WEEKLY STORIES: WEEK 1, Understanding

Bayangkan kamu terlahir dari orangtua yang berbicara dengan Bahasa Indonesia, tumbuh besar di lingkungan berbahasa gado-gado Indonesia-Jawa-Sunda, diterbangkan ke suatu negara dengan bahasa nasional Phasa Thai, dan disana kamu mesti mengajar Bahasa Inggris pada anak-anak TK sampai kelas 5 SD.
            
Sulit? Sudah pasti.
Mustahil? Belum tentu. Sebab saya, dan banyak anak muda lain, tengah bergelut memperjuangkannya. Dan apa-apa saja yang masih diperjuangkan, berarti masih punya asa untuk diwujudkan.

Perkenalkan. Nama saya Adam Endraprianto. Semua orang memanggil saya Adam. Saya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro angkatan 2016. Hobi saya beragam, salah satunya travelling. Bertolak dari hobi itu, November 2016 lalu saya mendaftarkan diri ke AIESEC LC UNDIP. Karena saya tertarik untuk jadi salah satu exchange participant (EP) dalam program Global Volunteer dari AIESEC.

Saya salah satu orang yang percaya, eksistensi dari carut marutnya permasalahan di muka bumi ini salah satunya ditenggarai hal kecil seperti miskomunikasi. Hubungan komunikasi yang kurang baik—entah itu antar individu, antar golongan, secara global, atau bahkan individu dengan dirinya sendiri—melahirkan bibit-bibit problema antara lain kesalahpahaman, intoleransi, ketidakpekaan, dan sebagainya.

Kurang cakapnya seorang individu dalam berkomunikasi bisa disebabkan oleh kurang mengenalnya ia pada ‘dunia tempatnya hidup’. Istilah gaulnya, apa ya? Hmm, mungkin maksudnya kira-kira seperti, kurang piknik atau mainnya kurang jauh. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perubahan harus dimulai dari aspek terkecil (atau justru terbesar) yakni, diri sendiri. Maka tentu saya mesti piknik atau main yang jauh dulu. Dan saya pikir, AIESEC dapat membantu saya mengakomodir poin-poin tersebut.
            
Saya dan segenap insan yang tergabung dalam AIESEC sepakat untuk mewujudkan impian mengubah dunia menjadi lebih baik lagi. Rasanya, tidak perlu saya mention disini bagaimana ‘proker’ AIESEC yang mengacu pada poin-poin Sustainable Development Goals (SDGs) cetusan PBB tersebut, ya? Silahkan langsung diintip di situsnya AIESEC, heuheu.
            
Yang jelas, singkat cerita, bertolak dari perkenalan dengan AIESEC LC UNDIP, saya akhirnya apply proyek-proyek dan matched dengan program Sawasdee Wave 22 oleh LC Thammasat University (TU), Thailand. Dan, berikut ini cerita realization dari proyek yang saya ikuti.

Welcome to the World!
Sawasdee Wave 22 dari LCTU adalah salah satu project yang bergerak pada poin SDGs nomor 4 yakni Quality Education. Inti dari proyek ini adalah meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris demi komunikasi global yang lebih baik di masa mendatang. Caranya dengan mengajari anak-anak sekolah di rural area Thailand untuk lebih berani berbicara bahasa Inggris. Oleh karenanya kami para EP sebagai foreigner dituntut mampu memercikkan keberanian mereka untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Selama enam minggu masa volunteering, kami bertugas menjadi guru Bahasa Inggris yang ditempatkan di sekolah-sekolah di rural area.

12 Januari 2017 adalah awal perjalanan saya di Negeri Gajah Putih ini. Detik pertama menginjakkan kaki di Thailand, saya gemetar. Membayangkan inilah saat saya keluar dari zona nyaman selama ini. Tiba waktunya untuk belajar lebih mengenal dunia tempat saya hidup. Saya membayangkan pelajaran pertama saya adalah tentang berkenalan dengan berbagai macam orang dari penjuru dunia, karakteristiknya, budayanya, serta bagaimana kita mengenalkan ‘diri kita’ kepada mereka.

Benar saja, begitu dijemput di Arrival Terminal Don Muang International Airport, Bangkok oleh OC dari AIESEC setempat saya langsung bertemu dengan banyak ‘orang asing’. Ada EP lain dari China dan Brasil yakni Cecilia dan Luisa, serta tentu saja para OC yang orang Thailand, Mikky dan buddy saya, Tan.

Tidak mau menutup diri, saya mulai bercakap-cakap dengan mereka. Sekalian pemanasan ngomong Bahasa Inggris, pikir saya. Ternyata mereka pun membuka diri. Menarik menyimak bagaimana ternyata Luisa menghabiskan tahun baru 2017 di Bali beberapa waktu lalu dan Mikky yang langsung terkesima dengan gitar yang saya bawa.

Minggu pertama di Thailand diawali dengan tiga hari mengikuti Incoming Preparation Seminar (IPS) yang merupakan seminar untuk membekali kegiatan para EP selama enam minggu ke depan. Pada kesempatan kali ini, agenda IPS kami bersama dengan EP dari LC Bangkok University (BU). Selama tiga hari tersebut, saya dipertemukan dengan teman-teman dari seluruh penjuru dunia. Ada teman saya Supun dan kawan-kawan dari Srilanka, Adrian dan kawan-kawan dari China, Manuel dari Argentina, serta Brenda dan kawan-kawannya dari Afrika.  


Zayn Malik - Gus Dam - Cecilia
Indonesian!
Breda & friends!
Luisa - Rahul - Gus Dam - Bruna
Adrian! (rambutnya keren ya)





















Saya punya dua roommates. Pertama bernama Rahul Pundir dari India, seorang vegetarian yang anti makan daging, merokok, maupun minum bir. Wajahnya yang benar-benar mirip dengan Zayn Malik bikin banyak EP perempuan meleleh, yang mana berarti membuat saya makin jelek saat disampingnya. Hahahaha. Tapi dia menjadi sahabat karib saya yang pertama. Tiap malam setelah serangkaian IPS kami selalu ngobrol-ngobrol. Tentang kopernya yang hilang saat transit di bandara, ia yang baru patah hati, maupun serial Mahabarata dari negaranya yang laku keras di Indonesia. Mengingatkan saya pada salah satu lagu Zayn Malik, Pillowtalk. Hehehe..

Roommate saya yang kedua adalah Menesez Gustavo dari Brasil. Setengah bola dunia jauhnya dari sini. Ia tiba di hari terakhir IPS, malam-malam pula, dan ia langsung ziarah ke Khao San Road sampai pagi buta. Jadi, awalnya saya nggak cukup dekat dengan cowok Kaukasoid berusia 23 tahun, yang bagi saya seperti Hulk itu—tinggi, besar, gagah, dan tampangnya lumayan. Mungkin memang nasib orang tampan, selalu dibarengkan orang tampan lainnya. Siapa kira, rupanya semesta memberikan saya waktu lebih jauh untuk mengenal Gustavo. Ia kelak menjadi rekan mengajar saya di rural area school, yang berarti: jadi teman sekamar saya lagi.

Selama menjalani rangkaian IPS, saya banyak belajar hal-hal baru. Belajar cara beradaptasi dengan uncommon foods yang disediakan oleh pihak AIESEC pada sarapan, makan siang, dan makan malam. Belajar lebih terbuka dengan orang baru karena kami semua saling kenal. Belajar membangun teamwork dan menghargai orang lain saat berdiskusi dalam kelompok. Belajar memaklumi setiap tantangan baru diluar zona nyaman inilah pokoknya! Seperti saat saya berbincang dengan Bruna dari Brasil, ia mati-matian tetap terjaga meski masih jetlag akibat perjalanan dan melahap nasi saat sarapan (orang Brasil tidak sarapan pakai nasi seperti kita) demi menghargai para panitia. Intinya bertemu dengan teman-teman dari seluruh penjuru dunia ini saya disadarkan tentang pentingnya arti saling menghargai dalam komunikasi—apapun jenjangnya.

Rangkaian IPS ditutup dengan suatu agenda semacam inisasi komitmen sebagai volunteer teacher selama enam minggu ke depan. Sungguh acara yang meriah dimana para EP dibawa ke tempat semacam aula di BU dan kami semua melingkar saling berpegangan tangan. Welcome to the world!

All We Need is Understanding
Akhirnya tiba juga 15 Januari 2017. Hari dimana kami para EP dikirimkan ke rural area, ke provinsi di luar Bangkok, dimana kami akan menjadi volunteer teacher. Ada dua provinsi yang jadi tujuan para EP dari LCTU, yakni Saraburi dan Lop Buri. Keduanya terletak di sebelah utara Bangkok. Setelah rombongan diumumkan oleh MP, salah seorang OC LCTU, saya baru tahu kalau saya ditempatkan di Saraburi bersama lima EP lain yaitu, Ayas, Muharani, Alia dari Indonesia, serta Gustavo dan Luisa dari Brasil. Indo-Brazil goes to Saraburi!

Provinsi Saraburi berjarak tidak cukup jauh dari Bangkok. Menggunakan van, kami menempuh perjalanan sekitar 1 jam saja. Kondisi geografis kota ini didominasi pegunungan batu. Iklimnya kering namun tanahnya subur. Kualitas udaranya tidak terlalu baik karena adanya pabrik semen SGC disini, selain banyaknya ladang dan peternakan terutama di bagian utara.

Begitu sampai di Saraburi, kami langsung dibagi pada beberapa sekolah. Kebetulan saya dan Gustavo mendapat sekolah yang sama. Adalah sekolah bernama Wat Parpai, dengan murid dari TK-SMA, yang menjadi tempat saya dan Gustavo ber-volunteering. Hari itu juga kami bertemu dengan hostfam kami Kru Kattie dan Kru Tik, yang merupakan guru Bahasa Inggris di Wat Parpai. Oya, kru berarti ‘guru’ dalam Phasa Thai. Saya dan Gustavo sempat diajak lunch di toko roti milik Kru Tik, sebelum akhirnya diantarkan ke flat kami tinggal selama project.
Sekasur berdua!
Saya sungguh penasaran ingin segera bertemu dengan murid-murid saya. Seperti yang belum pernah saya lakukan sebelumnya, saya menantikan hari Minggu berakhir dan datanglah weekdays. Namun rupanya keesokan hari, tanggal 16 Januari 2017, adalah Hari Guru-nya Thailand. Murid-murid libur, namun guru-guru menghadiri semacam upacara peringatan. Kru Kattie mengajak saya dan Gustavo untuk hadir pada perayaan Hari Guru di Kaeng Khoi School, salah satu sekolah ngetop di Kaeng Khoi, Saraburi. Tapi Wat Parpai juga nggak kalah ngetop, kok. Hahaha...

Hari itu saya dan Gustavo juga iseng-iseng berkeliling Kaeng Khoi tanpa dipandu oleh siapapun. Dan kami disasarin sama supir Tuk-Tuk! Intip keseruannya disini:

Keesokkan harinya, Senin tanggal 17 Januari 2017, menjadi hari pertama saya dan Gustavo sebagai foreigner English teacher bagi murid-murid di Wat Parpai. Kami berangkat dijemput Kru Kattie naik mobil. Sekitar pukul setengah delapan pagi kami tiba di sekolah dan langsung sarapan di kantin sekolah.

Setiap pagi sebelum kegiatan belajar-mengajar, para murid di Thailand secara rutin melaksanakan upacara terlebih dahulu. Sama halnya dengan upacara bendera tiap hari Senin di Indonesia, di Thailand pun murid-murid berbaris rapi di lapangan menghadap tiang bendera. Rangkaiannya pun tidak beda jauh dengan upacara bendera di Indonesia. Ada pengibaran bendera, menyanyikan Lagu Kebangsaan Thailand atau Phleng Chat Thai dan royal anthem-nya yakni Sansoen Phra Barami, berdoa kepada Buddha, kegiatan semacam meditasi, serta pidato dari guru yang membina upacara.

Pada saat penyampaian pidato, yang hari itu diisi oleh Kru Kattie, menjadi kesempatan kami untuk memperkenalkan diri kepada murid-murid seantero sekolahan. Saya dapat giliran petama
            Talk slowly,” Kru Kattie tak bosan-bosannya mengingatkan.
           “Sawadee krap! Good morning! My name is Adam Endraprianto. You can call me Adam. I’m 18 years old. I’m from Indonesia. Hindi ti dhai ruja!” Saya memperkenalkan diri. Tak lupa menyelipkan beberapa bahasa Thai supaya lebih akrab.
            
Antusiasme murid-murid atas kehadiran guru-guru foreigner sungguh luar biasa. Selepas memperkenalkan identitas kepada mereka, murid-murid selalu menyapa saya dengan girang setiap kali bertemu. “Good morning, Teacher/Kru Adam!” Dari murid TK sampai yang SMA menyapa saya dengan sopan kala berpapasan. Melihat mata mereka yang berbinar tiap kali memanggil saya, jiwa ini rasanya seperti terhisap keluar dari jasad 18 tahun ini: terbang…
            
Problema muncul ketika di momen-momen awal mengajar, saya dan Gustavo harus mengajar di satu kelas yang sama. Bukan apa-apa. Awalnya asyik karena kami bisa saling berbagi tanggung jawab, saling menyumbangkan ide, dan murid-murid dapat paket combo guru foreigner. Namun bagaimanapun juga, metode pengajaran kami berdua berbeda dan harus ada salah satu yang mendominasi. Karena fisik Kaukasoidnya, Gustavo tampak lebih menonjol. Dan saya haus akan atensi. Kami sama-sama sadar tidak bisa saling berkembang kalau begini terus. Syukurlah, pihak kurikulum akhirnya membagi jadwal kelas kami berdua. Saya dapat tugas mengajar murid TK sampai kelas 4 SD, sedangkan Gustavo sisanya. Terkadang kami berkolaborasi mengajar berdua biar murid-murid tetap bisa dapat paket combo. Namun yang jelas kami sama-sama bahagia.
            
Problema selanjutnya yang lebih urgent adalah perihal komunikasi antara guru dan murid saat proses belajar-mengajar. Premisnya memang sederhana, saya sebagai guru mengajak para murid belajar bicara Bahasa Inggris. Realisasinya yang menantang. Pertama, murid-murid di Thailand beramunisikan senyuman. Ini sudah disampaikan berkali-kali oleh pihak OC dari AIESEC. Mereka itu mau paham atau tidak dengan apa yang disampaikan, pokoknya tersenyum. Diajak bicara Bahasa Inggris, malah hanya tersenyum. Kedua, bagi anak-anak Thailand belajar Bahasa Inggris tidak semudah anak-anak Indonesia. Mereka mesti memahami 26 alfabet dari A sampai Z, disamping aksara Thailand yang berjumlah 44 huruf konsonan dan beberapa vowels dengan aturan penulisan mirip Hanacaraka dan pelafalan yang berbeda di tiap bunyi vokalnya.
            
Saya pun memutar otak beberapa kali radian untuk memecahkan problema itu. Beruntung saya bawa gitar akustik saya ke Thailand. Seminggu pertama belajar-mengajar, saya tak pernah lupa mengajak murid-murid untuk menyanyikan lagu ABC. Saya juga berusaha untuk tetap menarik di setiap jam pelajaran. Maksudnya supaya para murid tidak kehilangan perhatian selama jam pelajaran. Hal itu saya lakukan dengan kerap mengajak para murid untuk bermain games selama seminggu awal. Mengacu pada buku pelajaran yang mereka miliki, saya ajak mereka memainkan hangman—menyuruh mereka maju ke depan kelas untuk mengisi blank space dengan huruf yang tepat untuk melengkapi suatu kata, menjodohkan poin di kanan dengan yang di kiri, juga menumbuhkan keberanian mereka untuk mengenalkan diri di depan kelas dengan Bahasa Inggris.
            
Yang terakhir itu sederhana tapi setengah mati nyuruhnya. Kepada murid kelas 4 SD saya coba melakukan aktivitas itu. Saya tarik mereka satu-satu ke depan kelas dan bilang ke mereka: “Introduce yourself.”
            
Mereka menengok kepada saya sambil menyengir dan senyum-senyum. Mereka nggak mudeng, pikir saya. “Khun che arai?” Kemudian mereka mulai nyerocos menyebutkan nama lengkap mereka yang… susah diingat!
          “No, no, no.” Saya menggeleng. Lalu mulai mencontohkan, “My name is—“
           “My name it—“ Stop sampai disitu.
          “My name is..? Khun che arai?” Saya contohkan pelan-pelan. Kemudian salah satu murid  memberi tahu kepada temannya di depan kelas untuk mengucapkan my name is dulu sebelum menyebutkan namanya—dengan bahasa Thai tentunya. Akhirnya ia mengerti. Dalam hati saya berpikir, kayaknya saya salah pilih murid buat mencontohkan. Hahaha.
            
Itu baru perkara memperkenalkan nama. Hal itu membuat saya sadar betul bahwa komunikasi benar-benar aspek yang amat sangat krusial dalam pergaulan global kita satu sama lain. Bahkan dalam kegiatan belajar-mengajar yang cakupannya baru dalam kelas, keterbatasan komunikasi dapat menyebabkan sulitnya menanamkan ide sesederhana apapun itu. Saya ngomong Bahasa Inggris ke anak-anak ingusan itu, mereka nggak mengerti. Giliran mereka mencoba komunikasi dua arah dengan gurunya dengan bahasa Thailand, saya yang tidak mengerti.
            
Seminggu pertama itu saya belajar untuk mengerti bahwasanya ada saatnya kita harus mencoba mengerti dahulu, baru mengharapkan pengertian orang lain. Bocah-bocah Thailand ini, meskipun memang bandel-bandel—tidak bisa duduk anteng di meja lebih dari 10 menit, selalu heboh—namun pantang menyerah untuk berbicara dengan gurunya. Setidakmengertinya pun diri saya.
            
Murid-murid asuhan saya, dari TK sampai kelas 4 SD, sangat tertarik dengan gitar yang selalu saya boyong tiap hari mengajar. Selepas jam pelajaran, mereka selalu mengajak saya berkomunikasi.
            “Kru Adam—“ Kemudian berkata dalam bahasa Thai sambil tidak berhenti menatap saya. Ia mengucapkan kalimat dan yang saya mengerti cuman ‘Kru Adam’ dan saat mereka menyebut ‘gitar’.
       “Hmm?” Isyarat saya tiap kali minta mereka mengulang pertanyaannya. Kemudian saya perhatikan mereka secara seksama dan menebak-nebak kira-kira apa yang mereka ucapkan. Lalu merespon dengan anggukan atau gelengan, atau senyuman—sebuah jawaban menggantung, balas dendam dong! Hahaha.
            
Intinya, seminggu pertama mengajar saya pergunakan waktu saya untuk lebih memahami tentang mereka. Membaca bagaimana raut wajah mereka saat saya menguji coba metode belajar saya yang—mungkin—tidak sesuai standar kurikulum pendidikan Thailand. Sebab saya bertumpu pada keyakinan saya sendiri akan guru idaman saya dulu yang selalu friendly, open, dan menarik. Mengetes mereka dengan permainan sederhana untuk mengetahui seberapa paham mereka. Mengajak bernyanyi sambil main gitar untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, karena saya lihat guru-guru mereka (yang asli) sangat keras pada mereka. Ya habis mereka juga bandelnya minta ampun sih.

Kayak konser D'Bagindas..
Malam sebelum hari pertama mengajar, saya mengobrol dengan Kru Kattie tentang latar belakang sebagian besar murid yang akan saya ajar. Hampir sebagian besar dari mereka datang dari keluarga menengah kebawah, kondisi rumah yang tidak terlalu kondusif, dan beberapa problema lain. Sehingga saya pikir wajar bila mereka sedikit nakal.
            
Yang mereka butuhkan justru lebih banyak asupan kasih dan sayang. Karena saya juga tidak jago-jago banget untuk galak dan marah-marah, saya putuskan untuk menjadi oasis bagi murid-murid saya. Meskipun beberapa memang mesti dihadapi dengan keras, namun respon mereka justru bikin saya terharu. Akan saya ceritakan pada weekly stories minggu-minggu selanjutnya.
            
Minggu pertama ini, saya dan Gustavo selalu mengakhiri hari dengan sharing satu sama lain. Menceritakan pengalaman seharian, memuji-muji betapa baiknya sikap guru-guru di sekolahan, perhatiannya hostfam kami, dan bagaimana kami berupaya untuk tetap sopan kepada mereka. Gustavo sekali bertanya pada saya tentang budaya ketimuran dan saya jelaskan padanya.
            
Yang menarik, minggu pertama ini saya dan Gustavo benar-benar bekerja sama amat baik. Kami sama-sama bahu membahu berusaha untuk merawat kondisi flat dan hajat hidup kami berdua kedepannya supaya tetap nyaman. Kami beli macam-macam mulai dari deterjen, sabun cuci piring, keset, bahkan kain pel. Saya memahami Gustavo yang selalu memakai sandal meski di dalam kamar sekalipun dan ia memahami saya yang mesti menggunakan lantai untuk ibadah lima waktu saya. Maka kami sepakat menjaga kebersihan lantai dan ia beli dua pasang sandal—satu untuk diluar, satu untuk di dalam. Ia juga memahami saya yang rentan kedinginan dan ia yang rentan kepanasan, maka kami menuhankan remote AC seperti kami pada ponsel kami—kalau sudah terlalu dingin atau terlalu panas, mari ubah temperaturnya.
            
Oh, dan seumur-umur saya menjadi Muslim dari orok sampai saat ini, baru pertama kali saya merasakan susahnya cari masjid untuk Sholat Jumat. Berkat aplikasi Muslim Pro yang saya download di ponsel, akhirnya ketemu satu-satunya masjid di Kaeng Khoi. Jaraknya cukup jauh dari Wat Parpai. Tengah hari setelah makan siang, saya diantar oleh Kru Tik dan dititipkan kepada para Muslim disana sampai ia menjemput lagi sepulang Sholat Jumat. Muslim di daerah Saraburi kebanyakan memang asli Thailand, imigran dari Myanmar, dan ada juga yang keturunan Iraq, salah satunya sang khatib Jumat. 
Bukan Habib Rizieq lho..
Selepas Sholat Jumat kami sama-sama makan ‘berkat’ yang disediakan seraya mengobrol dengan bahasa seadanya. Selepas itu, Kru Tik kembali datang menjemput saya. Di dalam mobil ia sampaikan pada saya, “I will take you to pray every Friday. Don’t worry.” Mendengar ucapan itu dari orang yang sama yang semalam mengajak saya ke klub malam di kota Saraburi bernama Long Noir, saya jadi tersenyum. Begini rasanya menjadi minoritas dan diperlakukan sebagaimana halnya manusia.
            
All we need is understanding. Tantangan selanjutnya adalah mempertahankannya.


\12 Januari - 22 Januari 2017.

Comments

Popular Posts