Samsara

Saya dipandang dengan tatapan yang aneh oleh Gustavo, rekan volunteer asal Brasil, saat saya berkata ingin mengunjungi lagi Ayutthaya akhir pekan ini. "I want to learn more about Ayutthaya empire history." Saya berujar. "Asal kata Ayutthaya sama dengan kata Yogya berpulang, cuk!" Kemudian masih dengan keheranannya, ia menimpali: "You can search it on Google." Lelah berargumen, saya tutup debat dengan pernyataan tak tersangkalkan, "But different feeling."

Sudah kelar. Ia tidak lagi mencoba menghakimi pilihan saya yang berencana untuk menghabiskan akhir pekan sekaligus libur panjang (karena Senin libur nasional Thailand) di Ayutthaya -- bukannya ikut dia dan rombongan Brasilnya ke Chiang Mai. Alasan saya banyak, kalau tidak bisa disebut kuat. Pertama, finansial. Biaya ke Chiang Mai cukup merogoh kocek. Karena jaraknya yang jauh ke utara dan segala alat transportasi baik darat maupun udara menawarkan harga yang besar pasak daripada tiang buat saya. Kedua, objek wisata. Memang kota di sebelah utara Thailand itu kini cukup menyita perhatian turis selain Bangkok dan Pattaya. Tapi namanya juga sedang di Negeri Seribu Pagoda, ya objek wisatanya kuil-kuil semua -- Wat semua. Mempertimbangkan saya juga belum sempat ke Grand Palace di Bangkok yang tarifnya 500 Bath bagi foreigner untuk bisa berkunjung, sepertinya kantong tidak mengizinkan untuk ke Chiang Mai juga. Ketiga, entah mengapa passion saya kok menyelami lebih dalam tentang Ayutthaya. 

Nggak tahu kenapa. Kepingin aja.
Saya sudah berselancar di Google untuk mencari benang merah antara Kerajaan Ayutthaya dan Kasultanan Yogyakarta di masa lampau selain muasal namanya yakni diambil dari kata Ayodya, yang merupakan Kerajaan Sri Rama. Kedua-duanya mengadopsi karena merasa 'mirip' dengan babak dalam epos Ramayana tersebut. Barangkali, ini baru barangkali lho ya.. saya bisa ngobrol sama orang yang ternyata tahu ada hubungan antara dua kerajaan itu. Bakalan jadi seru. Apalagi kalau saya gunakan informasi berharga itu sebagai bahan di proyek novel (lagi-lagi) terbaru saya -- yang sedang akan dikerjakan.

Dan saya yakin, bumbu kisah yang dapat menggelitik pembaca dalam sebuah novel tidak semudah itu di dapat dari pencarian dunia maya. Butuh pengalaman-pengalaman empiris. Kalau perlu yang cukup kritis. Sehingga menantang zona nyaman saya dan membekas dalam memori meskipun amnesia sekalipun.

Untuk itulah saya amat berharap dalam 6 minggu saya di Thailand kini, walaupun akan sulit untuk menemukan benang merah yang hakiki antara Ayutthaya dan Yogyakarta namun semesta merestui saya untuk merasakan pengalaman-pengalaman yang tiada pernah saya duga sebelumnya. Seekstrim apapun itu. Syukur-syukur pikiran bisa diperas hingga ke nadir zona nyamannya.

Apa yang mendasarinya?
Hasrat saya.

Elemen Fundamental itu Bernama Hasrat
Salah satu pengalaman empiris di hidup yang baru 18 tahun ini adalah kekasih saya kini. Tanpa pernah ia sadar secara pasti, ia berhasil menyeret saya ke titik kritis zona nyaman. Dan dirinyalah yang mengenalkan saya dengan apa yang belum saya ketahui sebelumnya. Dia mengucapkan pada saya beberapa waktu silam: "Lucu kamu selalu bersemangat akan banyak hal, aku iri." (ditulis tanpa editing apapun, kecuali emot :'') yang tidak dicantumkan)

Mukjizat bagi manusia yang hidup di era setelah Muhammad SAW. wafat sebagai Nabi dan Rasul terakhir adalah curiosity. Bukan, bukan.. Bukan robot yang kini menjadi Artificial Martian di planet tetangga. Adalah rasa ingin tahu. Dan, seandainya memang benar saya selalu bersemangat akan banyak hal, maka yang mendasari itu adalah segala pertanyaan saya, ketidakmengertian saya, keingin bergunaan saya, ketakutan saya, ke-cocoklogisme-an saya, dan banyak hal yang bermuara dari satu elemen fundamental: hasrat.

Saya tidak ujug-ujug jadi mahasiswa Fakultas Hukum tapi punya keinginan untuk volunteer sebagai guru bahasa Inggris di negeri orang. Saya juga tidak tetiba serius menapaki jalur calon Sarjana Hukum walau bermimpi jadi seperti Pak Habibie.

Jauuuuuuuh sebelum semua yang kompleks ini berkonstelasi menjadi hidup saya, ada banyak hal random yang saya ambil. Saya tidak tanpa alasan jatuh cinta pada seorang penyanyi gereja yang saya anggap sinden yang saya anggap mumpuni untuk jadi kekasih, walau jiwa saya tak hinggap di satu dahan. Saya tidak tanpa alasan bela-belain tidur pukul 3.30 pagi untuk merangkai tiga ratus naskah novel tentang alterego yang hingga kini terbengkalai setelah ditolak Kompas Gramedia. Saya tidak tanpa alasan nunut mengunduh file .rar dari album Angels & Airwaves, Love Pt. 1 & 2, di McD Cibubur setelah mengenal 'pelarian' Tom DeLonge itu dari 30 Seconds to Mars. Saya tidak tanpa alasan pernah berencana untuk jadi penumpang gelap tur Kiai Kanjeng apabila gagal masuk universitas tahun lalu. Saya tidak tanpa alasan streaming Maiyahan Cak Nun melalui Youtube dari Negeri Gajah Putih ini. Dan saya tidak tanpa alasan mempertontonkan video Kolaborasi Efek Rumah Kaca dan Barasuara kepada murid-murid saya di Thailand kala menyanyikan Sendu Melagu.

Namun kalau kamu menanyakan pada saya: "Apa alasanmu?"
Hasrat, itu jawaban saya.

Hasrat bagai mengapa dan karena dari tiap-tiap pilihan yang saya ambil. Hasrat, yang tidak bisa saya identifikasi lebih mendalam apa aja bagian-bagiannya, serupa samsara bagi rekam jejak dan jalan setapak di depan saya. Apapun yang saya pertimbangkan, selalu dengan hadirnya hasrat, baru kemudian logika sebagai panelisnya. Dan ini telah mengakar bagai candu yang tidak bisa saya rehabilitasikan ketergantungannya.

My Kind of Drugs
Saya pernah sesekali mempertanyakan kepada sahabat saya di Bandung, Andhita, tentang mengapa banyak orang lebih suka merokok dan minum-minum daripada hal-hal addicting lainnya. Dia menjawab: "Things are more complicated if you compare it with get drunk and smoke."

Ya, maksudnya minum-minum dan merokok jauh lebih simpel karena we just have to deal with ourselves, not other people. Tapi jawaban itu tetap tidak memuaskan rasa penasaran saya sebab.. kita ambil contoh hal-hal addicting lainnya; having sex. Bukahkah zaman sekarang sudah banyak hubungan Friend with Benefit yang tidak perlu ribet-ribet memikirkan perasaan satu sama lain. Tinggal nikmati saya satu sama lain. Atau kalau terpaksa, teknologi sudah melesat jauh kini. Ada VR Machine yang bahkan dengan menggunakan itu, nonton film porno dapat terasa lebih nyata. Ada kenikmatan-kenikmatan yang bisa didapat tanpa harus drunk lebih dahulu. Dan alkohol, sejatinya tidak senikmat es teh 'kan?

Lalu apa, sih, yang sebenarnya banyak orang ini cari?

Pertanyaan itu sempat bikin saya stress dan cukup tertekan. Karena justru dengan mempertanyakan pihak luar, maka hati nurani saya yang sebenarnya sedang dipertanyakan. Apalagi kalau saya sudah terlampau menghakimi, ujung-ujungnya saya yang sakit sendiri. Dan hal itu tiada dapat dikeluhkan sebab saya sendiri yang membikin jadi seperti itu.

Akhirnya, hari Minggu malam kemarin saya tersadar. Bahwasanya, kita hidup di dunia ini cukuplah menjadi seorang penikmat, bukan hakim. Sekalipun orientasi saya adalah anak hukum, namun saya merasa amat tertekan dengan judge to much for everything. Karena sejatinya tidak ada hitam-putih di dunia ini. Kehidupan ini zona abu-abu. Relativitas dan paradoks mengusai kita semua. Dan ketertebakan adalah wujud nyata dari 'hidup ini penuh hal yang tidak tertebak'.

Saya mencoba berhenti untuk menilai segala hal terlampau jauh. Belajar dari pengalaman travelling selama akhir pekan di Thailand ini, bersama dengan orang yang berbeda-beda namun cuma pertemuan singkat, mengajarkan saya bahwa segala ini terlampau cepat hanya untuk menghakimi orang lain. We are equal. Mari sama-sama menjadi penikmat. Tuhan sudah begitu baik menyediakan semuanya ini. Kita tahu Tuhan tidak sedang berkompetisi dan kita bukan juriNya.

Maka, oleh sebab representasi Tuhan dapat muncul dari segala hal, mulai kini saya belajar untuk judge less, enjoy more. Mahabesar Tuhan, Hakim Yang Paling Adil. Orang Jawa bilang, urip mung nggo mampir ngombe. Kalau saya, traveller kemarin sore bilang, hidup cuman untuk datang dan nikmati apa yang Lonely Planet tunjukkan untukmu.

Setiap orang lahir dengan hasratnya masing-masing dan hasrat tidak melanggar pasal-pasal apapun, sehingga tidak perlu diseret dan dihakimi di meja hijau. Cukup dihidangkan dan dinikmati bersama-sama selayak jamuan pada lukisan 'Perjamuan Terakhir'-nya Yesus oleh Leonardo Da Vinci. Tidak usah ribet-ribet dianalisa siapa sosok wanita di sebelah lukisan Yesus tersebut, malah jadi film Da Vinci Code jadinya.

Hasrat adalah perputaran roda saya. Satu kesatuan mekanisme yang keliatan abstrak padahal merupakan suatu sistem. Hal-hal tidak terukur itu tersimpan dalam kekaguman-kekaguman aneh yang menjelma menjadi my kind of drugs.

Seperti bagaimana saya teramat influenced by my own father yang sering jadi salah satu jamaan Kenduri Cinta-nya Kiai Kanjeng kala saya SD kelas 2 dulu, sehingga mengakar hingga kini sekalipun saya di Negeri Seribu Pagoda, hati saya tetap terpanggil untuk streamingan dan sekedar buka situs bapaknya Noe Letto tersebut. Saya begitu mengagumi bagaimana Cak Nun bisa ndakik-ndakik tanpa harus berhenti membumi. Dualisme posisi tersebut menjadi representasi dari yang ingin saya capai dan pernah gagal.

Atau tersihirnya saya akan lagu Hallucinations dari Angels & Airwaves dengan nuansa space rock dan menghadirkan perasaan luas tak berbatas. Setelah ditelusuri, saya ternyata juga jatuh cinta pada video klipnya yang sarat akan simbol-simbol Illuminati yang dikenakan Tom DeLonge cs. serta suasana gemerlap malam suatu kota (saya nggak tahu persis kota apa di video klipnya). Rupanya saya memang mendamba suguhan pangroso yang luas, tatapan dari mata burung garuda, mengangkasa, saya gemar tenggelam dalam simbol-simbol bermakna -- buktinya saya suka betul novel Supernova dengan segenap simbolnya -- dan saya adalah salah satu manusia laron, mudah terpukau oleh gemerlap cahaya kota pada malam hari -- saya pernah melukiskan betapa saya ingin berkendara di dini hari kota New York dan kini masih di Bangkok pun, saya terhipnotis dengan gemerlapnya. Padahal Cak Nun selalu berpesan supaya tidak mudah gumunan. Namun ini hasrat saya memang: manusia laron.

Serta selayak diri saya yang akhir-akhir ini kerap diselamatkan oleh Barasuara. Band yang digawangi oleh Iga Massardi ini awalnya efek samping dari kekaguman saya terhadap seorang wanita, yang ternyata kini justru kepada Barasuara-lah tumbuh candu yang lebih besar dari kekaguman itu sendiri. Barasuara seringkali menyelamatkan saya dari 'keterjatuhan'. Saya menyebutnya, art as a medicine. Karena saya bukan seorang drinker maupun smoker apalagi orang taat. Segala kerisauan hati saya tumpahkan kepada cangkir bernama musik. Kini, Barasuara masih berupa cangkir dengan satu album plus lagu Samara. Namun satu nomor lagu pun dirasa cukup. Versi kolaborasi antara Efek Rumah Kaca dan Barasuara pada Sendu Melagu berhasil mentransformasikan kesenduan saya menjadi hymn yang lumayan efektif sebagai distraksi. Kemampuan saya (dikit-dikit) untuk menyanyikan part gitar dan vokalnya sekaligus ketergantungan saya pada gebukan drum Marco di verse setelah reffrain kesatu sungguh sesuatu yang gathuk. Paradoks yang cocok! Di kala saya butuh diselamatkan, lirik "Semua yang kau rindu, semua menjadi abu" maupun bait "Ingatmu kau merayu, ingatnya kau berlalu" seolah memahami setiap kegamangan yang saya rasakan. Selain itu, gebukan drum Marco yang hanya ada di versi live-nya begitu beresiko. Namun justru itulah yang dapat boosting up diri saya, dan mungkin kamu.

Ketiga hal yang saya jabarkan di atas adalah gambaran kasar akan hasrat saya. Apabila dirangkum, bisa dibilang saya ingin mengangkasa tanpa lupa membumi, saya mendambakan perasaan luas, saya gemar menilik makna dibalik simbol, saya manusia laron yang gumunan, dan saya mencintai tantangan hingga ke titik nadir yang paling ekstrim.

Jadi, bagaimana menurutmu?
Inikah Samsara bagi keseluruhan langkah yang telah saya ambil randomly? Ah, tak apalah. Justru chaos itu sendiri adalah wujud keteraturan.

Comments

Popular Posts