MUSAFIR

  Busnya dapat melambatkan laju, namun siapa gerangan yang mampu melakukannya kepada waktu?
  Gelap telah sejak lima jam lalu mempererat genggaman di langit. Meskipun secara geografis bus ini melaju menuju barat, yang secara teori berarti waktu yang bekerja terhadap kami melaju mundur, namun jarum arlojiku terus berputar konsisten.
  Mengapa aku begitu khawatir akan jalannya waktu?
  Jawabannya, sebab aku tak lagi punya banyak waktu. Bus ini terus melaju beriringan dengan waktu hingga esok pagi tiba di Yogyakarta dan berakhir sudah perjalanan ini. Lima hari di Pulau Bali.
  Aku bukannya hendak menceritakanmu tentang lima hariku di Pulau Bali. Siapa pula yang peduli. Cuma trip dengan rute yang mainstream. Yang aku suka justru waktu selama di perjalanan. Because it's not about the destination, it's about the journey.
  Yap. Ini bukan tentang Pulau Bali-nya. Ini tentang perjalanannya. Tentang momen-momen yang tercipta saat kendaraan persegi panjang ini membawa kami dari Kota Istimewa ke Pulau Dewata hingga kembali lagi ke tempat semula. Tentang gadis ini. Yang tiga tahun lalu belum aku kenal (bahkan punya firasat bakal bertemu dia saja tidak), dan kini tengah terlelap dalam dekapanku.
  Semesta bekerja dengan cara yang penuh rahasia. Tangan-tangan Tuhan menulis banyak kisah yang sering bikin kita terperangah. Diinput ke dalam processor Maha bernama kehidupan. Lalu oleh gears yang maha banyak itu diterjemahkan menjadi suatu 'kejadian'.
  Dan inilah salah satu kejadian yang telah bekerja pada semesta. Tuhan telah menuliskan kisah yang mengharuskan dia terlelap didekapku sekarang, terlepas dari makna kami yang berbeda akan Tuhan.

..


...

  Gadis ini terlelap. Sesekali bergerak membenarkan posisi tidurnya, namun tetap nyenyak di dalam pelukanku. Pendingin bus seolah mampu membuat kami hipotermia seketika, namun kami berdua saling menghangatkan.
  Aku, yang awalnya mengutuk pengatur pendingin yang tidak berfungsi, kini mengutuk waktu yang enggan berkonspirasi. Ia ogah berhenti sejenak saja guna mengabadikan momen ini. Yang entah kapan lagi akan terjadi kalau bukan di double-seat dalam bus ini. 
  Beberapa jam lagi, matahari akan kembali bersama pagi. Gelap akan sirna bersama datangnya surya. Dan bus ini akan tetap melaju hingga tiba di tujuannya. Para penumpangnya akan turun, menggendong tas mereka serta cinderamata, pulang ke rumah masing-masing membawa lelah dan selusin kisah. Hanya kisah.
  Itu yang akan terjadi tempo waktu nanti. Perpisahan.
  Sedang dalam naungan dua-pertiga malam ini, aku masih mendekapnya dengan nyaman. Tanpa adanya gelap malam dan dingin yang menikam, apa lagi alasan kami untuk saling berpeluk?
  Saat fajar mekar, kami bersiap untuk berpisah. Aku (dengan berat hati) akan bersiap untuk berpisah. Meski aku tahu aku tak akan pernah siap.

...


....

  "Aku sayang kamu"
  Gadis itu berkata, sambil tersenyum jujur tanpa sandiwara, sehabis mengecup pipi kananku dengan lembut. Apalagi yang lebih jujur dari senyuman pada pukul dua malam, setelah kecup tanpa paksaan, di atas roda yang terus berputar.
  Dan bersama dingin yang membalutku, aku ingin saat itu juga membeku. Detik kuminta tak lagi meneruskan putarannya menuju puncak keenam puluh. Cukup. Ini adalah momen yang indah. Seolah-olah tak akan ada lagi yang lebih indah di masa depan.
  Tapi tidak. Waktu tetap tuli seperti biasanya. Semoga itu berarti masih tersisa momen yang lebih indah dalam kisah yang telah Tuhan gariskan.
  Aku tersenyum. Jauh lebih jujur dari senyumannya. Mensyukuri bagian hidup yang remeh ini, mengamini segala doa yang belum terjadi, dan menikmati hadir gadis yang tiba-tiba terbangun dari lelap di dekapku itu.
  Ia lalu memperhatikan pemandangan yang serba remang dari jendela bus, menerawang telah sampai kota mana bus ini melanglang, kemudian kembali memejamkan mata tidur dengan bersandar pada kaca jendela. Ganti posisi. Mungkin lelah terus jatuh dalam dekapku ke sebelah kiri, now she fell to the right side.
  Aku tak mengalihkan pandangan. Bahkan ketika belum datang cahaya, gadis ini telah menjauhkan wajahnya dariku, dari dekapku. Lalu aku tersadar. Pikiranku terlampau berlebihan. Mulai tak lagi rasional. Aku butuh tidur.
  Namun aku pun enggan.
  Sejak kali pertama tadi gadis itu mendekap lenganku, menyederkan kepala di bahuku, lalu mulai nyaman dan terlelap, aku justru terus terjaga. Mata sipit ini tak gentar meski ditiup-tiup udara dari pendingin. Dan kini, meski tubuhku telah memintanya, batinku masih enggan berhenti terjaga. Aku masih ingin seperti ini saja.
  Aku ingin menikmati detik-detik berharga malam ini, di atas perjalanan pulang ini, di sisi kiri gadisku ini. Menatapnya nyaman, damai, dan tenang. Kapan lagi engkau dapat berbagi momen sepribadi waktu tidurmu tanpa bicara soal privasi, jika bukan di atas laju perjalanan malam?
  Maka menjadi musafir adalah salah satu hal yang Tuhan anjurkan.
  Aku adalah musafir, yang enggan segera sampai di tempat tujuan. 

..

...

Aku adalah seorang musafir
Kau adalah seorang musafir
Kita adalah musafir yang bertemu di persimpangan jalan
Berjabat tangan dan saling berpelukan
Mengikat janji untuk jalan beriringan
Aku adalah musafir dari kebenaran yang kaummu sembunyikan
Kau adalah musafir dari keberadaan yang kaumku ingin benarkan
Kita adalah musafir yang sama-sama mencari oase penyegaran
Lalu kita berjalan tanpa pernah buka genggam tangan
Kita tak pernah berniat tiba di tempat tujuan
Aku jatuh cinta pada perjalanan
Kau jatuh cinta pada pengalaman
Kita berdua jatuh dalam kejadian
Jatuh, tersungkur, oleh cinta
Musafir cinta melangkah beriringan berdua
Aku masihlah seorang musafir
Kau masihlah seorang musafir
Kita berdua masih sama, namun berbeda
Aku terjaga, kau terlelap
Meski kita berdua saling mendekap
Macam mana cara kita akan (pura-pura) tiba
Bila jalan kita tak pernah sama
Aku terjaga dan kau terlelap
Di alam nyata sukmaku hinggap
Sedang dalam mimpi kau berderap
Maka kita tetap jalan beriringan
Aku seorang musafir
Kau seorang musafir
Kita terjebak dalam perjalanan
Yang kita sendiri enggan selesaikan
(Musafir I. AE, 2015)
..

...

   Aku mengingat dua hari lalu. Perjalanan kami berangkat menuju Pulau Dewata. Siang hari yang diwarnai oleh hujan itu, kami calon-calon manusia dewasa bersorak gembira karena akhirnya liburan juga. Sendu langit kalah pamor dibanding kebahagiaan calon pemimpin bangsa. Bocah perempuan berbincang mengenai apa saja yang hendak mereka beli sebagai cinderamata. Bocah lelaki saling cekekikan ketika bicara perihal nawaitu mereka untuk cuci mata di Pantai Kuta.
  Dan kami masih tenggelam dalam beda urusan gender masing-masing tersebut. Hingga perlahan-lahan pena Tuhan menggiring kami duduk berdua di kursi yang sama, berasmara, dan menikmati masa muda (selama di perjalanan tersebut, sih).
  Saat malam datang, ketika tiba-tiba gadis itu nyaman menyulap bahuku jadi bantal tidur dan terlelap, aku tak kuasa menahan canggung karena baru pertama dia tenggelam dalam tidur di atas bahuku. Lama-lama aku mensyukurinya dan enggan mengakhirinya.
  Waktu pagi datang dan kami siap angkat sauh meninggalkan Pelabuhan Ketapang, aku tak terlalu kehilangan. Karena berpikir, ah masih ada perjalanan pulang.
  Dan kini kami telah tiba dalam segmen 'perjalanan pulang'. Gadis itu mungkin saja tak memikirkan hal ini karena buktinya ia kembali lelap tertidur, namun aku tak mau pagi datang dan menuntaskan segalanya.
  Karena, seperti yang kukatakan tadi, tanpa hadirnya gelap malam dan dingin yang menikam apa lagi alasan yang kami punya untuk tetap saling mendekap?

..

...

  Aku benci perjalanan tanpa henti, namun aku lebih tak ingin semuanya terakhiri.

  Cause in the daylight we'll be on our own
  But tonight I'm gonna hold you so close

  Aku mereguk peluknya lagi. Mendekap tiada henti. Hingga kelak datanglah sang pagi. Dan sampai saat itu tiba aku takkan berhenti. Ia tak mau aku berhenti.

..

...

...

  This is my latest glance that wil soon be memory
  
  Hampir empat puluh hari terlewati. Pagi belum juga datang menghampiri. Langit masih gelap dengan taburan sedikit bintang.
  Mungkin pagi tidak akan pernah datang lagi. Malam selamanya.
  Dan aku tidak keberatan kita berada dalam gelap selamanya. Karena tanpa hadirnya malam dan dingin yang menikam, apa lagi alasan kami untuk terus mendekap?

  Atau bukan.
  Mungkin pagi akan tiba ketika kami telah sama-sama terjaga. Berjalan di alam nyata yang sama, berdua. Tidak lagi satu terjaga sedang satu dibekap kantuknya. Bukan pula sama-sama terlelap dalam mimpinya.
  Pagi akan tiba saat kami telah sama-sama terjaga.

  Amin.
  Sepertiga malam dan sepertiga semesta mengamininya.
  Duapertiga lainnya masih terlelap
  Terjebak gelap.




Comments

Popular Posts