternal Sunshine of the Spotless Mind setelah beberapa waktu..

Nonton ke-1 (2011): 
Oh, wow. Expecting film romcom Jim Carrey akan jadi seperti Yes Man. Ternyata, jauh lebih berat. Plotnya keren, berantakan. Premisnya gokil: jatuh cinta sama perempuan yang beda denganmu, patah hati, menghapus ingatan. Scifi x romantic. Nggak begitu ngerti whole story-nya tapi ngerasa paham, waktu itu. Ketemu perempuan seperti Clementine pasti akan saaaaangat menyenangkan. Kecuali the rest of the plot. Oh, ah, Joel sama ngeresnya denganku. Mungkin. 
Setidaknya gitu, sampai kelak menemukan novel Joker karya Valiant Budi dengan plot yang sama berantakannya, novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh dengan scifi romantic-nya, dan menonton 500 Days of Summer pada akhirnya.

Nonton ke-2, 3, 4 (2014 - 2017): 
Kalau ada yang tanya film favoritku atau standar film romantis yang bisa aku nikmatin seperti apa, definitely aku jawab dalam rentang antara Eternal Sunshine of the Spotless Mind hingga 500 Days of Summer. Pertama, karena aku amat sangat tak menikmati film-film romantis di luar itu (aku bahkan nggak bisa menyebutkan contohnya). Kedua, mungkin karena aku adalah maniak konsep sebagaimana Joel dan Tom terhadap Clementine dan Summer--yang ini jelas alasan paling utama. 
Efeknya terhadap pemahamanku akan plot dan inti ceritanya tak begitu jauh dari ketika kali pertama aku menontonnya. Setidaknya, kali ini aku terinspirasi. Sejak menit pertama, film ini memberikanku sensasi yang.. melankolis. Music score-nya yang sedih tapi tak berkaca-kaca, yang nrimo ing pandum namun juga memekikkan asu. Sikap Joel di pagi harinya yang.. serealis itu, menurutku. Khalayak dibuat bertanya: wah, apa ini? Setidaknya, aku begitu. Aku terinspirasi: aku harus bikin karya seperti ini! Novel! Oh, gimana ya cara menuturkannya dalam bahasa kata-kata? Begitu, sampai menguap digerus keseharian dan seorang konsep yang kelak membawakan patah hati. Berkali-kali.

Nonton ke-5 (2020):
Nonton berkali-kali film ini sebelumnya memberikan pemahaman dan sudut pandang baru yang sebelumnya tidak aku gunakan sebagai lensa saat menyimak jalan ceritanya. Menit-menit awal film ini sudah menyajikan begitu banyak emosi: gamang, impulsif, kejutan, romansa, dan patah hati. Plotnya.. berantakan, sudah kubilang. Tapi setelah sekian kali, sensasinya datang dengan upaya-upaya preventif yang telah terpatri dalam ingatan: hei, ini kayaknya flashback, oh, itu sekarang, eh, sekarang Joel dalam pikirannya. Film ini cerdas, boleh kubilang. Music score-nya benar-benar asu. Klop dengan plot dan absurd premis yang disajikan. Melankolis, psikedelik, dan lo-fi. Sengawur premisnya, bukan? 
Joel pernah gagal dalam percintaan. Ia yakin takkan ketemu seseorang yang spesial lagi buatnya. Butuh seorang seorang 'gadis kacau yang mencari ketenangan jiwa' buat mengusiknya kembali. Ya, Clementine. Mereka saling menjalin hubungan sampai akhirnya menemukan titik jenuhnya. Bertengkar. Lalu berusaha move on dengan menghapus ingatan tentang satu sama lain. 
Hiburan yang film ini berikan berada pada proses penghapusan memori Clementine pada ingatan Joel. Sebuah upaya untuk 'membalas dendam' pada Clementine yang telah melakukan 'format memori' terlebih dahulu, yang justru berakhir jadi tanda tanya besar buat setiap karakter dalam film tersebut: apakah masih ada yang kau sembunyikan?

/fin/
Aku seperti menonton diriku sendiri. Maniak konsep yang tenggelam dalam fantasinya sendiri. Kamu mungkin memenuhi kriteria yang aku reka-reka berdasarkan ingatan kolektif. Tapi pada akhirnya, kamu sebagaimana kita semua: lembaran kosong yang perlahan koyak diterpa zaman.
Kamu adalah bajingan kecil yang aku terjemahkan sebagai jatuh cinta. Kesempurnaan yang terbangun oleh raut polos dan menggemaskan. Yang berangsur-angsur pudar oleh pertumbuhan dan benih curiga yang disemai dalam-dalam. Tapi aku tak sampai hati menyampaikannya. 
Terima kasih atas patah hati yang tempo waktu pernah engkau bawa. Kita berdua rasanya hambar. Bagai sayur yang kembali dihangatkan berulang kali. Suatu ketika tak lagi menggiurkan. Kamu yang pertama kali memutuskan: "Yuk, keluar. Cari makan."
Setelah beberapa waktu aku berpikir, harusnya saat itu aku bisa menawarkan chicken nugget atau telur ceplok. Agar kita tetap di rumah. Atau GrabFood. Tapi tidak. "Iya, aku juga sudah bosan sama makanan ini." Kemudian kita menemukan kesalahan-kesalahan dalam sayur itu yang semakin membikin tak lezat. Untuk kemudian, pada akhirnya, setelah kita sebulan berpuasa menahan lapar dahaga, berlebaran dengan sayur yang sama. Dan mengatakan: "Aku sungguh suka makanan ini." Lalu kita saling membalas, aku juga.
Mungkin kita hanya perlu terbuka. Untuk menyampaikan dan menerima. Bahwa, pada akhirnya, kita cuma lembar kosong yang perlahan koyak.

Comments

Popular Posts